3. Rasa yang Sama
Begitu turun dari boncengan motor Soraya, Putri terus saja menyunggingkan senyumannya. Hatinya begitu bahagia setelah mengetahui jika saat ini ia kembali bersekolah di sekolah yang sama dengan Ridho. Ia berjalan memasuki rumah. Pintu rumah sudah bisa dibuka tanpa dirinya harus membuka kuncinya, itu artinya adiknya sudah lebih dulu pulang ke rumah.
Putri adalah anak sulung dari dua bersaudara. Ia memiliki seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku kelas enam SD bernama Galang. Papa dan mamanya bekerja, dan orangtuanya itu biasanya selalu pulang jika hari sudah larut. Karena hal itulah Galang akan dijemput oleh asisten rumah tangganya.
Sampai di ruang makan, Putri melihat Galang sedang disuapi oleh asisten rumah tangganya yang sudah sejak bertahun-tahun bekerja di rumahnya ini. Ia langsung melepas tasnya dan melempar tasnya ke kursi kosong, setelah itu barulah ia hempaskan tubuh lelahnya di samping tempat duduk Galang.
"Eh, Mbak Put sudah pulang? Bagaimana hari pertama di sekolah?" Dengan sangat ramah dan perhatian asisten rumah tangga keluarga Putri itu bertanya.
"Yaa biasa sih, Budhe. Nggak ada yang istimewa," sahut Putri. Ia dan Galang memang sudah terbiasa memanggil asisten rumah tangga mereka dengan subutan Budhe. Itu sebagai penghormatan yang diajarkan orangtua mereka untuk menghormati orang yang lebih tua. Lagipula Budhe juga masih bertetangga dengan mereka. Budhe hanya bekerja dari mulai jam lima pagi sampai jam enam sore setelah ia menyiapkan makan malam.
"Mbak Put mau diambilkan makan sekalian?" tanya Budhe.
"Nggak usah, Budhe. Makanan sudah ada di depan mata kok masih juga mau diambilkan. Emangnya Galang?!" Putri melirik ke arah adiknya yang masih saja manja kepada Budhe mereka ini.
"Sudah mau SMP tapi makan masih saja disuapi sama Budhe," sambung Putri untuk meledek adik semata wayangnya ini.
Galang tak ingin menanggapi. Ia hanya sekilas melirik sinis ke arah Putri. Sedangkan Budhe hanya tersenyum melihat kelakuan kedua anak majikannya ini.
"Ya sudah kalau begitu cepat makan, terus ganti seragam, cuci muka, habis itu tidur siang," ucap Budhe.
Putri menganggukan kepalanya seraya menyentongkan nasi dan lauk ke atas piringnya. Tiba-tiba saja dirinya teringat dengan Ridho, hingga membuat dirinya kembali tersenyum. Dan hal itu menarik perhatian dari Budhe.
"Mbak Put kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Budhe.
Putri menoleh ke arah Budhe. "Enggak kok, Budhe. Aku biasa saja," kilah Putri.
"Ciee ... palingan Mbak Put di hari pertama sudah diajak kenalan sama cowok ganteng. Iya kan?!" goda Budhe.
"Iiihh enggak itu! Budhe sok tahu banget deh. Aku itu seneng gara-gara ternyata aku satu sekolahan lagi sama cowok yang aku suka sejak dulu." Putri menutup mulutnya dengan satu telapak tangannya karena dirinya sudah keceplosan.
Putri berdecak saat melihat Budhe semakin tersenyum menggoda. "Ciiee ... Mbak Put."
"Yaaahh ... Budhe! Aku jadi keceplosan kan!" gerutu Putri. Ia menekuk wajahnya sehingga membuat Budhe semakin tertawa.
"Sudah nggak apa-apa. Namanya juga anak muda. Lagian Budhe ini kan juga pernah muda, jadi Budhe tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Seperti yang Mbak Put alami saat ini," ucap Budhe.
"Mbak Put pacaran ya, Budhe?" tanya Galang.
"Eh, diam kamu. Anak kecil nggak boleh ngomong pacar-pacaran!" setu Putri kepada sang adik.
Galang pun terdiam. Meskipun Putri ini adalah kakak yang sangat menyayangi adiknya, namun Putri ini juga sangat galak terhadap sang adik. Bahkan Putri tak sampai berpikir dua kali untuk memarahi Galang jika melihat Galang melakukan kesalahan.
"Ya sudah, Mbak Put makan dulu," ucap Budhe. Ia pun menyelesaikan tugasnya menyuapi Galang.
Setelah selesai makan, Putri berjalan menuju ke kamarnya yang ada di lantai atas. Kecintaannya terhadap warna hitam membuat warna cat di kamarnya menjadi serba gelap. Bukan hanya itu, perabotan dan pernak perniknya pun juga menggunakan warna senada.
Meski keluarganya bukan keluarga kaya raya, namun selama ini orangtuanya selama ini selalu memberikan yang terbaik untuk Putri dan juga Galang. Putri dan Galang selalu disekolahkan di sekolah swasta yang cukup baik, meski bukan sekolah internasional. Ada beberapa pertimbangan yang membuat orangtua mereka tak menyekolahkan mereka di sekolahan internasional meskipun sebenarnya orangtua mereka mampu untuk membiayai jika mereka benar-benar sekolah di sekolah internasional. Namun begitu mereka tetap mengikuti beberapa les.
Sang papa yang bernama Ridwan bekerja sebagai manager di sebuah hotel berbintang, sedangkan sang mama yang bernama Risa adalah seorang wiraswasta dengan membuka toko grosir pakaian dan sepatu di sebuah pasar tradisional di Semarang, yaitu pasar Johar. Tak hanya itu mamanya juga berdagang online lewat beberapa media sosial. Tak hayal jika memang Ridwan dan Risa sangat jarang berada di rumah.
Putri sudah terbiasa hidup mandiri. Dirinya mengerti akan situasi keluarganya. Untuk itulah setelah pulang dari sekolah dirinya selalu berada di rumah untuk menjaga sekaligus menemani adiknya. Apalagi setelah Budhe pulang ke rumahnya. Dirinya tak akan tega pergi bermain bersama teman-temannya dan meninggalkan adiknya begitu saja sendirian di dalam rumah.
Setelah melepas semua pakaian sekolahnya dan mencuci wajahnya, kini Putri baru bisa membaringkan tubuhnya yang cukup lelah di atas ranjangnya. Tidur siang setelah pulang dari sekolah sudah menjadi aktifitas rutin yang ia lakukan di setiap harinya.
***
Putri terbangun saat hari sudah gelap. Ia memutuskan untuk langsung mandi dan keluar dari kamar untuk menemui Galang, karena ia yakin Budhe sudah pulang ke rumahnya.
"Galang!" Sambil berjalan menuju ruang makan, Putri berteriak memanggil nama adik semata wayangnya itu.
"Aku di sini, Mbak." Sahut Galang sekilas meliriik ke arah Putri, lalu setelah itu ia fokuskan lagi pandangannya ke arah televisi. Saat ini dirinya sedang duduk santai di sofa yang ada di ruang tengah.
Putri membuka tudung saji yang ada di atas meja makan. Rasanya tak berselera menatap makanan yang sudah ada di atas meja. Seperti biasanya, pasti Budhe yang telah menyiapkan makanan ini sebelum beliau pulang ke rumahnya.
"Lang, beli bakso yuk." Putri berjalan menghampiri Galang.
Wajah Galang tentu saja langsung sumringah saat mendengar kakaknya mengajaknya makan bakso. "Ayo, Mbak!"
"Bayar sendiri-sendiri tapi!" ucap Putri.
"Pelit banget sih sama adek sendiri." Galang memasang wajah muramnya. Kakaknya ini memang sedikit baik padanya, tapi lebih sering mencuranginya. Beberapa kali dirinya diperalat kakaknya ini untuk meminta uang jajan lebih kepada mamanya agar mereka bisa makan di cafe.
"Uang saku kamu kan banyak. Lagian kamu setiap hari ke sekolah juga bawa bekal makan dari rumah," ucap Putri.
"Uangku mau aku tabung."
"Ck, diambil barang seratus dua ratus ribu juga nggak masalah kali, Lang. Jadi laki-laki jangan pelit-pelit amat, nanti nggak ada cewek yang mau jadi pacar kamu loh!"
Galang menatap Putri dengan alis yang bertaut. "Aku masih kecil. Kata Mama nggak boleh pacar-pacaran," sahut Galang.
"Alaahh ... sudah deh omongan kamu bikin pusing! Kamu jadi mau beli bakso apa enggak?!"
"Mau."
"Ambil dulu uangmu!"
Meski Galang menatap Putri dengan tatapan sebalnya, namun ia tetap berjalan menuju ke kamarnya untuk mengambil uang.
Melihat Galang yang berjalan pergi membuat Putri tersenyum. Di dalam pikirannya sudah tersusun rencana liciknya. Ia akan membeli semua makanan yang ia inginkan dengan uang adiknya itu. Senyum di bibirnya terbentuk tanpa bisa ia tahan.
Tak lama kemudian Galang datang menyerahkan uang seratus ribu kepada Putri.
"Loh kok hanya seratus ribu?! Cukup buat jajan apaan?!" Putri menatap satu lembar uang yang adknya berikan kepadanya.
"Ya dapat bakso-lah. Kan kita mau beli bakso!" Galang menatap sengit ke arah Putri.
"Kurang seratus ribu lagi. Mana!" Putri mengulurkan tangannya untuk meminta uang kepada Galang. Dengan berat hati Galang menyerahkan satu lembar uang seratus ribu lagi kepada kakaknya ini.
"Nah ... gini dong. Ayo kita pergi!" Putri merangkul pundak Galang dan membawanya keluar dari rumah.
"Mobil Mama ada di rumah. Kita naik mobil yuk." Mata Putri berbinar menatap mobil mamanya.
"Nggak mau. Aku masih SD, aku nggak mau mati konyol. Naik motor saja kayak biasanya! Gaya benget jadi orang," sahut galang. Ia tahu jika saat ini kakaknya sedang ingin-inginnya mengemudikan mobil. Tapi tentu saja ia tak ingin jika naik mobil dengan kakaknya yang akan mengemudikan, sebab kakaknya baru saja belajar mengemudikan mobil yang tentu saja sekarang ini kakaknya belum lancar mengemudi.
Putri mendengus mendengar ucapan adiknya. "Ayo cepetan!" Putri menaiki motornya, lalu Galang duduk di boncengan. Mereka berdua menuju ke pangkalan penjual di dekat kompleks perumahan mereka.
"Bungkus apa makan di sini, Mbak?" tanya Galang saat mereka sudah sampai di depan penjual bakso. Di daerah ini banyak penjual yang menjajakan barang dagangan mereka, mulai dari makanan ringan sampai makanan berat. Banyak pilihan makanan yang bisa mereka beli.
"Bungkus aja, makan di rumah. Iihh ada siomay sama telur gulung! Mau beli ah." Mata Putri langsung berbinar melihat banyaknya jajanan yang bisa ia beli dengan uang adiknya.
"Mbak, katanya mau beli bakso?" Tangan Galang mencekal pergelangan tangan Putri sebelum kakaknya ini pergi.
"Ya sudah sana kamu pesan dulu. Kamu masuk dulu sana, aku pesankan sekalian. Aku mau beli siomay sama telur gulung dulu. Nanti kamu kubelikan juga," ucap Putri.
"Kamu mau jajan pakai uangku ya?" tanya Galang penuh selidik.
"Iiihh ... anak kecil cerewet banget deh! Sana masuk pesen dulu baksonya!" seru Putri.
"Nggak mau! Aku nggak berani masuk sendiri! Ayo masuk ...." Galang menarik tangan Putri memasuki tempat penjual bakso.
"Pak, baksonya pakai mie putih dua ya. Sama es teh dua." Ucap Putri saat ia berdiri di samping penjual bakso.
"Siap, Mbak."
Putri mencari tempat yang masih kosong. "Duduk sini dulu. Aku mau cari jajanan yang lain. Nanti kamu kubelikan juga."
***
Semarang, 9 November 2022
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top