Bab I

Satu pusaka. Dua jiwa. Tujuh fragmen kunci. Sembilan klan kesatria. Semua berputar dalam lingkaran kekuatan yang abadi, dijaga oleh fragmen-fragmen yang tersebar. Setelah disangka hilang selama lebih dari tujuh abad, satu per satu kepingan terpicu; menunggu untuk dipersatukan. Para kesatria mengacungkan senjata, siap untuk berburu, siap untuk beradu....

***

Mereka bilang aku perlu lebih berpartisipasi. Kurang lebih begitu. Sebuah film baru saja menginspirasiku. Orang-orang asing itu juga menyuruh sang tokoh utama untuk lebih berpartisipasi. Aku yang dulu pasti akan bilang, "Yang benar saja? Kau pikir kau siapa seenaknya mengaturku?" Tetapi, aku yang sekarang, menyebut diri sebagai individu dalam rehabilitasi mandiri atas inisiatif pribadi, kali ini berpikir mungkin mereka benar. Oke, mereka memang benar. Aku harus berpartisipasi. Aku akan melakukannya, tidak ada cara lain.

Di luar kamar, kulihat langit kuning kemerahan telah berubah menjadi biru gelap. Aku berdiri dan meregangkan badan. Sudah berjam-jam kuhabiskan waktu di depan layar komputer. Saatnya kembali ke kehidupan nyata: kehidupan yang jemu, kaku, dan memuakkan. Kehidupanku, setidaknya.

Kuingat-ingat lagi apa yang telah kukerjakan hari ini: bersih-bersih rumah di pagi hari, pergi kuliah, makan siang di kantin kampus, rapat organisasi mahasiswa, pulang ke rumah, lalu menonton film di komputer selama berjam-jam sampai berakhir beberapa menit yang lalu.

Merenungkan apa yang baru saja kutonton, ditambah dengan pikiranku akhir-akhir ini, aku bertekad mengubah diriku. Aku tidak ingin terus-terusan malas dan pasif. Aku juga ingin membuat perubahan yang lebih baik untuk lingkungan sekitarku, seperti yang dikatakan oleh para petinggi organisasi mahasiswa itu, hanya saja aku kebingungan dari mana memulainya. Aku tidak punya keberanian untuk berkoar di depan publik, emosiku tidak stabil, dan pikiranku mudah terdistraksi. Semua itu berperan dalam membuatku mengalami krisis percaya diri, dan aku bukan seorang motivator diri yang hebat. Dengan cepat, aku mudah menjadi pasrah.

Sekarang semuanya harus berubah. Umurku sudah sembilan belas tahun dan liburan semester genap akan dimulai. Aku punya waktu selama dua setengah bulan untuk merancang rencana dan bertindak. Fase perencanaan kutargetkan untuk berakhir hari ini, yang artinya aku harus mulai bertindak. Rencana brilian menurutku, meski tidak orisinil.

Dimulai dari dua minggu lalu, ketika aku jalan-jalan sendirian ke toko buku di daerah pusat kota. Saat itu hujan sedang turun deras, aku pun sekalian berteduh di dalam toko. Sembari mencari-cari komik incaranku, tidak sengaja aku melihat beberapa anak jalanan sedang menawarkan jasa ojek payung di pinggir jalan raya depan toko buku. Terbersit olehku: aku sedang berada di dalam gedung yang nyaman, kering dan hangat sambil membaca buku, sedangkan anak-anak itu terpaksa mencari nafkah, basah kuyup diterpa hujan, tidak dapat menikmati luasnya ilmu pengetahuan dari jendela dunia. Anak seumur mereka seharusnya bermain dan belajar, bukannya mengais peruntungan dari jalanan.

Aku pulang dengan perasaan miris dan mengganjal. Lalu, malam itu juga, kutemukan artikel di internet mengenai taman bacaan untuk anak-anak jalanan yang dibangun oleh komunitas masyarakat di suatu kota dengan memanfaatkan sumbangan buku dari penduduk. Jika diibaratkan kartun, sudah ada bohlam yang menyala di atas kepalaku. Aku tahu apa yang ingin kulakukan untuk membuat setitik perubahan.

Keluargaku adalah kutu buku. Semua anggota keluargaku --ayah, ibu, satu kakak, dua adik, dan aku-- mempunyai hobi membaca buku. Selama belasan tahun sejak rumah kami dibangun, keluargaku telah membeli dan mengumpulkan puluhan hingga ratusan buku dari berbagai genre sesuai preferensi kami masing-masing: dongeng, legenda, horror, fantasi, psikologi, ilmu pengetahuan, hingga buku resep dan ensiklopedia yang tersimpan dalam delapan deret lemari besar bertingkat yang terletak di ruang buku di lantai dua rumah, sejenis perpustakaan pribadi milik kami.

Aku menghabiskan waktu sekitar tiga hari untuk membuat katalog dari tumpukan buku tersebut. Aku bahkan membuat data statistiknya; sesuatu yang langka dilakukan oleh orang semalas diriku. Secara keseluruhan, dari total enam ratus lima puluh sembilan buku yang terdapat di rumahku, sebanyak enam puluh tujuh persen dari buku-buku itu adalah buku anak-anak. Itu berarti sebanyak 441,53 buku. Ada desimal yang tersisa karena aku ragu apakah salah satu buku tersebut benar-benar merupakan buku anak-anak; ceritanya implisit dan terlalu berbelit-belit.

Kembali ke misiku, dengan jumlah buku anak-anak sebanyak itu --terdiri dari komik, novel, dan buku pelajaran-- aku merasa optimis untuk membangun taman bacaanku sendiri, diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu agar mereka bisa membaca dan meminjam buku sebanyak yang mereka mau dengan gratis. Dua aspek yang kubutuhkan adalah penyediaan ruang taman bacaan dan targetnya. Aku akan mulai mencari target anak-anak besok, berarti tugas yang tersisa adalah menyiapkan ruangan, yang akan kulakukan malam ini juga.

Aku berencana membangun taman bacaan ini di gudang dekat garasi. Orangtuaku tidak akan suka mendapati bocah-bocah asing memasuki rumah. Untuk memasuki gudang, tidak perlu melewati bagian dalam rumah terlebih dulu karena ada jalur langsung yang menghubungkan garasi dengan gudang, sehingga lokasi ini yang kurasa paling ideal. Perlu waktu cukup lama untuk bernegosiasi dengan orangtuaku hingga akhirnya aku mendapatkan izin untuk menggunakannya.

Saatnya untuk memulai; aku beralih dari komputer dan beranjak menuju gudang.

Ruang gudang cukup menyeramkan; luasnya sekitar empat kali enam meter persegi dengan jendela yang tidak pernah dibuka dan pencahayaan yang hanya bergantung pada lampu, yang kini bersinar redup dan temaram menjelang masa akhir hidupnya. Di dalam gudang, terletak kardus-kardus berisi barang-barang bekas dan perkakas tidak terpakai. Aku sudah lupa kapan terakhir kali keluargaku menata barang-barang ini. Yang jelas kami selalu menambah dan menumpuk barang-barang tanpa membereskan mereka, akibatnya tempat ini sungguh acak-acakan.

Gudang ini juga menjadi bukti peninggalan keluarga besarku secara turun temurun. Ada barang milik paman, tante, nenek, kakek, ayah kakekku, sampai kakeknya ayah kakekku. Rumah keluargaku termasuk yang paling besar di antara rumah sanak saudara yang lain, sehingga mereka menitipkan berbagai barang bekas mereka di rumah kami. Sayang dibuang, mereka bilang. Mungkin itu salah satu alasan mengapa orangtuaku mengizinkan aku menggunakan gudang sebagai lokasi proyek taman bacaanku, supaya aku membereskan semua rongsokan ini.

Aku mulai memilah tumpukan barang di sekitarku. Barang-barang yang kuanggap sudah tidak ada gunanya aku masukkan ke kardus terpisah untuk kuberikan ke tukang loak. Barang-barang yang sekiranya masih terpakai --meskipun aku tidak tahu untuk apa-- akan kutampung dan kutata di sudut gudang. Tujuanku adalah menyediakan area kosong di ruangan ini untuk menyimpan buku-buku dan menggelar karpet sebagai alas duduk.

Tanganku segera menyortir barang-barang dengan cekatan. Lusinan koran bekas kulempar ke dus rongsokan. Sendal jepit; dus rongsokan. Raket badminton patah; dus rongsokan. Dompet jamuran; sepatu bolong, botol-botol parfum kosong, hingga tiang lampu meja kumasukkan ke dalam dus berlabel 'Rongsokan' yang mulai penuh, padahal dus rongsokan itu adalah dus bekas mesin cuci yang berukuran besar. Begitu banyak barang di dalam gudang: bertumpuk, berjamur, berdebu, dan tak lagi bertuan. Kuburan barang-barang dengan kardus-kardus kumal sebagai peti mati mereka. Menjelang tengah malam, baru sebelas isi kardus yang berhasil aku bereskan. Saking kesalnya, sebagian besar barang kumasukkan ke dus rongsokan tanpa pikir panjang lagi. Kardus-kardus yang sudah kosong aku lipat untuk diberikan ke tukang loak juga.

Sekarang tinggal lima kardus lagi yang tersisa. Aku mendekat ke sebuah kardus yang terletak di paling ujung ruangan. Sepertinya, dilihat dari permukaannya yang sangat berdebu, kardus ini merupakan yang tertua di antara yang lain. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi isinya sangat padat. Barang-barang yang tidak kalah berdebu menyembul keluar dari balik tutup kardus.

Kardus ini berisi barang-barang milik kakek buyutku. Beliau, seperti yang pernah diceritakan oleh kakekku, adalah kolektor benda-benda antik. Dia sering berkelana dan kakekku sendiri jarang bertemu dengannya, kecuali sewaktu dia pulang sesekali seraya membawa serta koleksi benda-benda yang dia temukan di tempat singgahnya. Terakhir kali kakekku bertemu dengan kakek buyutku adalah ketika dia berumur dua belas tahun. Semenjak itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Lebih tepatnya, kakek buyutku tidak pernah pulang lagi. Banyak rumor yang bilang bahwa dia menghilang. Kakekku berspekulasi bahwa kakek buyutku akhirnya menemukan tempat yang cukup memuaskan, dikelilingi oleh benda-benda antik favoritnya, dan memutuskan untuk tinggal di sana. Aku sependapat dengan kakekku, membayangkan seorang lelaki tua eksentrik sedang berenang sambil tertawa terbahak-bahak di antara tumpukan emas-emas suku Maya. Kendatipun begitu, diam-diam aku selalu merasa kagum terhadap kakek buyutku yang bebas mengembara sesuka hati tanpa terkekang oleh tuntutan keluarga, tidak seperti aku.

Sejak kepergian kakek buyutku yang misterius, barang-barang miliknya dititipkan ke ayah kakekku, kemudian ke kakekku, dan akhirnya kepada ayahku. Mengapa barang-barangnya tidak dibuang saja? Apa tujuan mereka menyimpannya? Apa mereka beranggapan suatu saat nanti kakek buyutku akan muncul untuk menagih barang-barangnya kembali? Bisa saja, kemungkinan konyol yang justru terpikirkan olehku, kakek buyutku menghilang karena diculik alien, dijadikan imortal, lalu berhasil membebaskan diri dan singgah kemari. Beberapa menit lamanya aku terdistraksi dalam pikiran fiktif lainnya mengenai kemungkinan-kemungkinan alasan menghilangnya kakek buyutku. Cepat-cepat aku menggelengkan kepalaku dan mulai membuka tutup kardus usang itu. Sebaiknya aku segera menyingkirkan barang-barang ini, atau aku beserta kakak atau adik-adikku yang akan menjadi korban titipan selanjutnya.

Di bagian paling atas kardus tersimpan sebuah lukisan Cina kuno dengan bingkai kayu lapuk di sekelilingnya. Gambarnya adalah seorang lelaki tua --seorang filsuf atau cendekiawan berpakaian serba putih-- yang sedang bersandar pada pohon sambil menulis di secarik perkamen; tumpukan buku menjulang di sebelahnya. Aku meletakkan lukisan itu di sudut ruangan lain; menjadikannya dekorasi taman bacaan. Benda berikutnya, tepat di bawah lukisan Cina, adalah sebuah cerutu tua berwarna cokelat mengkilap dengan ukiran pola di tepi lubangnya. Benda itu juga masih bagus, jadi kusimpan juga di sudut ruangan. Sisa benda-benda lainnya tidak berguna, namun tidak tega kubuang karena rasa takjubku mengamati keantikan mereka. Ada gading palsu dengan ukiran-ukiran huruf kuno, topi bulu kaum Eskimo, miniatur menara Eiffel, sepatu Klomp, boneka Matryoshka, revolver mainan, piring bercorak kaligrafi Arab, guci berhiaskan tulisan hieroglif, sendok teh perak, teko bergambar dewa-dewa mitologi Yunani, dan beragam benda khas lainnya dari berbagai negara. Aku tidak menyangka akan menemukan harta karun semacam ini tersembunyi di gudang rumahku. Semua barang itu tampak mahal dan berkualitas; beberapa dengan label yang menandakan lokasi benda itu dibuat, yaitu benar di negara asalnya. Entah kakek buyutku pergi secara langsung ke negara-negara tersebut atau mengimpor mereka ke Indonesia, yang jelas benda-benda ini sungguh menarik.

Benda terakhir yang kuamati adalah sebuah kotak di bagian bawah kardus. Kotak itu terbuat dari kayu yang dilapisi kain beludru, berwarna hitam legam dan berukuran selebar telapak tanganku. Bagian pinggirnya sudah agak berjamur karena termakan usia. Tidak ada lubang kunci ataupun pengait pada kotak; membuatnya mudah untuk langsung dibuka. Aku membukanya pelan-pelan. Sebuah benda berkilau muncul di baliknya. Sebongkah permata merah.

Mulutku langsung menganga. Aku memandangi permata itu dengan terkagum-kagum: bongkahan batu merah mengkilap yang memantulkan cahaya redup lampu gudang. Bentuknya agak pipih dan menyerupai bulan sabit dengan lengkung sempurna di satu sisi, tampak alami seakan permata itu memang tercipta sedemikian rupa dan tidak dibentuk oleh tangan manusia; tidak ada campur tangan ataupun rekayasa. Permata itu, berukuran setengahnya telapak tanganku, tersimpan di atas alas beludru halus yang menyelimuti interior kotak. Terlihat jelas benda ini disimpan dengan baik-baik, bagaikan suatu pusaka yang sangat berharga. Aku duduk di lantai, menyimpan kotak berisi permata itu di depanku. Makin terlena dengan keindahannya, aku menjulurkan tangan dan mengangkat permata itu dengan kedua tanganku.

Tiba-tiba, tepat ketika aku meletakkannya di telapak tanganku, sinar yang sangat terang dan menyilaukan berpendar dari permata merah. Seketika sinar itu memancar dan menyebar ke sekeliling ruangan; silau sekali hingga secara refleks aku memejamkan mata. Permata merah itu terus bersinar untuk beberapa lama sebelum, didasari rasa kaget dan naluri defensif, aku melemparkan benda itu kembali ke dalam kotak beludru. Detik itu juga, seiring dengan terlepasnya permata dari kulit tanganku, sinar menyilaukannya lenyap, terserap dengan cepat dan lahap oleh si permata. Batu mulia itu terbaring lagi di atas tempat tidur beludrunya; tenang, aman, dengan kilau normal.

Jantungku berderap kencang setelahnya. Aku terjengkang ke belakang dengan tangan menopang tubuh ke lantai.

Apa yang baru saja terjadi?

Aku mendongak ke sekitar, tidak menemukan siapapun atau apapun yang mengganjal. Angin malam dari garasi menerpa tengkuk leherku. Bulu kudukku merinding seiring ketakutan menjalar ke dalam aliran darahku. Aku menatap batu permata yang tergeletak diam di dalam kotak. Memberanikan diri, aku menutup kotak pelan-pelan dan meletakkannya kembali ke posisinya semula di bagian dasar kardus. Setelah meraih sakelar dan mematikan lampu, aku cepat-cepat menutup pintu dan bergegas meninggalkan gudang, berharap aku hanya bermimpi.

***

Esok harinya aku tidak melanjutkan menata gudang. Sebelum aku mendapatkan penjelasan yang logis di balik bersinarnya permata milik kakek buyutku tersebut, aku akan menjauhkan diri sebisa mungkin dari tempat itu. Permata dan batu mulia lainnya memang berkilau --ya, siapapun tahu itu dengan baik. Masalahnya, yang aku saksikan kemarin bukanlah kilau batu mulia pada umumnya. Itu adalah sinar, cahaya, pendar, dan istilah lainnya yang serupa. Sinar yang bila didefinisikan seumpama lampu senter yang mendadak dinyalakan dan memancarkan cahaya sangat terang dan menyilaukan, dengan perbedaan bahwa cakupan pancaran sinar permata itu meluas sebesar tiga ratus enam puluh derajat. Tidak ada lampu mini atau perangkat elektronik yang tertanam di dalam permata. Dengan kata lain, permata itu bersinar dengan sendirinya.

Kemarin malam, sekeluarnya dari gudang, aku langsung menuju kamar tidurku dan berusaha tidur secepatnya dengan kepala bersembunyi di bawah selimut. Saat itu tidak ada alasan lain yang terpikir selain alasan mistis, mengingat waktu sudah lewat tengah malam dan semua orang di rumah sedang tertidur lelap. Setelah menghabiskan sepanjang siang untuk mencari literatur ilmiah tentang batu mulia di internet, aku menyerah dan memutuskan untuk melanjutkan misiku. Tidak langsung ke gudang, tapi meloncat ke misi berikutnya, yakni mencari anak-anak sebagai target taman bacaanku.

Komplek rumahku berlokasi dekat perkampungan yang hanya dipisahkan oleh satu jalur gang dan sebuah jalan kecil. Ketika aku masih SD, seringkali aku pergi ke daerah perkampungan tersebut untuk berjalan-jalan setelah pulang sekolah. Sebaliknya, anak-anak dari kampung sering bermain ke komplekku. Terkadang aku melihat mereka mengincar pohon yang sedang berbuah di rumahku dan rumah-rumah tetangga. Ayahku pernah memarahi mereka karena mencoba mencuri mangga dari pohon. Pada musim kemarau seperti sekarang, tidak banyak pohon yang berbuah. Komplek pun sepi dari gerombolan anak kampung tersebut.

Aku memutuskan untuk menghampiri mereka ke daerah perkampungan. Pada umumnya aku suka anak-anak, dan aku tahu untuk membujuk mereka melakukan yang kita mau, kita harus mempersiapkan iming-iming. Dengan bekal beberapa permen loli untuk sesajen, aku berjalan ke depan mulut gang. Semoga saja target yang kutemui nanti tidak malah menganggapku penculik.

Di depan gang, seorang bocah laki-laki sedang duduk di atas sepedanya. Dia masih mengenakan seragam sekolah dasar, tetapi kakinya mengenakan sendal jepit. Dilihat dari ukuran tubuhnya, paling tidak dia adalah murid kelas empat atau lima SD. Dia sedang memainkan setang sepedanya sambil bersiul.

Aku mendekatinya, bertanya, "Dek, lagi apa?"

Bocah laki-laki itu hanya melirikku sesaat, sebelum kembali memainkan setang sepeda lagi. Menghadapi anak kecil memang membutuhkan kesabaran.

Aku mencoba lagi dengan nada lebih ramah, "Dek, Kakak bawa permen, lho. Mau?"

Si bocah laki-laki kini memberikan perhatiannya kepadaku. "Permen apa, Kak? Enak?"

"Enak banget. Tapi jawab pertanyaan Kakak dulu, ya. Kamu suka baca buku?"

"Engga tahu, Kak," jawabnya cuek.

"Kok engga tahu? Di rumah kakak banyak buku seru, lho. Kamu bisa baca buku sepuasnya di sana. Rumah kakak letaknya yang di ujung jalan itu, yang warna catnya kuning muda," kataku sambil menunjuk ke arah ujung jalan di luar gang. "Kakak kasih permen tapi kamu ikut Kakak ke rumah, ya?"

Bocah laki-laki itu mengangguk dan menjulurkan sebelah tangannya kepadaku. Aku mengeluarkan dua buah permen loli dari saku jaket dan memberikannya kepada si bocah laki-laki, tersenyum lebar karena mengira berhasil mendapatkan target pertamaku. Rupanya si bocah menagih lagi.

"Lagi Kak, ini sih kurang. Yang banyak dong."

"Lagi? Oke, nih Kakak tambah lagi," ucapku, memberi si bocah dua permen lagi seperti yang dimintanya.

"Asyik, dapat permen!!!" serunya riang.

"Yuk, sekarang ikut Kakak ke rumah, kita baca buku bersama," ajakku.

"Engga mau, Ibu Guru bilang jangan mau ikut orang engga dikenal, nanti diculik."

Aku melengos, "Tapi kan tadi kamu terima permen dariku!"

"Weeek!" Si bocah laki-laki menjulurkan lidahnya kepadaku dan mengantongi permen-permennya ke dalam saku seragam. Dia membelokkan setang sepeda, mengayuh pedalnya, dan kabur dariku.

"Hei, mau ke mana? Kembalikan permenku!!!" Aku memanggil, tetapi si bocah laki-laki sudah menjauh dengan cepat sambil menertawakanku.

Baiklah, jadi target pertamaku malah melarikan diri dariku dan beberapa pejalan kaki yang sedang melintas kini memandangiku heran. Ibu-ibu di depan salah satu rumah bahkan berbisik-bisik seraya melirikku. Dengan lunglai dan setengah malu, aku pun meninggalkan mulut gang sebelum ada yang menuduhku sebagai penculik.

***

Setelah penolakan oleh bocah laki-laki tadi siang, aku tidak lanjut mencari target. Masih paranoid dengan kejadian kemarin malam, aku juga tidak melanjutkan menata gudang lagi.

Kembalilah aku ke kebiasaanku yang semula, yaitu bermalas-malasan.

Berdiam diri di depan layar komputer dan berselancar di dunia maya sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Ada beberapa seri komik dan novel fantasi daring yang selalu aku baca, namun aku sempat puasa membaca mereka karena kepadatan jadwal kuliah. Lalu berkah bernama hari libur itu datang; aku bisa duduk manis di depan layar komputer sepanjang malam.

Beberapa hari yang lalu, sebelum aku memulai proyek taman bacaanku, aku telah menghabiskan tiga malam berturut-turut untuk membaca sebuah komik aksi yang sangat menarik di internet. Ketika pagi tiba dan mataku sudah lelah, aku baru tidur. Tidak masalah bagiku untuk berkeliaran dengan efek mata panda karena penampilanku memang sudah tidak terawat dari dulu, meskipun itu menjadikan aku kesusahan menahan kantuk di kelas.

Malam ini pun aku akan melakukan hal yang sama, selagi besok hari Minggu dan aku tidak perlu pergi ke kampus. Aku mulai membaca komik daring sejak jam empat sore. Menginjak pukul sebelas malam, lampu ruang keluarga dimatikan. Ayah, ibu, kakak, serta kedua adikku sudah tidur semua. Hanya ruang komputer yang menyala, aku berada di dalamnya. Temanku malam ini adalah segelas kopi hitam dan sepiring makanan olahan --nugget, kentang, dan sosis-- untuk camilan. Komik yang aku baca sedang mencapai klimaksnya: si tokoh utama akhirnya bertarung dengan musuh bebuyutannya. Sambil membaca komik, aku mendengarkan lagu-lagu melalui headset. Aku sengaja membuat daftar lagu yang sesuai dengan suasana cerita dalam komik untuk semakin menghayati, menyetelnya dalam volume keras. Aku memencet-mencet halaman komik pada situs dengan penuh semangat.

Tokoh utama berhasil mengalahkan pihak antagonis ketika jam menunjukkan pukul setengah dua pagi. Aku bersorak seraya meninju udara. Adegan tokoh utama mengalahkan musuh memang klasik dan klise, namun hal itu tak pernah gagal meningkatkan adrenalinku. Pertempuran yang dikemas dalam bentuk gambar-gambar itu terasa nyata hingga aku merasa sedang menyaksikannya secara langsung. Seandainya tokoh-tokoh cerita aksi itu benar-benar ada, andai saja mereka nyata.... Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana para tokoh cerita aksi mengayunkan senjata mereka dengan gagah, sigap, dan mantap untuk memberantas lawan mereka. Aku ingin tahu bagaimana mereka bisa begitu gesit dalam mengantisipasi serangan-serangan lawan, lalu membalasnya dengan gerakan yang tidak terduga. Aku ingin menyaksikan bagaimana mereka mengerahkan keberanian mereka tanpa sedikitpun rasa takut.

Perlahan aku meregangkan otot-otot punggungku. Efek kontraksi otot menghempaskanku kembali ke kenyataan. Aku menghela napas dan meraih gelas kopi di atas meja. Isinya kosong. Masih ada sepuluh bab lagi yang akan kubaca, aku perlu mengisi ulang gelasku. Aku pun mengambil gelas dan piring dari atas meja, bersiap untuk keluar dari ruang komputer. Ketika aku melepas headset dengan sebelah tanganku yang bebas, aku mendengar ada suara gemerisik rusuh dari balkon ruangan sebelah. Ruangan itu adalah ruang buku, tempat lemari-lemari buku tersimpan. Sepertinya itu suara yang dihasilkan Ujang, kucing liar yang sering kuberi makan. Dia sering memasuki rumahku malam-malam lewat jendela untuk meminta makan. Aku memang sengaja membuka jendela ruang buku agar Ujang dapat masuk. Walaupun ruang buku dan ruang komputer ini terletak di lantai dua, Ujang dapat memanjat lewat atap dengan mudah.

Bagian luar ruang komputer hanya disinari oleh lampu di ujung lorong, yaitu pada sisi yang berlawanan dengan ruang buku. Tangga menuju lantai bawah terletak di samping ruang buku. Pintu ruang buku, sedang terbuka, langsung menghadap lorong sehingga begitu aku keluar dari ruang komputer, aku bisa melihat interior ruang buku secara otomatis. Aku pun menuju ruang buku, mengira akan melihat Ujang di sana.

Tetapi tidak ada Ujang. Tepat ketika aku memajukan langkahku lagi, terdengar suara jendela pecah dari dalam ruang buku. Suara lantang dan berat.

Detik berikutnya, tubuh seorang manusia terhempas dari arah jendela, menghantam dinding ruang buku dengan suara keras, kemudian jatuh dengan posisi tersandar lemas pada dinding. Kepingan-kepingan kaca jendela menyusul berjatuhan bersama dengan jatuhnya orang itu. Hujan pecahan kaca menerpa ruang buku dan berserakan di lantai.

Aku terdiam selama beberapa detik di tempatku berdiri. Seorang baru saja mendarat di ruang buku rumahku; seorang laki-laki berjas hitam dengan rambut kelabu. Darah segar mengalir dari pelipis dan mulutnya. Dia merintih pelan untuk menahan sakit, tidak kuasa untuk melakukan pergerakan apapun.

Sebelum aku sempat merespon, sosok lainnya datang menyusul dari arah jendela. Dia mendekati orang yang terkapar di dinding dengan... aku yakin barusan dia tidak sedang berjalan. Dia melesat sangat cepat seperti bayangan hitam, langsung mendarat tepat di hadapan laki-laki yang terkapar di dinding. Dia mengenakan baju hitam panjang dengan model yang aneh. Rambutnya pirang keemasan; mulut dan hidungnya tertutup masker hitam. Di tangannya tergenggam sebuah belati. Sosok itu mengangkat tangannya dan siap menghunus si laki-laki berambut kelabu....

PRANG!

Refleks, piring dan gelas terjatuh dari tanganku. Kedua barang itu kini terpecah belah di lantai. Laki-laki berambut pirang langsung menolehkan kepala, menyadari keberadaanku. Dia menurunkan belatinya. Pandangannya tertancap kepadaku.

Rasanya jantungku mau copot. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kabur? Berteriak? Laki-laki berambut pirang masih mengawasiku, lekas melangkah maju ke arahku....

"Zarra, masih bangun? Suara berisik apa tadi?"

Ibuku berseru dari lantai bawah. Jelas suara piring dan gelas pecah telah membangunkannya. Lelaki berambut pirang mendongak sedikit ke arah tangga. Dia lalu menatapku lagi untuk sesaat. Pandangan tajamnya memberi ancaman. Selanjutnya, dia segera membopong laki-laki berambut kelabu tanpa kesusahan, melesat ke arah jendela. Suara berat menyusul setelahnya; tampaknya dia baru saja terjun dari balkon, entah menuju ke mana. Aku tidak sempat mengecek, masih membeku di posisiku.

Ibuku memanggil-manggil lagi dari bawah. "Zarra, ada apa di atas? Zarra?"

Malam ini hanya permulaan dari hari-hari aneh yang menantiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top