2. Rasa yang Ada

Putri membaca papan pengumuman untuk mencari namanya. Tak sengaja ia berdiri bersebelahan dengan seorang pria yang sudah ia kenal sebelumnya.

"Ridho?! Kamu sekolah di sini juga?!" sapa Putri dengan ramahnya.

"Iya, Put. Nggak nyangka ya kita bakal satu sekolahan lagi," sahut Ridho.

"Kamu kelas sepuluh apa?" tanya Putri.

"Sepuluh A."

"Yaahh ternyata kita nggak sekelas. Aku sepuluh C." Sahut Putri dengan wajah lesunya.

"Emangnya kamu ngarep banget pengen satu kelas sama aku?" Ridho mencoba menggoda Putri.

"Ya enggak sih ... tapi kan enak juga kalau kita satu kelas. Kan sebelum dapat teman yang lain aku jadi sudah punya teman satu kelas kalau kita beneran satu kelas," sahut Putri.

Ridho pun hanya tersenyum menanggapi kalimat Putri.

'Teettt tteeeettt teeett ....'

"Bel masuk sudah bunyi. Ayo masuk kelas." Ridho mengajak Putri berjalan bersama. Kebetulan kelas mereka memang berada dalam satu lorong yang sama.

"Aku masuk dulu ya." Pamit Putri saat ia sudah berdiri di depan pintu kelasnya.

Ridho menganggukkan kepalanya seraya tersenyum lebar. Setelah itu ia meneruskan langkah kakinya karena perjalanannya masih beberapa meter lagi. Sungguh tak menyangka jika dirinya bisa sekolah di sekolah yang sama dengan gadis pujaan hatinya. Sejak masih duduk di bangku SMP dirinya memang sudah menaruh hati kepada Putri. Namun Putri yang memiliki paras cantik pun terbilang populer di SMPnya dulu. Sehingga banyak kaum adam yang mendekati Putri. Alhasil dirinya pun merasa minder dan tak ingin melangkah maju mendekati Putri karena dirinya tak ingin menelan pil kekecewaan lantaran cintanya ditolak oleh gadis pujaan hatinya itu.

Setelah berpisah dengan Ridho, di dalam kelas Putri menormalkan debar jantungnya. Sungguh ini pengalam pertamanya bisa berjalan berdua dan sedekat ini dengan Ridho. Sudah sejak lama ia menaruh rasa kepada Ridho, namun sayangnya pria pendiam itu tak peka sama sekali. Atau mungkin pria itu tak sedikitpun memiliki ketertarikan terhadap dirinya. Padahal di SMP dulu dirinya juga cukup populer, namun dengan fisik cantik yang ia miliki dan kepopuleran yang ia sandang tak serta merta bisa membuat seorang Ridho bisa menyukainya.

Putri tersenyum, dalam hatinya berdoa semoga di sekolah ini dirinya bisa lebih dekat dengan Ridho. Setelah selesai menata degub jantungnya, kini saatnya ia mencari tempat duduk yang masih kosong. Saat mengedarkan pandangannya ada seorang murid perempuan yang melambaikan tangan ke arahnya. Ia pun melangkahkan kakinya menghampiri murid perempuan tersebut.

"Hai, namaku Soraya. Duduk di sebelahku saja." Gadis bernama Soraya itu mengulurkan tangan kanannya kepada Putri.

Putri tersenyum seraya menyambut uluran tangan Soraya. "Aku Putri Santika. Panggil saja Putri. Makasih sudah nawarin tempat duduknya." Putri pun mendaratkan pantatnya di kursi yang ada di sebelah Soraya.

"Kamu asal dari SMP mana?" Soraya mulai melakukan obrolan ringan sebatas perkenaan untuk semakin mengakrabkan diri. Putri pun menanggapi Soraya dengan sangat ramah. Dan sepertinya mereka berdua akan menjadi teman baik.

Guru pun memasuki kelas, sehingga membuat beberapa murid yang berisik menjadi terdiam. Acara perkenalan dimulai sebelum akhirnya mereka melakukan kegiatan belajar mengajar untuk yang pertama kalinya.

***

Vicky mencari-cari Putri di kantin sekolah saat jam istirahat. Namun ia tak bisa menemukan gadis pujaan hatinya itu. Hingga akhirnya bel masuk pun berbunyi dan dirinya juag harus kembali ke kelas agar dirinya tak lagi menghadap ke ruangan Pak Widodo. Akan terlihat lucu dan tak terlihat maco rasanya jika dirinya sampai kepergok Putri saat Pak Widodo sedang memberikannya hukuman. Kali ini jalannya harus hati-hati. Dirinya tak boleh membuat masalah lagi di sekolah ini.

Saat bel pulang tiba, Vicky berlari secepat yang ia bisa untuk segera mengambil motornya dan memarkirkannya tepat di samping pintu gerbang sekolah. Rencananya ia akan mengantarkan pulang Putri, sebagai jurus pendekatannya yang pertama.

Rasanya sudah tak sabar menunggu gadis pujaan hatinya muncul di depan matanya.

"Apa kita berdiri di pinggir sini sih, Vic?" tanya salah seorang pengikut setia Vicky.

"Sudah berapa lama kamu jadi anggota genk jaran?!" Bukannya menjawab Vicky malah memberikan pertanyaan kepada salah seorang teman sekaligus pengikut setianya itu.

"Rez, Bos kita ini lagi jatuh cinta sama cewek yang tadi pagi. Makanya ini kita berdiri di sini buat tunggu calon Bu Bos kita," sahut pengikut Vicky yang lain.

"Nah ... itu si Rahman saja tahu tujuan kita berdiri di sini," sahut Vicky ketus.

"Oohh ...." Reza menganggukan kepalanya menandakan jika saat ini dirinya sudah mengerti.

"Lama-lama kamu jadi blo'on kayak Pak Widodo deh!" dengus Vicky.

"Siapa yang kalian sebut blo'on?!" suara perempuan terdengar merdu di telinga mereka berlima. Ya ... pengikut setia Vicky berjumlah empat orang. Sontak kelima orang tersebut menoleh ke asal suara.

"Ehh ... Bu Flo?" Vicky dan teman-temannya sontak salah tingkah.

"Nggak kok, Bu. Tadi itu kita cuma ngasih tahu Reza biar nggak blo'on lagi," sahut Vicky.

"Iya nggak teman-teman?!" Vicky meminta dukungan dari pengikut setianya.

"Iya, Bu Flo." Begitulah kompaknya genk jaran. Satu salah, yang lain langsung menutupi.

"Saya dengar dengan jelas ya kalau kalian ngatin Pak Widodo blo'on!" ucap Bu Flo. Wajahnya tak memperlihatkan sedikitpun keramahan kepada kelima muridnya yang terkenal badung ini.

"Maaf, Bu. Kami nggak sengaja dan nggak bermaksud ngatain Pak Widodo, calon suami Bu Flo." Vicky menunduk sedikit melirik ke arah guru Bahasa Inggrisnya itu. Ia sudah hafal kalau guru cantiknya ini akan tersipu malu saat ada orang yang menggodanya dengan kalimat seperti itu.

Benar saja, Bu Flo menggigit bibir bawahnya agar senyuman di bibirnya tak semakin mengembang. Dirinya tak ingin semakin diolok oleh para murid badungnya ini. "Sudah sana kalian pulang! Jangan tawuran lagi atau kalian akan dapat masalah besar!" Bu Flo berjalan meninggalkan gerombolan Vicky. Ia tak ingin lagi terlibat obrolan yang bisa saja malah memojokkan dirinya.

"Bisa aja kamu, Vic." Rahman memegang pundak Vicky seraya tersenyum.

"Eeh eehh ... itu dia cewek yang tadi pagi!" Reza berteriak memberitahu Vicky.

Sontak Vicky langsung mengedarkan pandangannya. Benar saja, ia melihat Putri sedang berjalan dengan seorang teman perempuannya menuju tempat parkir.

"Kok dia jalan ke tempat parkir? Bukannya tadi pagi dia nggak bawa motor ya?" tanya Riko.

"Cepetan susul, Vic. Sebelum cewek itu bareng sama temennya," ucap Rahman.

Tanpa banyak bicara lagi Vicky berlari menghampiri Putri. "Putri."

"Iya, Mas? Ada apa ya?" tanya Putri. Ia merasa tak memiliki kepentingan dengan pria di hadapannya ini sehingga ia bertanya-tanya untuk apa pria ini menghampirinya.

"Kamu nggak bawa motor kan?! Aku antar kamu pulang yuk," ucap Vicky.

"Maaf, Mas. Bukannya nggak mau, tapi aku sudah terlanjur mau bareng sama Soraya. Eh maksudnya aku bareng sama teman aku. Lagi pula aku searah sama dia." Putri meralat ucapannya saat ia menyadari bahwa Vicky pasti tak tahu siapa Soraya yang ia maksud.

Dari jarak tiga meter, Soraya nampak memperhatikan Vicky dan Putri saling bicara. Ia mengambil kesimpulan jika Vicky sedang melakukan pendekatan kepada Putri.

"Yaa nggak pa-pa Soraya biar pulang sendiri," ucap Vicky.

"Ya nggak enak lah, Mas. Ya sudah ya kita mau pulang dulu." Putri menghampiri Soraya lalu duduk di jok belakang. Ia duduk menyamping karena saat ini dirinya sdang memakai rok sepan.

"Ayo jalan, Soraya."

Soraya pun melajukan motornya meninggalkan parkiran sekolah. Kini tinggalah Vicky dengan kekecewaan yang menyelimutinya.

"Sabar, Bro. Aku yakin suatu saat nanti dia bakalan luluh sama kamu." Rahman merangkul Vicky untuk menyalurkan dukungannya kepada teman baiknya itu.

"Selama ini cewek mana yang bisa nolak kamu? Nggak ada kan?!" sambung Doni.

***

Baca juga cerita saya yang berjudul AYAH UNTUK ANAKKU.

Semarang, 26 Oktober 2022

Salam

Silvia Dhaka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top