Bab III
Udara malam menyusup masuk melalui celah piyamaku. Aku melipat tangan di depan dada sambil mengigil. Sempoyongan, aku menyusuri jalan aspal komplek menggunakan sendal pinjaman. Untungnya, satpam yang menemukanku di lapangan berbaik hati meminjamkanku sendal jepit. Lebih beruntung lagi, aku tidak ditangkap satpam itu, lolos dengan alasan yang aku karang secara dadakan.
Ketika satpam itu memergokiku berada di lapangan pada tengah malam, dia hampir mencurigaiku sebagai maling. Pentungan kayu di tangannya siap digunakan. Namun setelah melihatku hanya mengenakan piyama tanpa beralas kaki, satpam itu menggaruk-garuk kepalanya dengan heran. Aku menjelaskan kepadanya bahwa aku mempunyai penyakit aneh dan sulit dihentikan, yaitu berjalan sambil tidur. Dengan tatapan memelas, aku meyakinkan bahwa barusan penyakitku kambuh, mengakibatkan aku berkeliaran dari rumahku dengan kondisi tertidur. Rupanya si satpam mempercayai ceritaku, berubah mengasihani aku karena penyakit aneh yang kuidap.
Satpam itu, yang mengenalkan diri sebagai Pak Supri, menawariku untuk menunggu di pos satpam hingga pagi tiba. Aku berbohong; mengatakan bahwa jarak rumahku sangat dekat dari lapangan dan meyakinkan dia untuk tidak mengantarku. Nyatanya jarak lapangan ini ke komplekku cukup jauh. Selama kira-kira sepuluh menit aku berjalan sambil mengusap telapak tangan dan hidung, menahan dingin, serta menahan ingus agar tidak turun. Diiringi dengan bersin beberapa kali, aku mengutuk kedua laki-laki tidak waras itu, terutama laki-laki bermasker bernama Alto yang menculikku.
Kupencet bel rumah, menunggu kira-kira sepuluh menit hingga seseorang terbangun dan membukakan pintu depan. Bila ayahku atau ibuku, alih-alih kakakku, yang membukakan pintu, aku pasti sudah disemprot habis-habisan. Kakakku yang mengantuk hanya menggerutu, berkata aku sudah gila karena berkeliaran di luar rumah pada jam begini. Kemudian dia masuk lagi ke kamarnya tanpa berkomentar lebih jauh.
Kulihat jam di dinding ruang keluarga dengan tatapan merana: pukul dua lewat tiga puluh lima menit. Setelah bersin lima kali berturut-turut dan mengumpat tanpa suara, aku menuju kamar tidurku. Aku sungguh-sungguh butuh kasur.
Lampu kamar tidurku ditinggal dalam keadaan mati. Sesampai di tepi pintu, hembusan angin sepoi-sepoi menyambutku. Jendela kamar tidurku terbuka lebar. Alto pasti menculikku lewat sana tadi, membopongku diam-diam selagi aku tidur.
Aku meraba dinding untuk menekan sakelar lampu di dekat pintu, nyaris menjerit setelahnya. Lampu kamar menyala dan memperlihatkan si laki-laki bermasker, Alto, sedang berdiri di sudut kamarku. Dia bersandar pada dinding dengan sikap bosan, kedua tangan terlipat di dada.
"Kau lama sekali. Aku sudah menunggumu dari tadi," ujar Alto.
Rasanya kepalaku mau meledak. Aku memekik, "Dasar gila! Teganya kau meninggalkan aku di tempat tadi! Kenapa kau tidak membawaku sekalian kalau kau berencana kembali lagi ke sini?"
"Bukan urusanku." Alto beranjak dari posisinya, melangkah ke arahku.
Aku cepat-cepat mengambil tindakan defensif dengan mencari benda terdekat. Di balik pintu, ada sapu lidi yang biasa kugunakan untuk menepuk-nepuk kasur. Aku meraih sapu lidi, mengacungkannya di depan badan sebagai penghalau.
"Kenapa kau mengikutiku?" desisku.
"Aku datang untuk mengambil fragmen kunci. Aku tahu kau menyimpannya karena sinyal keberadaannya berasal tepat dari rumahmu. Katakan, di mana kau menyembunyikannya?"
"Lagi-lagi fragmen kunci, sudah kubilang aku tidak mengerti benda apa itu! Sekarang pergi dari sini atau aku akan memanggil pol--"
Aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku karena Alto tiba-tiba sudah mendekat dan membekap mulutku. Saking kagetnya, sapu lidi di tanganku terjatuh ke lantai.
"Jangan berisik. Jangan libatkan orang lain. Beritahu aku dan kau akan selamat," ancam Alto.
"Mmmph...!" Aku memberontak dalam bekapan tangan Alto; mencoba untuk menarik lengannya kuat-kuat, tapi tidak berhasil. Dia jauh lebih kuat, usahaku untuk lepas darinya tidak berdampak sedikitpun. Melihatku yang mulai sesak napas, Alto pun melepaskan bekapannya.
"Di mana benda itu?" tanyanya.
Di sela napasku yang tersengal-sengal, aku memprotes, "Jelaskan dulu apa itu fragmen kunci karena jujur saja, yang terpikir olehku adalah potongan kunci pintu. Kalau itu benda yang kau cari, kau boleh mengambil kunci kamarku, memotongnya jadi belahan-belahan, dan membawanya pergi bersamamu."
"Jangan konyol, kau tahu itu bukan benda yang kucari. Kau membuang-buang waktuku, cepat serahkan fragmen kuncinya."
"Harus berapa kali kubilang, aku tidak tahu! Kalaupun aku tahu, untuk apa aku menyerahkannya kepada penyusup sepertimu?"
"Karena nyawamu kini bergantung kepadaku," kata Alto dingin.
Kekesalanku memuncak, melenyapkan ketakutan yang tersisa. Aku mengerahkan seluruh kekesalanku, "Aku tidak peduli ataupun takut dengan ancamanmu! Aku tidak tahu kau siapa, tapi kau telah seenaknya masuk ke rumahku, mengancamku dengan senjata, dan bahkan menculikku di malam buta. Asalkan ada penjelasan di balik semua ini, mungkin aku bisa lebih membantumu!"
Aku memberikan tatapan penuh kemarahan kepadanya. Alto balas menatapku lekat-lekat. Awalnya tajam, namun kemudian tatapannya melunak. Dia membuka masker yang menutupi hidung dan mulutnya. Kini aku dapat melihat keseluruhan wajah penyusup yang telah mengganggu malamku tiga hari berturut-turut. Kedua iris matanya berwarna biru, hidungnya mancung, dan kulitnya putih; jelas merupakan karakteristik ras kaukasia, cocok dengan warna rambutnya yang pirang keemasan. Dia juga tampak masih muda; lebih muda bila dibandingkan dengan Faryal, tapi tidak jauh lebih tua dariku.
Alto berkata, dengan suara yang lebih jernih tanpa terhalang masker, "Aku akan memberitahumu, lagi pula kau sudah menyaksikan terlalu banyak. Namaku Alto Rialtiorre. Aku sedang dalam misi untuk menemukan fragmen kunci yang telah hilang selama lebih dari tujuh ratus tahun yang lalu. Laki-laki yang kau lihat dua hari belakangan juga sedang dalam misi yang sama, tapi kami berada di sisi yang berlawanan. Aku harus mencegahnya mendapatkan fragmen kunci itu sebelum aku."
"T-tujuh ratus tahun yang lalu? Kau bercanda."
"Aku serius."
"Bagaimana dengan laki-laki yang kau serang itu... Apa dia masih hidup?"
"Ya, dan dia tidak akan cukup bodoh untuk kembali lagi ke sini, selagi tempat ini berada di bawah pengawasanku."
Lega mengetahui tidak jadi ada pembunuhan di rumahku, aku bertanya lagi, "Mengapa fragmen kunci menjadi benda yang sangat penting sehingga kalian memperebutkannya? Dan kenapa itu bisa hilang selama tujuh ratus tahun?"
"Kau tidak akan bisa menyangka peran apa yang dipegang oleh fragmen kunci, dan aku tidak mau repot-repot memberitahumu sekarang. Tidak ada yang tahu lokasi fragmen kunci selama lebih dari tujuh ratus tahun. Pencarian kami tidak pernah membuahkan hasil, tetapi tiga hari yang lalu sebuah pertanda muncul; pertanda yang menunjukkan bahwa fragmen kunci telah ditemukan dan sumber pertanda itu adalah di sini, di dalam rumahmu."
"Rumahku?" Aku melongo.
Alto mengangguk. "Karena itulah aku bertanya kepadamu di mana fragmen kunci itu berada. Kemarin kau mengaku tidak tahu. Itu terdengar meyakinkan, jadi aku bermaksud menghilangkan memorimu tentangku menggunakan talisman. Di dalam talisman, terdapat mantra penghilang ingatan yang ditanamkan oleh Faryal. Sejak dibuat ratusan tahun silam, talisman itu tidak penah gagal menghapus memori para manusia agar keberadaan kami tidak diketahui. Anehnya, talisman itu tidak berfungsi kepadamu. Aku pun memanggil Faryal supaya dia menghilangkan memorimu secara langsung, tapi bahkan Faryal tidak mampu melakukannya. Sekarang giliranku bertanya kepadamu, siapa kau sebenarnya?"
"Aku? Aku Zarra, mahasiswa berumur sembilan belas tahun," jawabku linglung.
"Bukan itu maksudku. Kenapa kau bisa menangkal kekuatan Faryal?" tanya Alto.
Aku menggeleng cepat-cepat. "Sumpah, aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu kalian bermaksud menghapus memoriku. Kau 'kan yang berada dalam posisi tahu segalanya, Tuan Penyusup Alto Rialtiorre," ucapku, menyindir gaya bicaranya yang lama-lama terkesan angkuh dan arogan.
"Merepotkan, dan menyulitkan. Aku belum menemukan fragmen kunci dan malah terjebak bersama seorang manusia yang tidak dapat kuhapus memorinya. Sampai Faryal kembali, apa boleh buat, aku harus terus mengawasimu."
"Tidak perlu repot-repot, aku bisa menjaga rahasia dan kau bisa melanjutkan berkeliaran mencari fragmen kunci dengan bebas. Asal jangan kau acak-acak rumahku."
"Aku tidak bisa tidak mengawasimu. Tidak boleh ada manusia yang tahu tentang keberadaan kami. Pilihannya adalah menghapus semua jejak, walaupun itu berarti mengeliminasimu."
Raut wajah Alto sangat serius ketika mengatakannya. Aku bergidik, tapi berusaha tampil tenang, ingin memastikan bahwa perkataan Alto tadi hanyalah candaan, "Oke, dengan senang hati, aku akan menunggu temanmu Faryal kembali membawa kabar baik, hahaha..."
Alto tidak tampak sedang bercanda, atau barangkali dia memang tidak pernah demikian. Tatapannya malah menajam lagi, mempertegas keseriusannya. Aku pun mengalihkan topik yang tidak mengenakkan ini, "Omong-omong, bagaimana rupa si fragmen kunci tersebut? Siapa tahu aku pernah tidak sengaja melihatnya di suatu tempat."
Alto tampak ragu sejenak, menimbang-nimbang. Dia akhirnya berkata, "Begitu Faryal kembali, kau tidak akan mengingat hal ini lagi, jadi tidak ada salahnya. Terlepas dari namanya, yaitu fragmen kunci, benda itu sebetulnya sama sekali tidak menyerupai kunci. Benda yang kucari adalah sebuah permata merah berbentuk setengah lingkaran, nyaris seperti bulan sabit. Ukurannya sebesar setengah telapak tangan orang dewasa."
Wajahku pasti sudah pucat pasi kalau aku bisa melihat pantulan diriku di cermin. Deskripsi itu... tepat seperti permata merah milik kakek buyutku! Benda itu... Permata aneh itu... Itu adalah benda yang dicari Alto dan Faryal! Aku terdiam, tidak tahu harus bereaksi apa, sedangkan laki-laki di depanku menanti respon dariku...
"Apa kau pernah melihatnya?"
Alto bertanya menyelidik; suaranya bagai menyetrumku. Haruskah kuberitahu bahwa benda itu tersimpan di gudang, hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami sekarang? Namun permata itu adalah peninggalan kakek buyutku; warisan turun-temurun. Belum lagi Alto, dengan segala ancamannya, adalah orang yang mencurigakan. Aku tidak boleh langsung mempercayainya.
Aku pun menjawab setenang mungkin, "Tidak."
"Kau yakin?"
"Ya, aku yakin tidak pernah melihat benda seperti itu. Kalau ada permata di rumahku pasti sudah aku jual sejak lama, hahaha..."Aku tertawa kering, kentara sekali terdengar memaksa.
Alto memicingkan mata. "Manusia tidak pernah berubah, selalu mengejar materi..."
"Kau kerap membicarakan manusia seakan-akan kau bukan salah satu dari mereka. Aneh, kau 'kan manusia juga," ujarku. Aku menelusuri Alto dari atas ke bawah; tidak melihat adanya perbedaan yang memisahkan dia dengan manusia biasa. Dia seratus persen berpenampilan fisik manusia.
Usai mendengus samar, Alto berkata, "Aku bukan salah satu dari kalian. Terdapat perbedaan besar di antara kita, yang juga tidak ingin kujelaskan sekarang."
Laki-laki ini sungguh membuatku sakit kepala. Ditambah lagi, dia mengincar permata milik kakek buyutku. Aku harus mengusirnya demi keamanan dan kesejahteraan harta rumah tangga.
"Ehem..." kataku. "Pagi ini aku ada kuliah dan aku butuh istirahat yang cukup. Kau pasti mengerti maksudku, Tuan Penculik?"
"Ya, aku mengerti kalian manusia tidak punya banyak energi dan kekuatan, makanya kalian butuh banyak istirahat atau kalian tidak akan berdaya."
Lama-lama aku bisa gila.
"Jendelanya terbuka, silakan," ujarku tersirat.
"Kau menyuruhku pergi? Aku akan tetap di sini, manusia. Mengawasimu setiap saat agar kau tidak membocorkan satu kata pun kepada orang lain."
"Maksudmu... kau akan terus berada di sini terus-terusan dan tidak pernah pergi?"
"Apa pun yang dibutuhkan untuk menjaga rahasia keberadaan kami," ujar Alto.
"Aku bilang aku bisa menjaga rahasia!" seruku.
Alto membekap mulutku lagi. "Ssst, sudah kubilang jangan membuat keributan. Baik, aku akan mengawasimu dari luar. Jangan pernah berpikiran bodoh untuk melarikan diri."
Aku mengangguk-angguk tanda mengerti. Alto melepaskan bekapannya. Sekali lagi, dengan gerakan yang sangat cepat, dia melompat keluar melalui jendela kamarku. Suasana malam yang gelap membuatku tidak bisa melihat ke mana dia pergi, tetapi aku tahu dia masih berada di suatu tempat di sekitar rumahku, mengawasiku dari jauh.
Aku segera menutup jendela rapat-rapat dan kukaitkan kuncinya. Dengan menyeret kedua kaki, aku menuju kasur. Orang-orang biasanya tidak akan bisa tidur mengetahui seseorang mengawasi mereka dari jauh, namun masa bodoh bagiku. Sudah terlalu banyak penat untuk malam ini.
***
Aku tidur seperti beruang hibernasi. Alarm tidak berhasil membangunkanku. Aku baru bangun ketika ibuku menggedor-gedor pintu kamarku dengan riuh. Setelah beberapa waktu mengedip-ngedipkan mata dan mengumpulkan nyawa, kantukku belum kunjung terusir sepenuhnya. Mukaku sudah seperti zombie.
Kulihat jam di atas meja belajarku. Pukul tujuh tiga puluh! Aku hanya punya waktu setengah jam untuk bersiap-siap. Selesai mencuci muka, menggosok gigi, dan menyisir rambut dalam waktu sepuluh menit saja, aku menyantap sarapan di meja makan. Kakakku juga sedang berada di sana, berpakaian setelan kerja sambil membaca koran. Kedua adikku telah berangkat ke sekolah, ayah dan ibuku juga sudah pergi ke tempat kerja.
Kakakku acuh seperti biasanya. Aku membuka percakapan, "Aku mimpi buruk semalam, Zean." Aku biasa memanggil kakakku dengan namanya, sama halnya dengan kedua adikku kepada aku dan kakakku. "Aku mimpi tersesat di lapangan komplek sebelah dan pulang ke rumah jam setengah tiga pagi," lanjutku.
Kakakku menurunkan lembaran koran yang dibacanya dan menatapku datar. "Memang itu yang kamu lakukan semalam, pulang jam setengah tiga pagi."
"HAAAH?"
Barulah kesadaranku benar-benar pulih seiring dengan rasa kantuk yang buyar. Kejadian penculikan ke lapangan serta bertemu Alto dan Faryal; itu semua bukan mimpi.
Aku melirik kakakku yang masih membaca koran dengan serius. "Kamu tidak penasaran kenapa aku pulang jam segitu?"
"Hmm, tidak," gumam Zean pendek.
"Terima kasih sudah membukakan pintu kalau begitu," ujarku, mengangkat piring dan gelas bekasku, lantas mencuci keduanya di dapur. Kakakku masih bergeming. Aku mendengus. Beginilah taraf kepedulian di keluargaku; tidak hanya kakakku, tapi juga seluruh anggota keluarga. Sudah menjadi hal yang wajar dan lebih sedikit tidak menyengsarakanku dibanding dulu.
Aku kembali ke kamar dan membereskan isi tas dengan secepat kilat. Secepat kilat... Ungkapan itu mengingatkanku kepada Alto. Gerakannya sungguh-sungguh cepat, hampir tidak terlihat olehku, tidak terprediksi... Mungkinkah dia betul bukan manusia seperti yang dia bilang? Aku melongok ke halaman di luar jendela kamarku. Tidak ada Alto ataupun jejak keberadaannya di sana. Apa dia sudah pergi jauh dan melanjutkan pencarian fragmen kunci?
Kutengok jam di atas meja lagi: pukul delapan kurang lima menit! Aku segera menggendong tasku, memakai kaos kaki dan sepatu kets, lalu bergegas ke luar rumah.
Baru saja berjalan beberapa satuan langkah, aku melihat seseorang sedang berdiri di persimpangan jalan dekat rumahku. Baju hitam bernuansa perak, sepatu hitam, rambut pirang keemasan. Alto.
"Kau masih di sini?" Aku memekik, menunjuknya dengan jari telunjukku.
Alto mendesah panjang. "Tentu saja, manusia. Aku sudah bilang aku mengawasimu."
"Tidak perlu repot-repot, sungguh," ujarku dengan suara seperti tercekik, memasang raut muka segan.
"Aku terpaksa melakukannya, dan akan selalu kutekankan."
"Apa pun itu yang jelas aku bisa terlambat. Permisi," gerutuku.
Aku berjalan melewatinya dengan langkah tergesa-gesa. Perjalanan ke kampus membutuhkan waktu hampir satu jam. Aku tidak boleh telat untuk mata kuliah jam sembilan nanti, atau dosenku tidak akan membiarkanku masuk kelas. Alto mengikutiku di belakang dalam jarak dekat. Sampai ke tempat pemberhentian bis di depan komplek, dia masih juga membuntutiku.
"Kau serius akan mengikutiku ke kampus?" tanyaku panik.
Alto tidak menjawab, yang kutebak artinya sebagai 'Iya'. Orang-orang di sekitar kami --di warung, di halte, hingga penumpang kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan raya-- memperhatikan kami dengan ekspresi penasaran. Untunglah bis yang menuju kampusku tiba tak lama kemudian. Aku naik ke dalam, Alto melakukan hal yang sama lalu berdiri di dekatku. Dia, tetap berwajah tenang, tidak tampak bingung dengan kondisi bis yang penat dan padat. Karena semua kursi bis kota telah terisi, kami pun berdiri sambil berpegangan pada handle grip.
Bis berderu meninggalkan halte. Beberapa penumpang bis kini memandang ke arah laki-laki berambut pirang yang baru saja masuk. Mereka memasang ekspresi penasaran yang seragam. Seorang anak kecil yang duduk di sebelah kami menunjuk-nunjuk Alto dengan heran.
"Ma, bule ini bajunya aneh!" serunya kepada ibunya.
Alto tetap bergeming, tidak mengerti bahasa Indonesia yang diucapkan anak laki-laki itu. Aku menatap Alto dari atas ke bawah, terutama ke kostum kuno yang dia kenakan. Penilaian pribadiku itu adalah pakaian yang keren, tetapi memang mencolok dan terlalu menarik perhatian.
Empat puluh menit kemudian, bis berhenti di depan halte dekat kampusku. Setelah membayar ongkos ke kondektur, aku menuruni tangga bis namun berhenti di tengah ketika kondektur memanggilku.
"Neng, ini ongkos temannya belum dibayar!" tagih kondektur, seraya menunjuk Alto yang ikut turun bersamaku.
"Dia bukan teman saya, Pak!"
"Eh, tadi kan si Neng ngobrol dengan Aa ini sebelum naik."
"Ta... Iya deh, Pak, tunggu sebentar."
Aku merogoh kantung jaket dan membayar sejumlah uang yang sama lagi ke kondektur. Sesudah membayar, Alto mengikutiku menyeberang jalan dari halte ke arah kampus. Sepertinya Alto tidak memahami hal-hal tentang kehidupan normal, termasuk membayar ongkos bis. Juga jenis pakaian yang lazim dikenakan.
"Kau tidak bisa berkeliaran dengan baju ini! Apa kau tidak membawa baju lain?" sergahku ketika kami hampir tiba di gerbang kampus.
"Tidak. Apa yang salah dengan bajuku?"
Aku menepuk jidat. "Ikuti aku."
Risi dengan pandangan orang-orang, aku menarik lengan baju Alto dan menariknya mengikutiku. Baru terpikir juga olehku bahwa Alto mengenakan pakaian yang sama berhari-hari. Kami berjalan melewati dua persimpangan dan menyeberangi jalan raya menuju toko pakaian terdekat.
Toko baru akan dibuka ketika aku dan Alto tiba. Salah seorang pegawainya sedang melepaskan gembok teralis besi. Aku menunggu dengan tidak sabar. "Mbak, ayo Mbak, cepat buka."
"Sabar, Neng. Baru juga jam segini."
Aku mengecek jam tanganku untuk memperkirakan waktu yang kubutuhkan untuk mencapai kelas. Aku hanya memiliki waktu sepuluh menit lagi. Kusemangati pegawai tersebut selagi dia mengangkat teralis. Alto menunggu dengan diam di belakang kami. Seterbukanya teralis, pegawai itu membuka pintu kaca dan aku langsung menyerbu ke dalam toko, menarik serta Alto bersamaku.
Di bagian toko pakaian pria di lantai dua, aku memilihkan pakaian untuk laki-laki itu. Kutarik sebuah kemeja dari gantungan dan kuserahkan pada Alto. Dia menepis kemeja itu.
"Tidak perlu," ucapnya.
Aku bersikeras, "Selain memalukan, aku tidak tega melihatmu mengenakan pakaian yang sama selama berhari-hari. Coba ini di ruang ganti."
Alto pun menurut dan memasuki ruang ganti. Beberapa menit kemudian, dia keluar dengan mengenakan pakaian normal yang kupilihkan untuknya. Jika aku tidak mengenali Alto sebagai seorang penyusup pencuri warisan keluarga, aku pasti sudah terpukau. Alto tampak mengesankan dengan kemeja putih kasual dan celana jins panjang. Kusuruh dia untuk melepaskan masker hitamnya --yang enggan dia lakukan, tapi akhirnya dia lepas setelah aku bujuk.
Segera kubayar pakaian baru Alto ke kasir. Harga setelan itu ternyata menghabiskan uang sakuku selama setengah bulan. Aku meratapi dompetku dengan muram.
"Sudah kubilang tidak perlu," ucap Alto di belakangku ketika kami keluar dari toko. Dia membawa serta pakaian lamanya di dalam kantung plastik.
"Tidak usah diungkit..."
Aku melirik jam, hampir melonjak. Sudah jam sembilan lewat lima belas menit! Aku bergegas menuju gerbang kampus, berlari sepanjang jalan setapak di pinggir gedung-gedung fakultas, dan menapaki setiap tanjakannya dengan sekuat tenaga. Sampailah aku di depan kelas, di balik pintu yang setengah terbuka. Beruntung, dosenku belum datang. Aku langsung memasuki kelas tanpa menghiraukan Alto lagi. Mahasiswa lain sudah memenuhi kelas, aku duduk di bangku yang tersisa di bagian belakang. Tak lama kemudian, dosen datang dan pintu kelas ditutup. Untuk dua jam ke depan aku bisa merasa lega.
Setelah pengecekan absensi, aku ketiduran dengan sangat pulas selama kuliah. Temanku, Erika, membangunkanku ketika kuliah berakhir. Dosen sudah meninggalkan kelas. Papan tulis dipenuhi oleh tulisan kapur berisi materi yang tadi diajarkan. Para mahasiswa sedang berkerumun di depan ruangan, mengantre ke luar kelas. Aku menyampirkan tas di bahu, berada di urutan terakhir antrean sambil menahan diri untuk tidak menguap. Sesampainya di pintu, aku melihat beberapa mahasiswi masih berkumpul di sekitar depan kelas, memandangi seseorang yang sedang bersandar di salah satu pilar gedung. Alto rupanya masih menungguku di sana.
"Wah, ada cowok silau, Zar!" bisik Erika penuh semangat.
".........." Aku bingung harus merespon apa.
Erika langsung bergabung dengan kerumunan mahasiswi lain, ikut bergosip ria membicarakan si laki-laki asing. Aku, pura-pura tidak melihat Alto, berbelok ke arah lain. Alto segera mengikutiku, yang diiringi dengan tatapan dari para mahasiswa lain. Kemudian, yang paling tidak kuharapkan, tahu-tahu dia sudah menyusul di sebelahku.
"Jaga jarak. Kita harus pura-pura tidak saling mengenal," bisikku kepada Alto.
Tetapi Alto tidak menunjukkan gerak-gerik akan menjauh. Di belakangku, aku dapat mendengar kasak-kusuk temanku dan para mahasiswi lain membicarakan kami.
Untungnya aku tidak perlu menghadapi mereka lagi. Tidak ada lagi kelas untuk hari ini. Kuputuskan untuk langsung pulang ke rumah dan melaksanakan agendaku.
Selama perjalanan pulang dengan bis, Alto memperhatikan pemandangan jalan di luar. Kentara sekali dia menunjukkan posisinya sebagai orang yang sedang berada di tempat asing dan baru pertama kali dia kunjungi. Dia mengamati hal-hal dengan seksama dan menyeluruh, memperhatikan dengan rasa ingin tahu yang terselubung. Dalam kondisi normal seperti ini, ketakutan yang sempat kurasakan terhadapnya memudar drastis. Dia tidak lagi menyeramkan dan mengintimidasi, tidak terasa seperti Alto si penyusup, meskipun dia tetap bersikap arogan dan misterius. Aku jadi ingin tahu dari mana dia berasal, bagaimana dia bisa sampai di rumahku, dan hal-hal lain tentangnya. Namun Alto selalu diam, tidak tampak berminat membuka diri. Aku cepat-cepat meyakinkan diri bahwa aku tidak boleh terbawa suasana. Tunggu sampai orang bernama Faryal datang lagi lalu semua ini akan berakhir.
Setelah turun dari bis, aku tidak langsung menuju rumah, melainkan mampir dulu ke minimarket untuk membeli sesuatu.
Ketika Alto melihatku membeli sebungkus rokok di antara barang lainnya, dia menyeletuk, "Aku tidak menyangka kau merokok."
"Aku tidak merokok. Ini untuk satpam yang menolongku kemarin setelah seseorang menelantarkanku di tengah lapangan di malam buta."
Alto tidak merespon sindiranku. Dia tetap mengikutiku yang berjalan duluan ke komplek sebelah untuk mengembalikan sendal jepit. Di dalam pos satpam, Pak Supri yang menolongku kemarin sedang makan siang sambil menonton TV bersama anjing penjaganya. Aku mengembalikan sendal jepit yang kupinjam, memberikan sebungkus rokok dan beberapa bungkus makanan ringan seraya berterima kasih kepadanya.
"Wah, tidak usah repot-repot Neng, terima kasih ya. Lain kali jangan tidur sambil jalan dan keluyuran tengah malam, pintu rumahnya digembok saja. Obatnya jangan lupa diminum," komentar Pak Supri.
"Hahaha, siap, Pak," candaku, gatal ingin memberitahu bahwa penyebab sebenarnya adalah Alto yang sedang mengawasi kami dari jauh.
Seusai mengobrol sebentar dan berpamitan, aku berjalan pulang ke rumahku, masih diikuti Alto. Senyumku mengembang ketika melihat teras rumah; anak-anak taman bacaanku sudah menunggu dengan manis di sana. Begitu aku tiba di depan pagar, mereka langsung bersorak menyambutku. Aku membukakan garasi untuk mereka; bersiap untuk mengantar mereka ke ruang taman bacaan.
Lalu aku menyadari satu hal: permata merah masih berada di dalam ruangan itu. Aku melirik Alto perlahan, dia masih berada di dekat kami.
"Aku dan anak-anak mau membaca di ruang belakang. Kau bisa menunggu di tempat lain," ucapku kepada Alto, berupaya tidak terdengar gelisah.
"Kak Zarra, Mister ini teman Kakak?" tanya Udin.
"Aku mau main sama bule, Kak!" sergah Toni, disusul dengan sorakan antusias dari anak-anak yang lain.
Beberapa dari mereka menggaet tangan Alto dan menariknya untuk mengikuti mereka. Aku tidak punya pilihan lain, langkah kaki beradu dengan debaran jantung seiring kami menuju ruang taman bacaan. Sesampainya di dalam, anak-anak langsung menyerbu rak-rak dan memilih buku; Alto berdiri di pojokan sambil mengamati. Aku mendampingi anak-anak itu sekaligus diam-diam mengawasi kardus di ujung lain ruangan dengan waspada. Jangan sampai Alto menjangkau daerah itu.
Toni dan Ika kemudian menarik Alto untuk duduk di atas karpet bersama mereka, menunjukkan buku-buku bergambar kepadanya. Mereka tidak mengerti bahasa satu sama lain; Alto berbahasa Inggris sedangkan anak-anak itu berbicara dengan bahasa Indonesia bercampur bahasa daerah, tetapi anak-anak itu mencoba berkomunikasi dengan Alto melalui isyarat tangan mereka. Alto sesekali mengangguk, mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris, atau membalas dengan isyarat tangan lagi. Anak-anak lain jadi tertarik, ikut mengerubungi Alto seperti semut mengerubungi gula.
Melihat itu, aku tersenyum geli selagi membacakan buku dongeng untuk Egi. Alto ternyata sangat baik kepada anak-anak. Mulanya dia terlihat canggung, tidak tahu harus berbuat apa ketika anak-anak itu mendekatinya. Dengan cepat dia bisa berbaur dengan mereka, terlepas dari kendala bahasa. Tidak hanya itu, anak-anak juga mengajak Alto untuk memainkan beberapa permainan tradisional. Aku menyediakan congklak, monopoli, ular tangga, serta mainan-mainan lainnya yang masih kusimpan. Kami mengajari Alto aturan permainannya dulu, dilanjutkan bermain dengan girang. Alto tampak menikmatinya; beberapa kali aku melihat dia mengembangkan senyum samar. Untuk sementara, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk sementara, semuanya baik-baik saja.
Kami semua menikmati buku-buku dan permainan dengan puas hingga sore hampir berakhir. Seperti hari-hari sebelumnya, aku pun mengantar anak-anak pulang, kali ini mengantar langsung ke depan rumah mereka satu per satu. Alto juga ikut menemaniku. Sampai di depan rumah anak terakhir --rumah Ika, aku dan Alto berjalan kembali ke rumahku.
Iseng-iseng aku berkata, "Anak-anak tadi lucu, ya? Sangat gaduh, tapi semuanya menggemaskan."
Alto tidak membalas, tapi aku duga dia setuju. Tiba-tiba dia berujar, "Maaf kemarin aku mendepakmu di lapangan."
Aku terkejut bukan main. Laki-laki itu, yang kucap sebagai orang arogan yang seenaknya, baru saja meminta maaf kepadaku. Sejenak keseganan yang kurasakan terhadapnya luntur. Mungkin, terlepas dari perkara fragmen kunci, dia memang orang yang baik, tidak hanya ketika bersama anak-anak. Aku ingin menjawab dengan halus, tetapi yang terjadi aku malah berkata ketus, "Huh, bahuku masih sakit nih."
Dalam hati aku mengutuk diri karena kebiasaanku yang tidak pernah bisa bersikap manis kepada laki-laki --kecuali anak kecil. Aku harap Alto maklum, setidaknya kami berdua sama-sama tidak dapat bertingkah halus dan sopan.
"Kau tidak punya tempat singgah selama berada di sini?" tanyaku.
Alto menggeleng.
Aku bertanya lagi, "Lalu di mana kau tidur selama ini?"
"Aku tidak tidur sebanyak yang dibutuhkan manusia biasa."
"Hah? Jadi apa yang kau lakukan?"
"Mondar-mandir di luar rumahmu, atau keliling kota mencari petunjuk lain mengenai fragmen kunci. Aku akan menunggumu di sekitar sini sampai pagi. Sana masuk," suruh Alto ketika kami tiba di teras rumah.
Aku malah berubah prihatin. Kata-kata berikutnya meluncur begitu saja dari mulutku, "Kau bisa memakai kamar kosong di rumahku. Kamar itu tidak terpakai dan letaknya paling jauh dari kamar yang lain. Tidak akan ada yang tahu."
"Tidak perlu. Kau sudah cukup merepotkanku hari ini."
"Hah! Harusnya aku yang bilang begi--"
Belum selesai aku berbicara, Alto sudah melesat pergi; melompat naik ke atas atap dan menghilang ke baliknya. Aku menengok ke arah jalan yang kosong. Tidak ada orang lain yang kebetulan lewat. Kalaupun ada, Alto mungkin akan menghilangkan memori orang itu dengan talisman berisi sihir Faryal, yang katanya tidak berfungsi kepadaku...
Secuil bagian diriku masih berharap semua ini adalah tipu muslihat belaka. Mungkin orang-orang bernama Alto dan Faryal itu sedang mempermainkanku, dan ternyata ada kamera tersembunyi selama ini --seperti halnya dalam program reality show televisi. Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan kesal karena tidak kunjung menemukan penjelasan yang logis. Akhirnya aku membuat satu tekad: mengesampingkan segala ketakutan dan ancaman yang mungkin datang, besok aku harus mengorek informasi dari Alto.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top