Bab II
Ayahku mengomel sepanjang pagi. Ibuku juga sama ricuhnya, tetapi sedikit lebih dapat mengontrol diri. Satpam dan beberapa tetangga berkumpul di depan rumahku. Peristiwa semalam telah menimbulkan sensasi dan aku berakhir menjadi korban interogasi.
"Zarra, benar kamu tidak mengingat muka si pencuri? Bagaimana ciri-cirinya?" tanya ayahku.
"Tidak, Yah. Aku hanya tahu mereka berdua berbaju hitam, berambut pirang dan abu-abu, lalu begitu aku memergoki mereka, mereka langsung kabur lewat jendela ruang buku," jelasku untuk yang kesekian kali.
"Rambut dicat pirang dan abu-abu? Pasti preman begundal yang sering ada di pinggir jalan! Mereka tidak mencuri barang apa pun?"
"Sepertinya begitu. Mereka kabur sebelum berhasil mencuri apa pun," ungkapku.
Ayah menyelidik lagi. "Betul tidak ada satupun yang dibawa?"
"Betul! Bukannya harusnya ayah lebih khawatir dengan keselamatanku?" Aku memasang tampang cemberut. Ayahku tampak merasa sedikit bersalah.
"Ya, ya, untung kamu selamat. Sialan pencuri-pencuri itu, beraninya mereka memecahkan jendela! Sekarang yang penting Ayah harus protes terhadap sistem keamanan di komplek ini dulu!"
Ayah mendengus kesal dan menghampiri satpam komplek yang tengah memberi penjelasan kepada tetangga-tetangga yang penasaran. Aku mengambil napas lega. Sejauh ini tidak terlalu bermasalah. Aku memberitahu orang-orang yang menanyaiku bahwa semalam ada pencuri yang berusaha memasuki rumahku, tetapi aku tidak menceritakan detilnya: tentang bagaimana salah satu penyusup itu berusaha membunuh yang lain.... Aku ingin sekali memberitahu mereka, tetapi tidak ada bukti. Bercak darah dari lelaki berambut kelabu tidak tertinggal setetes pun.
Aku memperhatikan bekas jendela yang hancur di ruang buku. Jendela berukuran kira-kira satu setengah kali dua meter persegi itu nyaris tidak menyisakan kaca pada pinggir bingkainya. Keping-keping kaca berserakan di lantai. Aku menduga, sampai bisa menghancurkan jendela sedemikian rupa, si laki-laki berambut kelabu pasti didorong dengan sangat keras dari luar balkon ke arah jendela. Apa laki-laki bermasker itu yang melakukannya? Mengapa dia menyerang si laki-laki satunya? Terlebih lagi, apa yang sedang kedua penyusup itu lakukan di balkon rumahku?!
Sepanjang sisa hari Minggu, setelah keluargaku mulai tenang, aku membantu Ayah menambal jendela ruang buku dengan papan kayu karena tukang reparasi jendela baru akan datang besok. Sebelumnya, semua pecahan kaca telah disapu bersih. Aku sendiri yang menyapunya, sekalian bermodus membuktikan spekulasiku. Benar saja, pada beberapa pecahan kaca terdapat sedikit bekas darah yang tidak terlalu kentara bila tidak sungguh-sungguh diperhatikan. Aku sempat berpikir untuk memberitahu keluargaku mengenai hal ini, tetapi kuurungkan niat tersebut; berasumsi bahwa detail tentang kronologi yang sebenarnya malah akan menambah keresahan mereka. Lagi pula, para penyusup itu tidak mungkin akan datang lagi.
Aku sedang memalu paku terakhir di papan kayu ketika ibu memanggilku. Katanya, ada yang mencariku di luar rumah. Aku sempat berdebar-debar, mengira bahwa salah satu penyusup itu datang menemuiku dan mengancamku untuk bungkam. Begitu ibuku memberitahu bahwa yang mencariku adalah rombongan anak-anak, aku langsung membuang napas lega sekaligus heran.
Eh, tapi anak-anak siapa yang mencariku?
Aku pun turun menuju pintu depan. Menunggu di teras, aku melihat si bocah laki-laki yang kuberi permen kemarin. Dia tidak datang sendiri, di belakangnya ada lima orang anak-anak lain.
Ketika aku muncul di depan pintu, mereka kompak berteriak, "Kakak, minta permen!"
Aku memasang tampang bingung sekaligus kaget. Salah satu teman si bocah laki-laki bertanya, "Udin, ini Kakak yang kasih kamu permen, bukan?"
Si bocah laki-laki mengangguk dengan antusias. "Iya, kemarin aku dikasih banyak permen sama Kakak ini."
"Permen, permen!" Anak-anak yang lain berseru bersamaan.
Aku menilai ini sebagai kesempatan emas. "Oke, Kakak akan kasih permen ke kalian kalau kalian mau ikut Kakak."
"Ke mana, Kak?" tanya mereka.
Aku tersenyum dan menggiring mereka masuk ke rumahku, langsung menuju ruang buku. Terlebih dulu, aku membujuk ayahku untuk membiarkan mereka masuk. Ayah agak keberatan awalnya, tetapi dia pun mengizinkan dengan syarat mereka tidak membuat kotor dan menimbulkan keributan. Sebagian anak-anak itu duduk bersandar di kursi dan sofa di dalam ruang buku; sebagian lainnya tidur-tiduran di atas karpet. Aku memilah buku-buku anak dari dalam lemari dan menumpuknya di atas meja di tengah ruang buku.
"Lihat, banyak buku yang seru, loh. Kalian boleh baca di sini, jangan malu-malu."
"Yah, malas baca, Kak," keluh seorang anak.
"Iya, iya," anak-anak yang lain menimpali. "Kami mau permen!"
"Kakak bawakan permen sekarang tapi kalian baca buku-bukunya ya, coba buka-buka saja dulu," kataku, mencoba terdengar persuasif.
Udin dan teman-temannya pun memilih-milih tumpukan buku di atas meja, mengambil buku yang masing-masing mereka anggap menarik. Aku mengamati dengan puas, pergi sejenak untuk mengambil sesajen. Ketika aku datang lagi ke ruang buku sambil membawakan permen-pemen dan cemilan lainnya, mereka langsung menyerbuku dan mengambil makanan-makanan dariku. Setelah itu, mereka kembali lagi ke buku bacaan mereka masing-masing, terlarut dalam cerita dan pengetahuan. Udin sedang membaca buku ensiklopedia anak-anak tentang tumbuhan. Sesekali dia menanyakan istilah-istilah ilmiah yang tidak dia mengerti dan mendiskusikannya denganku. Beberapa anak lain juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadaku tentang isi buku yang sedang mereka baca. Sisanya terlalu berkonsentrasi membaca buku mereka, tampak dari raut wajah mereka yang serius. Alhasil suasana taman bacaan terwujud di sekelilingku: anak-anak yang antusias membaca dan menelusuri pilihan buku-buku di lemari serta pemandangan taman bacaan yang sesuai ekspektasiku. Kondisi ini bertahan hingga senja tiba, ketika langit mulai berwarna jingga kemerahan.
Dengan agak berat hati, aku memberitahu anak-anak bahwa tiba waktunya bagi mereka untuk pulang, supaya orangtua mereka tidak mencari mereka. Anak-anak menaruh buku bacaan mereka di atas meja dengan tertib; ada yang kecewa, ada juga yang tampak biasa saja. Begitu aku mempersilahkan mereka untuk mengambil seluruh sisa permen dan cemilan, senyum mereka semua langsung merekah lagi. Sebelum kami turun ke lantai bawah, seorang anak menarik bajuku dengan malu-malu dan bertanya,
"Kakak, boleh aku pinjam buku ini?"
Anak itu memegang sebuah buku dongeng di tangannya dan memperlihatkannya kepadaku.
Aku mengangguk senang, "Boleh sekali! Kamu bisa mengembalikannya kapan-kapan ketika kamu ke rumah Kakak lagi. Santai saja membacanya, ya."
"Terimakasih, Kak!" seru anak itu riang.
Aku mengantar mereka sampai depan gang dan, setelah mengucapkan terimakasih dan menyuruh mereka agar berhati-hati di jalan, aku melambaikan tangan sambil berkata,
"Kapan-kapan ke rumahku lagi ya, bawa teman-teman yang lain juga!"
Udin dan kawan-kawannya mengiyakan, membalas lambaian tanganku. Aku pulang ke rumah dengan perasaan membuncah; campuran antara rasa puas, senang, dan tidak sabar. Inilah yang aku harapkan, misiku hampir terwujud! Hari pertama dari taman bacaanku!
Misi ini bisa terus berkembang, aku yakin. Hal ini berarti aku harus mengurus hal yang tersisa, yaitu menata gudang.
Aku belum kembali lagi ke gudang sejak kejadian permata bersinar dua malam yang lalu. Tapi, mengumpulkan keberanian, aku memantapkan tekad: tidak ada yang bisa menghalangiku untuk membangun taman bacaanku. Aku tidak akan ambil pusing lagi tentang si permata merah. Jadi, ketika aku mulai menata gudang lagi malam ini, aku langsung menggeser kardus kakek buyutku ke ujung terjauh ruangan bersama dengan barang-barang ungsian lain.
Butuh waktu cukup lama untuk memindahkan seluruh buku anak-anak --berjumlah lebih dari empat ratus buah-- dari ruang buku ke gudang. Ada rak-rak tidak terpakai yang tersimpan di gudang. Setelah aku membersihkan rak-rak itu, aku menyusun buku-buku sesuai jenisnya ke dalam rak lalu mengurutkannya secara alfabetis per jenis buku. Barang-barang yang sudah kusisihkan sebelumnya aku pindahkan ke garasi untuk kuserahkan ke tukang loak nantinya.
Setelah tumpukan barang rongsokan itu sudah disingkirkan, gudang menjadi tampak lebih luas. Aku menggelar karpet di tengah ruangan, menata beberapa kursi serta sebuah meja. Aku juga menemukan kipas angin tua yang masih berfungsi, kuletakkan di dalam ruangan agar udara menjadi lebih sejuk. Tak lupa aku tambahkan dekorasi berupa stiker dinding dan koleksi barang-barang antik kakek buyutku untuk dipajang, sementara kotak permata tetap aku biarkan tersimpan di dalam kardus, sama sekali tak tersentuh lagi olehku.
Taman bacaanku sudah selesai dibenahi tepat ketika tengah malam tiba. Atmosfer suram nan menyeramkan yang memenuhi gudang telah lenyap, berganti menjadi ruangan dengan nuansa menyenangkan dan cerah. Jauh lebih menyenangkan daripada ruang buku yang kaku, yang kini tidak memiliki kaca jendela. Aku mematikan lampu setelah memandangi ruang taman bacaanku yang sudah tertata rapi. Seraya melompat-lompat senang, aku pergi menuju kamarku yang terletak di sudut lantai bawah dekat tangga.
Ketika aku hendak memasuki kamar, tiba-tiba aku merasakan sesuatu, asalnya dari arah ruang buku. Tidak terdengar suara apa pun, bahkan gemerisik kecil sekalipun, tetapi aku merasakan ada yang berbeda. Aku merasakan kehadiran samar seseorang di atas sana. Aku berusaha mengusir pikiran tersebut dari benakku dan masuk ke kamar saja, namun rasa penasaran menggodaku untuk membuktikan indera perasaku dan akhirnya mengalahkan keraguanku. Aku pun menaiki tangga dengan mengendap-endap, berusaha tidak menimbulkan suara. Sesampainya di puncak tangga, aku berbelok ke ruang buku...
...dan melihat seseorang sedang berdiri di dalam ruangan, membelakangi pintu ruang buku. Laki-laki, berperawakan tinggi, berpakaian serba hitam, dan berambut pirang ikal. Dia sedang menghadap ke deretan lemari buku; membuka salah satu lemari kacanya dengan hati-hati, kepala bergerak dari atas ke bawah seakan sedang mencari sesuatu. Kemudian dia menolehkan kepala ke samping, melihatku di depan pintu ruang buku. Saat itulah aku sadar, ketika aku melihat masker hitam yang menutupi hidung dan mulutnya, bahwa dia adalah penyusup yang menerobos masuk rumahku kemarin malam...
Dalam satu kejapan mata, mendadak laki-laki itu menghilang dari hadapanku. Bulu kuduk di tengkukku berdiri. Seseorang baru saja muncul di belakangku, aku bisa mengetahuinya dari hembus napasnya yang mengenai helai rambutku. Laki-laki itu telah berpindah dengan sangat cepat, bagaimana bisa? Aku hampir akan menengok ke belakang ketika lengan laki-laki itu melingkari bahuku dan sebuah belati diacungkan ke depan leherku. Napasku tercekat seketika.
"Di mana fragmen kunci itu?" tanyanya dingin.
Keringat dingin mengucur dari keningku. Deru jantungku melaju sangat kencang sampai-sampai aku bisa mendengarnya. Aku hampir tidak bisa mengeluarkan suara dari mulutku, mengawasi ujung tajam belati yang diarahkan kepadaku dengan ngeri.
"Jawab!" perintahnya dengan nada tajam.
"A... aku tidak tahu apa yang kau maksud."
"Sekali lagi aku bertanya, di mana kau simpan benda itu?"
"Aku tidak tahu!" jawabku hampir histeris. Aku ingin berteriak meminta tolong namun kerongkonganku serasa tercekik. Belati itu juga membuatku segan untuk memberontak. Ketakutan menguasaiku. Tidak, aku tidak bisa berpikir jernih...
"Kau tidak berbohong?"
"Sumpah, aku tidak tahu apa-apa tentang benda yang kau cari! Singkirkan belati itu dariku!"
Laki-laki bermasker itu menurunkan tangannya, menjauhkan belati dari leherku. Aku maju beberapa langkah dari laki-laki itu, lalu berbalik menghadapnya. Dia masih memegang belati di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. Aku mengawasi gerakan tangannya dengan waspada. Kuperhatikan dia mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin malam; modelnya tidak umum, dengan atasan sepanjang lutut yang dihiasi bordir berwarna perak di sepanjang garis kancingnya. Tampak seperti pakaian model barat abad pertengahan.
Tangan kiri laki-laki itu lalu muncul dari balik saku, menggenggam sebuah benda menyerupai kalung berwarna perak. Di rantai kalung terdapat sebuah liontin berbentuk rumit, juga terbuat dari perak.
"Kau siapa?" tanyaku akhirnya setelah berhasil mengumpulkan nyali.
Dia tidak menjawab, hanya memandangku dengan tatapannya yang menusuk. Dia lalu mengangkat tangannya, mengayunkan kalung perak itu di depanku. Aku memperhatikan liontin kalung bergerak ke samping kanan dan kiri di depan mataku. Dalam jarak pandang yang dekat, aku bisa melihat bahwa liontinnya berbentuk seperti snowflake --kepingan salju-- dan diukir dengan pola-pola menyerupai huruf yang tidak dapat kubaca. Aku bingung untuk apa laki-laki itu melakukannya --mengayunkan kalung itu di depanku. Setahuku ini bukan cara yang lumrah untuk memamerkan sebuah kalung.
"Apa yang kau lakukan?"
Alih-alih menjawabku, si laki-laki malah terlihat bingung. Dia mengayunkan kalung itu lagi di depanku, kali ini dengan jarak yang lebih dekat. Aku bertanya lagi,
"Hei, apa yang sebenarnya kau lakukan dengan kalung itu? Dan kau belum menjawab pertanyaanku, siapa kau dan mengapa kau menyusup lagi ke rumahku?"
Kali ini kentara sekali laki-laki itu tampak terkejut dengan reaksiku. Dia tetap tidak berbicara, menatap kalung di tangannya dengan heran. Berpindah dari kalung, dia kembali menatapku lagi. Tatapannya berganti menjadi awas, menelitiku dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku berusaha menenangkan diri, meskipun debar di jantungku masih menggebu-gebu. Tiba-tiba, laki-laki itu seperti teralihkan oleh sesuatu. Dia melihat ke arah tangga. Aku melakukan hal yang sama, melihat lampu di lantai bawah menyala. Suara langkah kaki menyusul setelahnya; ada seseorang di bawah sana yang bangun dan keluar dari kamar tidur.
Aku menoleh lagi ke arah laki-laki itu, tetapi dia sudah menghilang dari posisinya semula. Angin bertiup dari dalam ruang buku. Begitu aku mengecek ke dalam, pintu ruang buku yang menuju balkon telah terbuka lebar. Bergegas ke balkon, aku mendapati tidak ada keberadaan laki-laki itu, baik di atas atap maupun di halaman rumah. Tidak ada kerusakan pada kenop pintu. Laki-laki itu berhasil membobol kuncinya dengan mulus, seolah pekerjaan mudah baginya. Jendela di samping pintu masih utuh tertutup oleh papan kayu.
Laki-laki bermasker sekali lagi telah lenyap dengan misterius, menghilang tanpa jejak dengan begitu cepat. Aku merosot pada dinding balkon di sebelahku. Tubuhku langsung lemas seiring dengan ketegangan yang menguap, menyisakan hanya sekelumit kebingungan yang menjurus pada sebuah pertanyaan: apa yang baru saja terjadi?
***
Aku tidak bisa tidur semalaman karena gelisah. Pintu kamar kukunci rapat-rapat. Kubenamkan seluruh tubuhku di balik selimut. Waktu aku turun dari ruang baca beberapa jam yang lalu, kakakku --yang kebetulan terbangun dan menyalakan lampu ruang keluarga-- menanyaiku mengapa aku terlihat sangat pucat. Aku menggeleng dan mengatakan aku baik-baik saja --yang jelas-jelas tidak-- dan segera memasuki kamar tidurku. Kakakku tidak menunjukkan kecurigaan atau kekhawatiran dan, setelah mengambil minum dari dalam kulkas, kembali lagi ke kamarnya.
Tiga malam aneh datang berturut-turut, aku tidak habis pikir. Tiga kejadian yang tidak masuk akal pula. Pertama, permata bersinar; kedua, dua penyusup misterius; ketiga, satu penyusup kembali dan menanyakan benda yang sama sekali tidak kuketahui. Fragmen kunci... benda apakah itu...? Di rumah ini hanya ada kunci-kunci biasa, tipe yang selalu digunakan untuk mengunci pintu. Mungkin laki-laki itu salah alamat atau sudah tidak waras. Yang jelas dia berhasil menakutiku setengah mati. Aku tahu ancaman belati itu hanya digunakan untuk memaksaku berbicara, tapi siapa tahu jika dia sungguh-sungguh akan menggorokku. Aku mengusap leherku dengan ngeri.
Di kampus, aku tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Harus kuakui aku masih syok akibat peristiwa kemarin malam, dan tidak ada orang yang cukup aku percayai untuk aku ceritakan. Aku punya beberapa teman, tentu saja, namun aku ragu apakah mereka akan mempercayai ceritaku saking seringnya aku membicarakan hal-hal absurd tentang imajinasiku. Sekarang siapa sangka, hal absurd benar-benar sedang menimpaku.
Aku memutuskan untuk mengalihkan perhatianku pada hal lain, pada dosen yang sedang menerangkan di depan kelas, pada menu makan siangku nanti, atau terutama pada proyek taman bacaanku. Aku tidak sabar untuk pulang ke rumah dan menyambut anak-anak, semoga mereka datang lagi hari ini.
Doaku terkabul. Setibanya aku di rumah dari kampus, Udin dan kawan-kawannya --berjumlah empat orang lebih banyak dari kemarin-- sedang menunggu di teras. Mereka bilang mereka juga baru tiba dan belum menunggu lama. Aku segera mengantar mereka masuk ke dalam ruang bekas gudang, yang kini resmi menjadi taman bacaan. Secara pribadi, aku bangga telah berhasil memolesnya menjadi ruang yang nyaman. Udin dan kawan-kawan tampak menikmatinya.
Kali ini aku mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan anak-anak itu satu per satu: Udin, Nina, Toni, Egi, Bela, Sarah, Reza, Budi, Asep, dan Ika. Anak yang meminjam buku kemarin adalah Egi. Dia membawa serta buku tersebut dan mengembalikannya kepadaku dengan malu-malu. Aku merekomendasikan buku dongeng lain yang serupa dengan buku yang dia pinjam, dan dia mulai membacanya dengan riang. Aku juga menyediakan makanan kecil dan minuman lagi supaya mereka merasa lebih betah. Ketika beberapa dari mereka sedang jenuh membaca, mereka bisa mengambil rehat sejenak dengan memainkan mainan yang sengaja aku simpan di dalam taman bacaan.
Senja pun tiba dan anak-anak pulang ke rumah mereka masing-masing sambil membawa buku-buku yang mereka minati. Mereka bilang kepadaku mereka akan datang lagi besok. Kata mereka, buku-buku di rumahku seperti tidak pernah habis dan jauh lebih menarik dari buku-buku pelajaran mereka. Aku meluruskan anggapan mereka dengan berkata bahwa buku pelajaran harus menjadi prioritas pertama di atas buku-buku yang aku pinjamkan, walaupun sejujurnya aku juga lebih menyukai membaca buku-buku cerita daripada diktat kuliah.
Setelah berkumpul dengan anak-anak, suasana hatiku menjadi lebih baik dan tenang. Aku rasa aku bisa tidur nyenyak malam ini.
***
Mulanya aku sedang berada di sebuah toko kue. Di sekelilingku, kue-kue beraneka warna dan bentuk berjajar di dalam etalase. Dosenku muncul dari balik dapur toko sambil membawa tart raksasa yang tingginya hampir sepadan dengan tinggi tubuhnya. Kata beliau, aku harus memakan semua kue di sini bila ingin mendapat indeks A pada mata kuliahnya. Aku langsung kalap dan mengambil kue-kue tanpa pandang bulu.
Ketika aku sedang asyik makan, kue-kue di sekitarku perlahan menghilang dan latar toko kue tiba-tiba berganti menjadi sebuah garasi. Di dalam garasi, terletak sebuah kasur. Bukan kasur biasa karena di bawahnya terdapat roda-roda seperti mobil dan, terpasang kokoh pada salah satu sisi kasur, terdapat setir dengan tombol-tombol di bagian pusatnya. Aku menaiki kasur tersebut, menekan salah satu tombol pada setir. Roda-roda kasur langsung berjalan maju, seiring dengan pintu garasi yang terbuka secara otomatis. Aku membelokkan setir, mengakibatkan mobil kasur berbelok sesuai dengan arah setirnya. Ketika aku menekan salah satu tombol pada setir, sepasang sayap keluar dari samping kanan dan kiri kasur. Mobil kasur terangkat melayang di atas lantai, dan sejurus kemudian, meluncur terbang ke luar dari garasi.
Aku mengemudikan mobil kasur, membawanya melaju kencang di langit hingga tahu-tahu aku sudah berada di langit kota Paris. Menara Eiffel menjulang tinggi di depanku.
Mendadak mobil kasur tidak bisa kukendalikan, malah bergerak dengan sendirinya. Dia melesat maju ke arah menara Eiffel lalu mendarat di atasnya; jelas bukan pendaratan yang mulus. Terguncang, aku kehilangan keseimbangan, terjun bebas dari ketinggian beratus-ratus meter. Di bawahku adalah jalan beraspal. Saat itu aku sudah sadar aku sedang bermimpi, jadi aku tidak khawatir akan jatuh menimpa permukaan keras jalanan. Tetapi ketika aku mendarat di tanah, alih-alih tidak merasakan apa-apa seperti yang kuduga, aku malah merasakan rasa sakit menghantamku. Rasa sakitnya tidak seperti jatuh dari ketinggian menara Eiffel --tidak, jauh lebih ringan daripada itu.
Tunggu, harusnya aku tidak merasa sakit... Tidak hanya itu, tubuhku menyentuh daratan yang dingin, lembap, dan menggelitik. Menggelitik dan berbau seperti... rumput. Setengah kesadaranku mulai kembali, tetapi aku belum sepenuhnya terbangun. Alam bawah sadarku masih bersikeras bahwa ini adalah mimpi yang kebetulan terasa realistis.
Lalu aku merasakan sesuatu mendepak lenganku dan membangunkanku sepenuhnya.
"Bangun." Suara tajam yang familiar terdengar tidak jauh di atasku.
Aku membuka mata. Di bawahku tidak ada kasur, melainkan tanah dengan hamparan rumput yang dingin. Udara malam menusuk-nusuk tubuhku yang masih mengenakan piyama. Aku menggerakkan tubuh, melihat langit malam di atasku. Aku sadar aku sedang berada di alam terbuka dan mataku langsung membelalak karenanya. Ini sama sekali bukan kamar tidurku!
Aku terbengong cukup lama, masih dalam posisi berbaring; bertanya-tanya dalam hati apakah aku masih bermimpi atau ini memang kenyataan. Seseorang mendepak lenganku lagi dengan kakinya,
"Cepat bangun," katanya lagi. Suara dingin yang sama dengan sebelumnya.
"Aw!" jeritku.
Aku membangkitkan tubuhku ke posisi duduk dan mengusap-usap lenganku. Kulihat laki-laki bermasker yang sama dengan dua malam kemarin sedang berdiri di sebelahku.
"Kau lagi! Apa kau yang membawaku ke sini?"
Dia tidak menjawab. Namun, melihat dari tatapannya, aku tahu jawabannya. Orang tidak waras ini yang telah membawaku kemari.
"Di mana ini?" tanyaku; ketakutan bercampur dengan kemarahan.
Laki-laki bermasker itu lagi-lagi tidak berkutik. Aku memperhatikan daerah sekelilingku. Aku dan dia sedang berada di sebuah lapangan berumput yang luas nan gelap gulita. Lampu terdekat merupakan lampu jalan di pinggir lapangan, letaknya beberapa belas meter dari kami. Di ujung lapangan, aku melihat deretan bangku batu yang tidak asing, membuatku mengenali tempat ini, yakni lapangan bola di komplek sebelah. Syukurlah, masih tempat yang kukenal.
Aku menghadapi laki-laki bermasker itu lagi. "Kenapa kau membawaku kemari?"
Si laki-laki bermasker tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Ada sesuatu yang perlu kuurus denganmu."
"Sesuatu apa?"
Tepat ketika aku menanyakan itu, sesosok bayangan mendekati kami. Si laki-laki bermasker tetap tampak tenang dan hanya melirik sedikit ke sosok itu. Di langit, awan yang menutupi bulan purnama mulai bergeser, memberi pencahayaan lebih. Perlahan aku bisa melihat wujud dari penampakan tersebut.
Sosok itu adalah seorang laki-laki, berambut pirang panjang dan lurus, tinggi tubuhnya sepantar dengan si laki-laki bermasker, dan mengenakan pakaian hitam dengan nuansa perak yang serupa. Dia tampak cukup muda; barangkali hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dariku, atau mungkin berumur dua puluh tahunan akhir. Dia memegang sebuah tongkat panjang di tangannya, tongkat berwarna perak dengan kristal bundar di bagian ujung. Di sekeliling kristal bundar itu terdapat bingkai perak dengan bentuk yang rumit; bentuk yang sudah pernah kulihat sebelumnya, bentuk yang sama dengan bentuk liontin yang diayunkan si laki-laki bermasker kemarin...
"Selamat malam, Alto," ucap sosok itu kepada si laki-laki bermasker.
"Kau terlambat, Faryal Darlert," balas Alto.
"Maklumlah, aku baru saja menempuh jarak ribuan kilometer untuk memenuhi panggilanmu. Jadi, ini gadis yang kau maksud?"
Laki-laki bernama Alto mengangguk singkat. Faryal Dartlert menatapku sambil tersenyum lembut. Dia menjulurkan tangannya kepadaku.
"Selamat malam, namaku Faryal. Maafkan kami harus membawamu ke tempat seperti ini. Jelas bukan tempat yang romantis untuk menemui seorang gadis. Seleramu buruk sekali, Alto Rialtiorre."
Alto memalingkan wajah tidak peduli. Faryal masih menjulurkan sebelah tangannya kepadaku, menawarkan diri untuk menuntunku berdiri. Aku, dengan rasa takut yang mulai berkurang, memutuskan untuk menyambut uluran tangan Faryal.
Di tengah lapangan, kami bertiga berdiri dalam hening. Angin malam bertiup kencang dan mengibas-ngibas rambut kami. Faryal dan Alto bergantian memandangku, seakan sedang merencanakan sesuatu terhadapku.
"Talisman darimu tidak berfungsi kepadanya," ujar Alto kepada Faryal.
Faryal menanggapi, "Seharusnya manteraku tidak kadaluarsa. Penjelasan yang mungkin adalah kemampuan dan keampuhan benda itu sudah terkikis, umurnya sudah ratusan tahun. Aku memang perlu membuat yang baru."
"Itu bisa diatur nanti. Sekarang urus dulu yang satu ini."
"Nasibmu sedang sial sampai-sampai mendapat saksi mata. Serahkan padaku, ini hal yang sangat mudah. Nah, gadis manis di depanku, tahan sebentar. Ini tidak akan sakit."
Faryal mengangkat tongkatnya dan mengacungkannya ke hadapanku. Kristal di ujung tongkat tiba-tiba berpendar dan memperlihatkan nyala api putih di dalamnya. Kakiku seperti terpaku di tanah lapangan, tidak kuasa untuk menghindar. Selama beberapa detik, kristal itu tetap berpendar. Indah, menawan, namun tidak berefek apa-apa. Kendatipun begitu, aku menunggu dengan tegang, berharap tidak ada ledakan yang meletup dari kristal. Faryal menarik tongkatnya sebentar, lalu mengacungkannya lagi kepadaku. Pendar putih bersinar semakin cerah, namun hanya itu saja. Kemudian pendar putih di dalam bola kristal meredup perlahan hingga akhirnya menghilang.
Faryal dan Alto memandangku dengan tercengang.
"Bagaimana... bisa?" tanya Faryal, ekspresi kaget pada wajahnya.
Alto juga memasang ekspresi serupa. "Bahkan sihirmu juga tidak berefek kepadanya?"
Aku, sama bingungnya, bertanya, "Halo? Bisakah kalian menjelaskan apa yang barusan kalian lakukan kepadaku?"
Pertanyaanku tidak digubris oleh mereka. Faryal dan Alto menatap satu sama lain dengan cemas. "Ini belum pernah terjadi sebelumnya, sama sekali. Aneh... sungguh aneh..." ucap Faryal.
"Tampaknya kau tidak mengerti alasannya, begitu juga denganku. Namun kita tidak boleh membiarkan saksi mata berkeliaran bebas."
"Kau benar, aku akan melapor pada Yerve. Sampai penyebabnya jelas, kau tidak bisa lepas tangan."
"Aku tahu. Masalahnya semakin rumit saja tanpa belum ditemukannya benda itu."
"Aku percayakan hal ini kepadamu, Alto. Tunggu kabar dariku, aku akan kembali secepatnya. Kau yakin tidak ada saksi mata lain?"
"Tidak, aku sudah mengawasi manusia ini sepanjang hari. Tidak ada lagi yang tahu."
Faryal menggenggam tongkat kristalnya erat-erat di samping tubuhnya. Dia lalu menghadap kepadaku lagi. Kecemasan yang meliputi wajahnya kontan berubah menjadi senyuman ramah.
"Sampai jumpa lagi, gadis manusia. Ini bukan pertemuan kita yang terakhir," Faryal berkata yakin.
Dengan satu kali hentakan tongkat, Faryal menghilang dari pandangan. Iya, aku yakin dia baru saja melenyap. Kegelapan malam menyamarkan kepergiannya, seolah menelannya bulat-bulat ke dalam kehampaan. Tinggal aku dan Alto berdua di tengah lapangan yang sunyi...
"GUG! GUG!"
Suara gonggongan anjing dari kejauhan membuyarkan keheningan di antara kami. Suara itu mendekat, disertai dengan cahaya lampu senter dari orang yang berjalan di sebelah anjing tersebut.
"Oi! Siapa di sana?" bentak orang yang membawa senter. Suaranya galak dan lantang. Langkah kaki dia dan anjingnya semakin mendekat...
Aku melirik Alto dengan panik. Laki-laki bermasker itu mendesah pelan dan, dengan kecepatan yang menyaingi kecepatan kepergian Faryal, dia melesat ke langit malam tanpa mengucapkan apa-apa terlebih dulu, meninggalkanku sendiri di tengah lapangan.
"H-hei!!!" panggilku, tetapi Alto telah kepalang hilang dalam kegelapan malam.
Langkah kaki si pembawa senter dan anjing itu sudah sangat dekat, tidak terhindarkan. Sorot senter mengenai wajahku; aku melihat seorang satpam muncul sambil menggiring anjing penjaga di sampingnya.
Tamatlah aku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top