TUGAS 2: KEHIDUPAN
DESIRE
Aku Tayaka Rinami, seorang gadis yang hanya bisa memandangi pria yang disukai dari jauh tanpa bisa mendekatinya.
Dia adalah Akashi Seijuro, lelaki bersurai merah dengan iris mata merah yang membuat dirinya sangat tampan. Apalagi dia sebagai ketua dari tim basket sekolah Teiko yang luar biasa hebat sehingga dijuluki 'Generasi Keajaiban' dan ia juga adalah putra dari pengusaha terkenal di Jepang.
Sekarang aku berada di lantai dua tempat untuk menonton pertandingan, namun yang kulihat bukanlah pertandingan, melainkan latihan Akashi. Aku sering memandangi dia dan teman-temannya yang tengah berlatih di lapangan semenjak sebulan yang lalu.
Dia sangat mempesona karena keringat yang disebabkan oleh latihan kerasnya dan cara dia memandu latihannya dengan begitu hebat, sehingga membuatku tidak berhentinya terkagum meski aku selalu mencoba tetap tenang di bangku penonton.
Andaikan saja aku bisa dekat atau mengobrol dengannya meski hanya sebentar saja, tapi sepertinya itu tidak mungkin.
Tidak terasa hari sudah gelap dan latihan mereka telah selesai. Aku menyampirkan tasku ke pundak lalu pergi menjauh dari lapangan untuk pulang, sebelum ada yang melihat.
***
Seorang lelaki bersurai merah mendongak menatap gadis bersurai hitam sebahu yang beranjak dari bangku penonton dan melewati pintu meninggalkan lapangan.
Ia sering melihat gadis itu berdiam diri dan hanya menonton mereka sedang latihan, kemudian pergi setelah latihan selesai.
"Akashicchi sedang apa?" Pria bernama Akashi menoleh dan menatap pria tampan bersurai pirang dengan anting di telinga kirinya.
"Bukan urusanmu, Kise!" jawab Akashi datar kemudian pergi meninggalkan Kise yang tengah meruntuk karna diabaikan.
***
Bel pulang sekolah telah berbunyi, Rinami berjalan dengan terburu-buru menyusuri setiap lorong menuju ruang guru dengan memeluk buku di tangannya. Ia tahu kalau dirinya telah terlambat untuk mengumpulkan tugas yang diberikan.
Ketika ia akan berbelok, ia bertabrakan dengan dada seseorang pria hingga membuat dirinya jatuh dan buku yang ada di tangannya berhamburan.
"Apa kamu tidak apa apa?"
Rinami terdiam ketika mendengar suara seorang pria yang terasa tidak asing di telinganya, namun ia tidak mempedulikannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, kemudian berjongkok segera membereskan bukunya yang berserakan.
Setelah selesai, ia berdiri dan melihat pria yang ditabraknya membuat ia bertegun. Akashi, lelaki yang disukainya sekarang berada di hadapannya bersama dengan anggota 'Generasi Keajaiban' yang lain.
Jantungnya berdetak kencang. Ia sedikit tertunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah dan mengepalkan tangannya menahan gemetar akibat rasa gugup dan bahagia secara bersamaan.
Rinami sedikit membungkukkan badanya dan berucap pelan, "Saya minta maaf karena tidak hati-hati."
"Permisi." Kemudian ia berjalan sedikit cepat melewati mereka dengan menunduk, dan mengingat kembali bahwa ia belum mengumpulkan tugasnya.
***
Akashi menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh kemudian menghilang ketika dia berbelok.
"Itu gadis yang kemarin, bukan?" ujar lelaki jangkung bersurai ungu bernada lesu sambil mengunyah keripik kentang ditangannya.
"Jadi kau memperhatikannya juga, Murasakibaracchi?" Kise dengan menatap terkejut lelaki jangkung itu, "Jarang sekali Murasakibaracchi mengingat wajah orang lainssu"
"Sudah sebulan perempuan manis itu melihat kita latihan," ucap Murasakibara dengan nada ciri khasnya.
"Dia juga cantik. Tapi, Bukan berarti aku memuji dia," ujar pria bersurai hijau memalingkan wajah sambil membenarkan kacamata dengan jarinya.
"Dia juga sexy," sambung pria berkulit sawo matang dan bersurai biru tua dengan suara beratnya.
"Dan dia selalu memperhatikan akashi-kun."
Lelaki bertubuh lebih kecil bersurai biru muda tiba-tiba berada di antara mereka, hingga membuat mereka secara bersamaan kaget dan menatap lelaki itu dengan heran.
"Sejak kapan kau disini, Kurokocchi?"
"Sejak tadi." Pria bernama Kuroko itu menatap Akashi dengan iris biru dan tersenyum tipis yang bahkan orang yang melihat tidak akan menyadarinya.
Akashi memutar kedua bola metanya malas dan berniat meninggalkan teman-temannya yang masih saja beradu mulut dan memaki kuroko yang selalu mengagetkan mereka.
Baru saja ia akan melangkah, tanpa sengaja ia melihat buku berukuran kecil berwarna abu-abu dengan sampul bertuliskan 'My Notes' di lantai, dan kemungkinan buku itu milik gadis yang menabraknya tadi.
Karena penasaran, ia membungkuk mengambil buku tersebut dan membukanya. ketika melihat halaman pertama, ia hanya sedikit mengangguk melihat nama pemilik buku tersebut.
"Ternyata namanya Rinami Tayaka?" batinnya.
Akashi membalikan halaman selanjutnya, kemudian membaca isi buku tersebut yang ternyata adalah curahan hati dari gadis itu. Isi buku tersebut membuat ia sedikit tersenyum. "Mungkin nanti akan ia kembalikan," pikirnya.
"Akashi-Kun? Kau tersenyum?" Akashi tersentak mendengar ucapan Kuroko dan segera memasukan buku itu ke sakunya.
"Tidak." Ia menggelengkan kepala ketika melihat mereka menatapnya, "Ayo kita pulang!" Akashi memalingkan wajahnya dan berjalan mendahului mereka.
***
Satu minggu telah berlalu setelah peristiwa tabrakan terjadi, Akashi tengah duduk diatap sekolah sedang berpikir, sambil terus memandangi buku kecil abu-abu itu dan membolak-balikannya.
Ia heran, kenapa gadis bernama Rimami itu tidak datang lagi ke tempat latihan mereka untuk menonton? Ada apa dengannya? Atau mungkin ia harus mengunjungi kelas dia untuk mengembalikan bukunya?
Padahal niat awalnya, ia akan mengembalikan buku Rinami ketika gadis itu melihat mereka latihan lagi dan mungkin sedikit bisa berkenalan dengannya.
Akashi bangkit dari duduknya dan meninggalkan atap sekolah. Mungkin ia memang harus ke kelas gadis itu.
Ia menuruni tangga, kemudian menyusuri lorong lantai dua menuju kelas 1-3. Ia tahu kelas Rinami dari bukunya sehingga dengan mudah menemukannya.
Akashi berdiri di depan pintu kelas dengan matanya menatap ke seluruh penjuru kelas. Ia mengernyitkan dahinya ketika tidak melihat Rinami di manapun.
Ia memasuki kelas tersebut kemudian menghampiri para gadis yang sedang berkumpul sambil memandang ke arahnya.
"Permisi." Akashi sedikit tersenyum, "Apakah kalian melihat Tayaka-san?" tanya Akashi. Namun mereka hanya terdiam menatapnya tanpa menjawab pertanyaannya.
"Ada apa?"
Mendengar suara dari belakangnya, ia membalikan badannya dan melihat gadis bersurai coklat yang diikat seperti ekor kuda berdiri di hadapannya, dengan papan nama yang berada di dada kirinya bertuliskan Kyrie Mei.
"Apa kau melihat Tayaka-san?"
"Sudah seminggu ini Rin-chan tidak masuk." Tangan kanan Mei itu berkacak pinggang dan menjawab dengan nada malas.
"Ke mana dia?"
"Dari kabarnya, ia sedang sakit." Kemudian gadis itu menatap Akashi dan bertanya heran, "Ada perlu apa kau dengannya?"
"Hanya ada sedikit urusan." Akashi kembali memasukan buku itu ke sakunya, "Apa kau tahu alamat rumahnya?"
"Bukankah kau putra dari pengusaha terkenal? Kenapa tidak kau cari tahu sendiri?"
Benar apa yang diucapkan Kyrie. Kenapa ide itu tidak terlintas dibenaknya sama sekali?
"Terima kasih, Kyrie-san." Kemudian Akashi segera meninggalkan kelas Rinami.
Sedangkan, Kyrie tersenyum kecil melihat kepergian Akashi, kemudian kembali menuju mejanya sambil mendengarkan musik dari ponselnya menggunakan headset.
***
Rinami mengerjapkan matanya, seketika ia mencium bau obat-obatan dan melihat langit-langit berwarna putih.
Ia tidak tahu sudah berapa lama tertidur dan siapa yang membawanya ke rumah sakit. Terakhir yang ia ingat ketika dadanya terasa sangat sakit dan seketika pandangannya gelap.
Rinami melihat ke samping kanan kirinya, namun ia tidak melihat siapapun. Kemana mereka? Orang tuanya? Teman-temannya?
Ah ya, Orang tuanya pasti sedang sibuk memikirkan pekerjaan mereka tanpa memperdulikan ia sebagai anaknya, bahkan tidak pernah ingin tahu keluhan atau rasa sakitnya.
Sedangkan dirinya bukanlah orang yang bisa berteman dengan siapa saja. Ia hanya memiliki satu teman di kelasnya, meskipun begitu ia sudah merasa senang.
Ketika Rinami termenung, ia mendengar suara pintu terbuka. Mungkin itu adalah temannya.
"Rin-chan, kau sudah bangun?" Ia menoleh dan melihat Kyrie Mei tersenyum sambil berjalan kearahnya membawa keranjang buah di tangan kanannya.
"Mei-chan? Kenapa kau di sini?" Rinami mengernyitkan dahinya heran.
"Tentu saja aku mengkhawatirkan mu, bodoh!" Kyrie menyimpan keranjang buah itu di meja nakas, dan duduk di kursi yang berada di samping Rinami sambil melepaskan headsetnya.
Perasaannya menghangat mengetahui masih ada yang peduli dan mengkhawatirkannya. Rinami tersenyum kecil dan bergumam pelan, "Terima kasih banyak."
Meski Kyrie memiliki sikap sedikit kasar, namun ia sudah menganggap dia sebagai saudaranya. Ia juga yakin, yang membawanya ke rumah sakit adalah Kyrie.
"Kau tahu, Rin-chan?" Kyrie mengambil buah apel lalu menggosoknya dengan tangan. Sedangkan, Rinami hanya menoleh menatap Kyrie.
"Kemarin Akashi ke kelas kita dan bertanya tentangmu." Kyrie bersandar di bangku sambil menggigit buah apel.
"Ada apa?" Rinami mengernyitkan dahinya. Untuk apa Akashi mencarinya? Dan bagaimana dia tahu tentangnya?
"Ntahlah," ucap Kyrie sambil mengangkat bahu. "katanya ada sedikit urusan. Dia juga menanyakan alamat rumahmu."
"Kau memberitahunya?" tanya Rinami dengan nada cemas.
"Tidak." Kyrie menggelengkan kepalanya dan menggigit apelnya lagi, "Kau lupa dia siapa? Dia adalah putra dari pengusaha terkenal. Dia bisa saja mencari tentang dirimu dengan mudah, dan mungkin sebentar lagi dia akan datang."
Rinami hanya termenung mendengar ucapan Kyrie. Dia benar, tapi Akashi, lelaki yang disukainya akan membesuknya? Ia rasa itu tidak mungkin. Ia hanya menggelengkan kepala pelan.
Suara ketukan terdengar, membuat Kyrie dan Rinami menoleh ke arah pintu. "Permisi." Mereka saling menatap dengan wajah terkejut, itu suara Akashi!
"Benar, bukan?" Kyrie tersenyum miring lalu bangkit dari duduknya menuju ke arah pintu, kemudian membukanya.
Rinami melihat Akashi memasuki ruangan dan terlihat begitu tampan dengan pakaian casualnya sambil membawa sebucket bunga lily putih ditangannya.
"Selamat pagi, Tayaka-san." Akashi tersenyum lembut dan ia berjalan mendekat ke arah Rinami berbaring. Sedangkan, Rinami hanya menatap Akashi dan heran kenapa dia bisa mengetahui namanya.
"Dari mana kau tahu Rin-chan di sini?" tanya Kyrie.
"Mengikuti saranmu," jawab Akashi, lalu ia menyimpan bunga itu di samping keranjang buah.
"Baiklah, aku akan pulang dulu. Biar Akashi yang menjagamu." Kyrie mengedipkan matanya ke arah Rinami.
"Dan kau!" Kyrie menatap Akashi tajam, "Jaga Rin-chan baik-baik!"
"Sampai jumpa, Rin-chan." Kyrie melambaikan tangannya dan pergi dari ruangan.
"Eh? Mei-chan!" Rinami memanggil Kyrie dengan nada sedikit tinggi, namun dia sudah pergi.
"Bagaimana keadaanmu, Tayaka-san?" Akashi duduk di bangku samping ranjang Rinami.
"A-aku baik," ucap Rinami terbata-bata. Ia meremas selimut dan tersenyum kaku, "Panggil aku Rinami saja."
Ia merasa canggung, apalagi dirinya yang gugup karena tidak menyangka Akashi benar-benar datang untuk membesuknya.
Rinami melihat Akashi mengeluarkan buku kecil berwarna abu-abu dari sakunya dan sepertinya ia tidak asing dengan buku itu, seperti buku notenya.
"Aku hanya ingin mengembalikan ini." Akashi menyerahkan buku kecil itu. Buku itu benar-benar miliknya, bahkan ia lupa dengan bukunya.
Pantas saja Akashi mengetahui nama dan kelasnya. Mungkin dia telah membaca isi dari buku itu . Ia juga yakin, dia pasti sudah tahu bagaimana perasaannya ataupun penyakitnya.
"Terima kasih, Akashi-kun." Ia mengambil buku itu dengan tangan kanannya. Perasaannya sungguh luar biasa malu, dan membuat dirinya ingin menjauh dari Akashi.
"Sama-sama, Rinami." Akashi mengusap rambut Rinami dengan lembut membuat dirinya membeku.
"Aku menunggu melihat dirimu duduk dan menonton kami lagi. Namun, setelah kau sembuh, kau bisa menonton kami latihan dari dekat bersama Satsuki, sehingga kau tidak akan duduk sendirian secara diam-diam."
Ia melihat Akashi setengah berdiri kemudian membungkukkan setengah tubuhnya dan berbisik, " Cepatlah sembuh." Akashi mengecup bibirnya lembut membuat pupilnya melebar karena terkejut.
Rinami segera memalingkan wajah nya yang merah padam karena malu. Ia tidak menyangka pria yang disukainya yang mengambil ciuman pertamanya.
***
Rinami berjalan memasuki gerbang sekolah sambil menunduk menyembunyikan senyumannya setelah apa yang terjadi.
Dirinya bisa lebih dekat dengan Akashi. Ketika ia masih berada di rumah sakit, Akashi selalu membesuknya dan terkadang bersama anggota tim Teiko lainnya. Bahkan Akashi juga yang membantunya dan mengantarkannya pulang.
Ketika ia kembali bersekolah, Akashi selalu mengajaknya beristirahat bersama. Pada saat ia menonton latihan mereka lagi, ia bisa melihat dia dengan lebih dekat seperti yang diucapkan Akashi ketika pertama dia membesuknya.
"Selamat pagi, Rinami." Rinami mendongakan wajahnya lalu melihat pria berambut hijau dengan tapping dijarinya, dan dia adalah shooter terbaik dari Teiko
"Selamat pagi, Midorima-kun." Rinami tersenyum kembali menyapa pria itu.
"Ini untukmu-nodayo," ucap Midorima dengan suara khasnya sambil memberi Rinami setangkai bunga tulip berwarna hijau.
Yang ia tahu, bunga tulip memiliki arti sebuah persahabatan. Ia menerima bunganya dan berkata pelan, "Terima kasih, Midorima-kun."
"Itu bukan dari ku!" Ia melihat Midorima memalingkan wajahnya dan berlalu pergi meninggalkannya.
Rinami mengernyitkan dahinya, kalau bunga itu bukan dari Midorima, lalu dari siapa? Rinami hanya menggelengkan kepalanya mencoba tidak peduli dan kembali berjalan.
"Rinami-san!"
Rinami menoleh dan mundur selangkah karena terkejut dengan pria bersurai biru muda yang memiliki hawa keberadaan tipis membuat dirinya tidak menyadari pria tersebut.
"Kuroko-kun, kau mengejutkanku!" Rinami memegang dadanya, beruntung penyakitnya tidak kambuh.
"Ini untukmu, Rinami-san," ujar Kuroko dengan wajah datarnya sembari memberikan setangkai bunga tulip berwarna biru muda.
"Terima ka- eh? Kuroko-kun?" Rinami bingung karena tadi Kuroko berada di hadapannya, namun sekarang ia tidak melihatnya di manapun yang membuat dia terasa seperti hantu.
Rinami memasuki gedung sekolah dan melewati beberapa kelas menuju tangga, namun ia melihat pria jangkung bersurai ungu berjalan lesu sambil membawa beberapa cemilan di tangannya.
"Hallo, Murasakibara-kun." Rinami berhenti di depan Murasakibara dan mendongak karena tubuhnya yang jauh lebih rendah dari pria itu.
"Hallo," balas Murasakibara dengan suara malasnya. Namun ia melihat dia seperti mengingat sesuatu.
"Ini untukmu, Rin-chin." Murasakibara memberinya bunga yang sama berwarna ungu dan sekotak pocky coklat, kemudian pergi menjauhinya.
"Terima kasih." Rinami menatap kepergian Murasakibara yang hanya melambaikan tangannya tanpa melihat kearah Rinami.
Ia menaiki tangga untuk menaiki lantai dua di mana kelasnya berada. Ketika ia sampai di ujung tangga, ia melihat pria bersurai biru tua dan berkulit sawo matang.
"Hallo, Rinami."
"Hallo, Aomine-kun." Rinami berkedip bingung melihat Aomine yang tidak pergi ke kelasnya.
"Kenapa kau di sini, Aomine-kun? Kau tidak ke kelasmu?" tanya Rinami sambil memiringkan sedikit kepalanya.
"Aku hanya diperintahkan untuk memberimu ini." Aomine memberinya setangkai bunga tulip berwarna biru tua.
"Diperintahkan? Diperintahkan siapa?"
"I-itu...." Aomine melihat ke segala arah mencoba mengalihkan pembicaraannya. "Aku ke kelas dulu, Rinami," sambungnya dan segera berlalu menuruni tangga dengan menduduki pegangan tangga kemudian meluncur turun.
Rinami menghela nafas dan kembali berjalan menuju kelasnya dengan tangannya yang sudah membawa empat tangkai bunga.
"Rin-cchi." Ia membalikan tubuhnya ketika mendengar panggilan. Dan ia melihat pria bersurai pirang yang berlari lalu berhenti tepat di hadapannya.
"Ada apa, Kise-kun?"
"ini untukmu-ssu." Kise memberikannya juga bunga tulip dengan warna kuning sehingga di tangannya sudah menjadi lima tangkai.
"Kise-kun, Apa Akashi-kun yang memberi perintah?" Rinami menunduk sambil menatap bunga yang berwarna-warni di tangannya.
"Nanti kau juga akan mengetahuinya-ssu." Ia menatap Kise.
"Bel sudah berbunyi, Rin-cchi." Kise tersenyum lebar dan berlalu, "Sampai jumpa." Dia melambaikan tangannya dan mengedipkan sebelah matanya lalu berbalik setengah berlari menjauhinya.
Rinami melirik jam tangannya yang berwarna hitam menunjukan pukul 07.28. Pupilnya melebar, sebentar lagi pelajaran akan dimulai. Ia setengah berlari menuju kelasnya.
***
Ia segera memasuki kelas, beruntung gurunya belum datang, dan ia melihat Kyrie yang duduk di depan mejanya sedang memainkan ponsel sambil mendengarkan musik dengan headsetnya.
Ia berjalan pelan menuju tempat duduknya. Namun, ketika ia akan duduk, ia melihat bunga tulip berwarna merah dengan secarik kertas di mejanya.
"Mei-chan." Rinami menepuk pundak Kyrie dan hanya dibalas dengan gumaman.
"Kau tahu siapa yang menyimpan bunga ini?" tanyanya. Ia mencondongkan sedikit wajahnya ke depan agar mendengar jawaban Kyrie.
"Tidak," jawab Kyrie singkat.
"Mei-chan," rengek Rinami. Ia sedikit menarik-narik baju Kyrie.
"Aku tidak tahu!" Kyrie membalikan tubuhnya melihat Rinami, "Bukankah ada kertas? Kenapa tidak kau baca saja? Mungkin akan tertera nama pengirimnya."
Rinami menyimpan kelima tangkai bunga yang ia dapatkan tadi di mejanya, dan mengambil bunga tulip merah bersama kertasnya.
Ia membuka kertas tersebut dan melihat tulisan tangan yang sangat rapi, kemudian membacanya.
'Datanglah ke cafe Chocobeans besok malam pukul 21.00 dan berhiaslah dengan cantik.
-Akashi Seijuro'
Rinami tersenyum malu membaca kertas itu dan ternyata benar seperti dugaannya, Akashi yang sudah memperintahkan mereka untuk memberinya bunga tulip.
Tidak lama ia melihat guru yang memasuki kelas, dengan segera ia memasukan keenam tangkai bunga tulip tersebut dan kertasnya ke dalam meja.
***
Malam ini, ia akan bertemu dengan Akashi di tempat yang sudah dijanjikan.
Ia merenung, kenapa Akashi ingin bertemu dengannya di cafe? Tidak seperti biasanya.Ia melirik jam yang berada di nakas dekat tempat tidurnya sudah menunjukan pukul 20.00.
Rinami memiki waktu satu jam lagi, ia menghela nafas terduduk di ranjang dengan handuk yang melilit di tubuhnya dan baju yang sudah ia siapkan di sampingnya.
Tidak tahu kenapa, hatinya menjadi gelisah dan ia mengingat tentang penyakitnya yang menjadi sering kambuh. Dirinya menjadi sedikit malas untuk pergi, padahal kemarin ia merasa antusias dan tidak sabar untuk bertemu dengan Akashi.
Ia berdiri kemudian memakai pakaiannya. Sebuah gaun selutut tanpa lengan berwarna peach dengan sabuk coklat muda sebagai pelengkap di bagian pinggangnya.
Ia bercermin, mengurai rambut sebahunya lalu menggunakan jepit rambut di poninya dan menambahkan makeup natural di wajahnya sehingga menambah kesan manis di dirinya.
lalu ia melingkarkan jam tangannya yang menunjukan pukul 20.30. Ia meraih slingbag berwarna putih kemudian memasukan ponsel dan dompetnya. Sebelum berangkat, ia meminum sebuah pil dan tidak lupa memasukannya pil tersebut kedalam tasnya.
Ia meraih flatshoes berwarna senada dengan tasnya dan turun dari kamarnya yang berada di lantai dua menuju pintunya.
"Aku berangkat," ucap Rinami. Meski ia tahu tidak akan ada yang menjawab ucapannya.
***
Ketika sampai, Rinami melihat cafe tersebut gelap dan sepi. Ia menjadi ragu untuk memasuki cafe tersebut, dan ia melihat jam di tangannya menujukan pukul 20:55.
Rintik-rintik hujan membasahi jalanan dengan pelan, namun semakin lama semakin banyak, membuat ia terpaksa memasuki cafe tersebut untuk berteduh. Ternyata cafe itu tidak gelap, namun benar-benar sepi.
"Selamat malam," sapa seorang wanita berbaju pelayan menghampirinya.
"Selamat malam," balas Rinami.
"Apa anda, Tayaka-san?" Pelayan tersebut bertanya dengan sopan.
"I-iya." Rinami mengangguk pelan menjawab.
"Mari saya antar ke meja anda nona," ujar pelayan itu tersenyum kemudian menuntunnya, dan Rinami mengikuti pelayan tersebut.
"Ini meja anda nona." Wanita pelayan tersebut menunjukan meja kepadanya.
"Terima Kasih," ucap Rinami kemudian duduk.
"Sama-sama. Saya permisi nona," ujar wanita itu sopan. Rin mengangguk lalu pelayan tersebut pergi.
Ia duduk di meja yang berada di dekat jendela. Tempat yang strategis menatap pemandangan dengan butiran air yang menempel akibat uap dari hujan.
Tiba-tiba lampu padam, Rinami menoleh dengan gelisah. Ia memejamkan mata dan menutupi wajah dengan tangannya, takut.
"Hallo... untuk seorang gadis yang mencintai saya, selamat ulang tahun."
Rinami melepaskan tangan dari wajahnya dan merasa tidak asing dengan suaranya, seperti suara Akashi.
"Dan siapa yang ulangtahun? Tanggal berapa sekarang?" tanyanya dalam hati.
Ia mengambil ponsel dari tasnya dan melihat tanggal yang tertera.
Ah ya, hari ini adalah hari yang paling dibenci dan hari yang paling tidak ingin diingat olehnya.
Hari ulang tahunnya! Hari yang paling buruk bagi dirinya, karena tidak ada orang yang mengucapkan apapun kepada dirinya. Bahkan orang tuanya yang terlalu sibuk.
Ia sering merasa iri kepada anak sebayanya yang selalu dijadikan ratu ketika dihari ulangtahunnya. Hari di mana mereka mengadakan pesta bersama orang tua mereka.
Tanpa sadar setetes air mata jatuh melewati pipinya. Ia selalu merasa sedih apabila mengingat itu. Air mata terus mengaliri pipinya dengan deras.
"Dan saya juga mencintainya, Rinami Tayaka."
Rinami bertegun mendengar suara tersebut. Tubuhnya membeku ketika mengetahui lelaki yang disukainya, ternyata menyukainya juga.
Tiba-tiba secercah lampu menyinari pria bersurai merah yang berdiri beberapa meter darinya mengenakan tuxedo hitam sambil membawa biola di tangannya.
Rinami hanya menatap pria tersebut dan melihat dia meletakkan biola di pundak kanannya kemudian memejamkan matanya.
Suara alunan biola mulai terdengar. Rinami ikut memejamkan matanya merasakan terhanyut oleh nada-nada yang dimainkan Akashi.
Alunan itu begitu lembut, namun menyayat. Dirinya merasa seperti di hamparan sabana yang luas dengan angin yang berhembus menerpa wajahnya lembut.
Menceritakan seorang gadis yang bertemu dengan pasangannya mencoba berbahagia, namun berpisah karena sang perempuan meninggalkan pria yang dicintainya selamanya.
Rinami merasakan air matanya kembali menetes. Ia tidak mengetahui nada apa yang dimainkan oleh Akashi. Namun, perasaannya terbawa oleh alunan yang semakin lama semakin cepat.
Ketika Akashi menutup permainannya dengan nada tinggi yang menyayat hati dan mengakhirinya dengan kelembutan tak terkira.
Rinami membuka matanya dan menghembuskan nafasnya yang sedari tadi ia tahan dengan perasaannya yang membucah masih terbawa dengan alunan biola Akashi.
Ia tidak pernah tahu kalau Akashi bisa memainkan biola dengan begitu indah dan menyentuh hati yang mendengarnya.
Ia melihat Akashi membuka matanya karena menghayati permainannya. Akashi menatap ke arahnya, dan kemudian ia memberikan biola tersebut ke salah satu pelayan.
Rinami hanya terdiam mencoba mengatur nafasnya ketika melihat Akashi berjalan ke arahnya sambil menatapnya lembut. Tatapan yang disukainya setelah kedekatannya selama sebulan.
Ketika Akashi berada di hadapannya, dia menarik tangan Rinami pelan agar ia bangkit dari duduknya dan ia melihat Akashi mengambil sesuatu dari saku bajunya.
Pupil matanya melebar ketika melihat Akashi tiba-tiba berlutut dengan memperlihatkan sebuah box berwarna merah berbentuk hati.
"Rinami, Selamat ulang tahun. Aku mencintaimu setelah kedekatan kita selama ini, bahkan aku selalu memperhatikanmu ketika kau menatapku latihan dari jauh. Jadi," ucap Akashi lalu membuka box tersebut dan terlihat cincin dengan permata merah yang indah.
"Apakah kamu mau menjadi pacarku?" Rinami hanya menutup mulutnya dengan air mata kembali mengalir. Tapi, bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan.
"Ya, aku mau, Akashi-kun," ujar Rinami sambil mengaggukan kepalanya. Lalu Akashi bangkit, memakaikan cincin di jari tengahnya dan langsung memeluknya diiringi suara tepuk tangan.
Lampu cafe menyala, dan ia melihat anggota tim Teiko yang duduk mengamati mereka. Bahkan temannya, Kyrie berada di salah satu meja.
Akashi meregangkan pelukan mereka, kemudian menyeka air mata Rinami. "Jangan menangis lagi."
Akashi kembali memeluk Rinami dan berbisik, "Aku bersyukur bisa menemukan buku kecilmu. Aku bisa mengetahui kau menyukaiku, dan membuatku tahu apa yang kau inginkan. Bahkan, aku mengetahui apa kelemahanmu sehingga aku akan selalu menjagamu dengan mencari cara agar kau cepat sembuh.
"Aku harap kisah kita tidak seperti arti dari nada yang kumainkan. Aku akan membuatmu bahagia, dan aku akan berusaha untuk mengabulkan segala impianmu, Rinami." Akashi memeluk Rinami dengan erat dan menenggelamkan wajahnya di ceruk lehernya.
Rinami menangis di dada bidang Akashi karena terharu mendengar ucapannya. Ia mengeratkan pelukannya dan meremas pakaian Akashi. "Terima Kasih," bisiknya sangat pelan.
"Aku mencintaimu, Rinami." Akashi mengecup bibirnya lembut.
"Aku juga mencintaimu, Seijuro." Rinami mencoba tersenyum dengan perasaan bahagia.
Ia tidak pernah menyangka, seluruh keinginannya akan terkabul pada ulang tahunnya dan menjadi hadiah terindah yang tidak pernah ia lupakan. Ia berharap kebahagiaan ini akan terus berlangsung pada dirinya.
-***-
Ini FF ku yang di tahun 2017 lalu di rombak, terima kasih sudah mau review punyaku ^-^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top