Si Penakut dan Monlight Sonata

Finno melepaskan tas ransel hitam yang semula berada di punggung ke samping meja belajarnya. Ia melakukan peregangan ringan dengan meluruskan kedua tangannya ke atas seolah dan memutar tubuhnya ke kanan dan kiri. Seolah ia baru saja mengangkat benda yang beratnya berpuluh-puluh kilogram. Nyatanya, benda yang ada di dalam tasnya hanyalah beberapa buah buku mata pelajaran dan sebuah buku detik-detik ujian nasional yang bisa dibilang cukup tebal.

Kedua telinganya sayup-sayup mendengar suara piano. Salah satu alisnya terangkat sebelah tatkala mendengar tempo yang lambat namun terasa dingin baginya. Ia merasakan kegelisahan yang merayapi hatinya. Sebuah kesendirian yang tak berujung. Ia lantas meninggalkan ruangan itu sambil mengusap tengkuknya yang tampak baik-baik saja.

Ia membuka sebuah pintu dengan gantungan dream catcher warna hitam di depannya. Kedua irisnya melihat seorang gadis mengenakan baju berwarna biru gelap sedang duduk membelakanginya. Itu adiknya, Adhira. Gadis itu menekan tuts piano dengan fokus. Ia tidak menyadari ada seseorang yang berdiri di belakangnya.

"Ira, jangan Monlight Sonata dong," kata Finno

Adhira menghentikan gerakan di jemarinya. Sekejap suasana di ruangan itu kembali sunyi. Ia menoleh ke belakang. Air muka kakak lelakinya itu terlihat gelisah dengan baju yang sama seperti yang dilihatnya tadi pagi.

"Mau Fur Elise?" tawar Adhira.

Finno itu menggeleng, "Sama aja tau, serem dengarnya."

Gadis itu terkekeh, "Terus apa?" tanyanya dengan senyum yang terkembang.

"Turkish Marchnya Mozart?"

Gadis itu menghadap kembali ke piano itu. Tangannya menjelajahi tuts putih itu kemudian berhenti setelah sepuluh jarinya menemukan tuts yang ia cari. Namun ia tidak segera menekannya dan menoleh kembali ke belakang.

"Kakak merasa ada sesuatu, ngak?"

"Apa?" kali ini lelaki itu tidak merasakan hal yang aneh.

"Gak ada apa-apa, kok," kata lelaki itu sambil menelusuri setiap inci ruangan itu.

Ia tidak takut hantu, hewan buas, perampok, atau apapun yang biasa ditakuti kebanyakan orang selain suara piano dari aransemen karya Beethoven yang baru saja dimainkan adiknya itu.

"Kakak bau, tau. Cepetan mandi sana!" perintah gadis itu dengan ketus dengan tangan mengibas-ibas seolah mengusir. 

Lelaki itu mencium-cium seragamnya sendiri lantas tersenyum memamerkan kedua giginya, "Enggak bau, kok. Cuman agak asem aja."

"Sama aja, kak. Cepet mandi," kata gadis itu.

Atau... gadis itu menghadap kembali ke depan, "Aku mainkan Monligt Sonata Movement Satu."

"Iya, aku mandi," Lelaki itu secepat kilat menuju kamar mandi yang ada di lantai satu.

"Dek, amblin handuk dong," teriak lelaki yang sudah berada di dalam kamar mandi. Meski ruangan itu berada di lantai dua, ia bisa mendengarnya karena kamar mandi berada tepat di bawahnya.

"Salah sendiri tadi gak bawa," sahut gadis itu dengan teriakan pula.

"Itukan gara-gara ancamanmu. Aku buru-buru mandi dan lupa bawa handuk."

"Kedua tanganku udah kewalahan main Turkish March gara-gara kakak!" serunya.

"Adhira!!!" Adhira tersenyum. 

Kedua tangannya masih bergerak lincah diatas tuts sedangkan pikirannya berjalan-jalan ke masa lalu. Saat itu ia berumur enam tahun. Ia duduk di teras rumah dengan kedua tangan memeluk lutut. Hawa dingin mulai menyelimuti tubuh kecilnya. Tapi tidak ada sebersitpun keinginan untuk masuk ke dalam rumah. 

"Ira, masuk yuk. Mama bentar lagi pasti pulang," kata lelaki kecil di ambang pintu.

"Enggak!" jawab gadis itu ketus.

"Ira, di luar dingin nanti kalau Ira sakit gimana? Nanti kakak yang dimarahin Mama," kata lelaki itu lembut.

"Tadi Mama sudah janji mau beliin aku piano," ucapnya penuh keyakinan.

"Ira tunggu di dalam aja, sama kakak."

"Enggak mau, aku mau tunggu di sini," gadis itu tetap bersikukuh.

"Kakak sendirian di dalam, kakak takut," lelaki kecil itu memandangi sekeliling. Rumah yang luas itu tampak sunyi. Terlebih, beberapa ruangan lampunya belum dinyalakan. Ia tidak berani menyalakan sendiri. 

"Biarin, Ira gak peduli. Ira mau piano. Ira gak mau masuk."

Lelaki kecil itu memberanikan diri masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian, ia kembali menuju teras. Lelaki itu duduk di sampingnya dengan selimut yang acak-acakan di genggamannya. Beberapa bagian bahkan menyentuh lantai.

Ia menyelimuti gadis kecil itu lalu menyelimuti dirinya sendiri.

Gadis kecil itu menoleh ke samping. Kedua irisnya melihat kakaknya tersenyum manis kepadanya.

"Kakak gak mau Ira sakit."

Tidak ada kemarahan sedikitpun yang menghiasi mimik lelaki kecil itu. Gadis kecil itu tersenyum. Lelaki itu balas memeluknya.

Gadis itu kembali ke dunianya dengan tangan yang menekan tuts piano denan tempo lambat. Ia berada di bagian akhir.

Sejak saat itu ia menambahkan kakaknya sebagai salah satu orang yang bisa ia andalkan. Ketika ibu dan ayahnya pergi, kakaknya selalu menemani dengan sabar. Tidak peduli seberapa nakal dan ketus dirinya, kakaknya selalu tersenyum sambil mengelus puncak kepala. Ia tidak pernah memarahinya apalagi membentaknya. Tanpa ia sadari, tangannya sudah menekan tuts piano menyebabkan alat musik itu berbunyi kembali. 

Twinkle-twinkle little star...

Instrumen yang dihafal jarinya diluar kendali. Seolah-olah insrumen itu mengiringinya mengingat masa kecil bersama kakaknya.

Lelaki yang duduk di meja belajarnya dengan tubuh yang masih basah. Ia berniat mengerjakan beberapa soal dari buku tebal yang baru saja dikeluarkan dari tasnya. Tetapi digagalkan oleh telinganya yeng menangkap bunyi familiar baginya.

Ia tidak fokus dengan aktivitasnya saat mendengar lagu itu. Ia hanya bisa fokus mendengarkan karena pikirannya melanglang buana saat dirinya berusia delapan tahun. Malam itu, ia mendapatkan hadiah dari adiknya untuk pertama kalinya.

"Kenapa ajak kakak ke sini?" tanyanya setelah Adhira berhasil menariknya dan memintanya menyalakan lampu ruangan itu.

Hanya sebuah piano yang baru saja dibuka dari bungkusnya mendiami ruangan yang cukup luas itu.

"Aku mau main piano,” kata gadis kecil itu riang.

"Besok saja, sekarang sudah malam," tuturnya. 

Gadis kecil itu tidak menghiraukannya justru berusaha menempati tempat duduk di depan piano. Setelah bersusah payah, akhirnya ia bisa duduk tanpa bantuan kakaknya.

"Kakak buka jendelanya!" perintah gadis kecil itu.

"Dingin. Nanti kalau Mama tahu gimana?"

"Sebentar kok, kak. Aku janji setelah ini aku tidur," kata gadis itu dengan wajah memelas.

Ia tidak tega lalu berjinjit membukakan jendela yang ada di depan piano itu. Dari jendela lantai dua itu angin dingin menyapa. Akan tetapi, banyak bintang indah yang menghiasi angkasa.

"Aku tadi lihat banyak bintang di teras."

"Aku mau memainkan twinkle-twinke little star," tangan mungil itu menekan tuts piano.

"Twinkle-twinkle little star. How I wonder what you are," gadis itu menekan tuts piano sambil menyanyi.

Lelaki kecil itu terpana melihat apa yang adiknya lakukan. Ia hanya bisa diam mendengarkan suara piano dan nyanyian adiknya itu.

"Kakak mau janji ngak?" tanya gadis kecil itu.

"Janji apa?"

"Kakak akan selalu temenin dan jaga Ira. Kakak akan selalu bantu Ira. Kakak akan lakuin apapun yang Ira minta."

"Iya, kakak janji," untuk adiknya yang manis dan disayanginya, ia tidak bisa menolak. Kelingking mereka saling bertautan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top