Hitam dan Abu-Abu

Aurin mengikuti pergerakan ikan di akuarium depan kantor guru melalui ekor matanya. Ikan dengan sisik kuning keemasan itu sudah memutari akuarium untuk sekian kalinya. Irisnya memang mengikuti pergerakan ikan, tapi pikirannya tidak. Si penagih utang, kemungkinan ekskul lukis dihapus, dan pekerjaan ayahnya. Pandangannya beralih saat melihat pantulan wajah seseorang disusul makanan ikan yang berjatuhan. Ia menoleh ke siswa berseragam putih biru yang mulai memudar.

“Aku tidak mau menjadi ikan di akuarium,” Finno memulai pembicaraan.

“Kenapa, bukankah mereka tidak perlu bersaing dan menghindari predator untuk hidup. Tinggal menunggu pemberian makan sudah kenyang,” balas Aurin.

“Tapi dia terjebak,” Finno menjeda sejenak. “Pada kenyamanan yang membuatnya merasa cukup padahal ia bisa lebih dari itu. Coba bayangkan jika ikan ini di habitat aslinya. Pasti ukurannya lebih besar.”

Aurin menaikkan sebelah alisnya. Ia mulai bingung dengan arah pembicaraan Finno.

“Segala yang bermula akan berakhir. Aku yakin kamu bisa keluar dari akuariummu sendiri.”

Kata-kata Finno di sekolah tadi membuat Aurin tersenyum memandangi langit yang menyambutnya dengan bintang yang berkelap-kelip. Ia berjalan ringan mengabsen setiap bunga begonia yang mulai mekar di taman belakang rumah. Dinginnya angin musom timur tidak akan memadamkan semangatnya untuk ke sebuah bangunan. Finno benar, dia harus jadi lebih kuat untuk menghadapinya bukan terbelenggu karenanya. Aurin ingin bilang ke ayahnya akan lebih giat berlatih melukis. Bahkan ia sudah menuliskan beberapa rekomendasi anak-anak lukis yang potensial agar juara umum FLS2N tetap dipertahankan.
Bangunan itu berukuran empat kali tiga meter. Ruangannya berisikan meja, kursi, dan sebuah kanvas di depan kursi yang diletakkan secara vertikal condong kebelakang. Di atas meja, banyak cat air dan alat lukis. Mulai dari warna primer, netral, sampai quarterner. Kuas berbagai ukuran, pisau pallet, pallet kayu dan sebuah gelas berisi air.
Usli duduk di depan kanvas. Ia memerhatikan lukisan realis yang hampir selesai. Jari yang terlatih itu, mulai mengambil sebuah kuas berangka enam. Ia mengambil sedikit warna putih dan menggoreskan perlahan pada kanvas. Memberi kesan ringan didalamnya.
"Brak!"
Suara itu berasal dari pintu yang dibuka secara paksa. Ia menoleh ke kanan. Terlihat, seorang wanita dengan sepatu hak tinggi mendekat ke arahnya. Ia tidak mengeluh karena perilakunya, seakan sudah puluhan kali dilakukan.
"Tuk...tuk...tuk."
Suara sepatu itu memecah kesunyian diantara kedua insan.
"Lukisannya sudah selesai?" wanita itu menyeringai.
"Memangnya kenapa kalau sudah?" pria itu balik menatapnya tajam.
Wanita itu bertepuk tangan tiga kali dengan jeda tiap satu detik. Tepukan tangan yang seharusnya menjadi kebanggaan, namun kini menjadi sebuah ancaman.
"Ini lukisan yang terakhir," kata pria itu penuh penekanan.
"Kenapa, kamu takut aku yang terkenal?" wanita itu semakin mendekat. Ia tersenyum sinis.
"Bagiku, lukisanku adalah bukti. Bahwa aku pernah meninggalkan sebuah karya. Walaupun tak ada satupun yang tahu itu bukan atas namaku," tegas pria itu.
"Kamu masih saja filosofis, itu bagus," wanita itu mendekatkan wajahnya.
"Tapi ingat, lukisan tidak membantumu bersaksi di pengadilan." bisiknya di telinga lelaki itu.
Aurin hendak mengetuk pintu namun ditarik kembali tangannya. Ayahnya sedang berbicara dengan seseorang. Aurin menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar lebih jelas. Suara kedua adalah suara seorang wanita. Ia tidak mungkin salah dengar. Itu bukan suara Fisya, ibunya tidak mungkin bisa berjalan ke tempat itu tanpa bantuan orang lain apalagi menuruni tangga dengan kursi . Ayahnya bukan orang yang seperti itu. Ia yakin ada alasan kenapa wanita itu masih di galeri selarut ini.
“Bilang saja kebenarannya ke anak itu. Aku tidak peduli lagi.”
Anak? Anak mana yang dimaksud? Belum selesai memahami pembicaraan mereka, Aurin mendengar suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai semakin mendekat ke arahnya. Ia bersembunyi dibalik semak-semak samping bangunan. Sesaat sebelum pintu itu terbuka.
Dibalik cahaya bulan purnama, Aurin melihat siluet wanita yang berdiri tegap dengan pakaian yang membentuk lekuk tubuhnya tengah membawa sebuah kanvas berjalan menuruni tangga teras. Lelaki paruh baya itu mengejarnya.
“Aku belum selesai!” Ia memegang ujung kanvas yang lainnya.
“Akhir yang bahagia hanya ada di dongeng, sayang,” ucap wanita itu sambil menarik benda persegi itu dengan paksa. Ia melirik ke arah semak-semak tempat Aurin bersembunyi.
Aurin menutup mulutnya. Kakinya gemetaran. Tidak, jangan sekarang. Ia tidak mau tertangkap basah dengan berbagai asumsi di kepalanya.
“Sebaiknya kamu bersiap kemungkinan terburuk,”
“Tidak ada yang lebih buruk selain bertemu denganmu.”
“Tapi kamu menyukainya, bukankah begitu?” wanita itu menyunggingkan senyum lantas berjalan menuju seberang jalan dengan langkah kaki lurus seakan berjalan di atas catwalk.
Aurin melirik ke teras bangunan. Dibawah temaram lampu teras, lelaki paruh baya itu melihatnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan hingga wanita itu masuk ke dalam mobil. Setelah itu mobil itu menghilang dari peredaran barulah ia masuk kembali ke dalam bangunan. Sesaat kemudian semua lampu dalam ruangan dimatikan. Lelaki itu berjalan ke rumah dengan sebuah kunci di tangan kanannya.
Aurin masih bersembunyi di balik semak hingga lelaki itu masuk ke rumah. Ia membersihkan pakaiannya dengan pandangan yang memburam. Dadanya terasa sesak. Gadis itu mendudukan diri di tanah sebelum menutup wajahnya dengan telapak tangan. Wanita itu adalah Tina. Orang yang dipanggil Finno dengan sebutan mama. Aurin meremas kertas di tangannya ke sembarang arah. Pada detik itu juga bagi Aurin tidak ada warna selain hitam dan abu-abu dalam hidup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top