Memoar

Thanks!

"Kalian yang bener, dong, latihannya! Niat nggak, sih, ikut lomba ini! Awas aja sampe malu-maluin. Jangan main kalo cuma buat ngebadut! Denger nggak!"

Kata-kata itu, makian itu, cacian itu masih terngiang dengan jelas di telingaku. Mereka menjelema menjadi alunan lagu dan lirik-lirik pilu. Perkataan itu masih saja enggan beranjak dari pikiranku, rasanya begitu menjengkelkan jika mengingat ekspresi wajahku kala itu. Aku dan temanku menunduk takut, tak berani untuk menegakkan kepala bahkan untuk menelan ludah pun rasanya susah. Ingin rasanya menangis dan berhenti, tidak mau lagi! Aku ingin lari dan tidak mau latihan ataupun mengikuti lomba itu! Ini benar-benar menakutkan!

Wajah-wajah itu begitu mengerikkan, tatapan matanya seakan mengintimidasi dan memaksa kami untuk tidak melakukan kesalahan. Tekanan demi tekanan mereka berikan, bahkan saat kami akan lomba dan menghadapi kompetisi yang lebih besar. Aku tahu maksud mereka baik, ingin melatihku dan temanku agar mampu menampilkan pertunjukkan yang maksimal di lomba nanti. Namun, apa memang harus dengan cara seperti ini? Menekan kami, tak ada satu kata motivasi atau apresiasi atas latihan yang kami lakukan, yang ada hanyalan cacian dan kata-kata penuh beban.

"Awas aja kalau sampai kalian nggak juara dan malah menurunkan kejuaraan tahun kemarin! Nggak malu emang? Mana power-nya! Mana ekspresinya?! Penjiwaannya nggak ada sama sekali! Kalian mau ngebadut? Ini tuh lawannya bukan main-main, woi!"

"Awas aja pokoknya! Kita udah ngorbanin banyak waktu, ya! Kita udah bela-belain nemenin kalian latihan! Jangan sampe waktu kita sia-sia!"

Oke! Cukup! Mereka tidak berhak berkata begitu! Aku sudah muak. Kalian pikir enak diperlakukan seperti itu? Coba bayangkan, seharusnya kami diberi semangat, diberi support, dibimbing dan diarahkan. Pernahkah kalian berpikir bahwa apa yang kalian katakan itu bisa saja membuat kami tidak percaya diri, membuat kami down, bahkan kalian tidak peduli seberapa besar usaha kami untuk bisa menjiwai peran ini dengan baik. Kalian tidak pernah tahu, bukan? Setiap pulang latihan lututku biru, lenganku lebam, kepalaku pusing, bahkan suaraku habis tak tersisa! Bahkan kalian tidak pernah tahu, perjuangan aku dan teman-temanku untuk tetap bertahan dan latihan demi menampilkan yang terbaik.

Aku tahu kalian ingin memperbaiki, kalian ingin kami tampil dengan baik, kalian ingin kami tidak membuat kesalahan. Namun, setidaknya jangan menghakimi, dan menuntut kami untuk sebuah kesempurnaan. Yang kami butuhkan bukan pujian atau kata-kata 'Wah, bagus! Kalian udah mantap, kita bangga' bukan kata-kata seperti itu. Kami hanya butuh kepercayaan dan dorongan, setidaknya jangan selalu memberi keraguan seolah-olah kami adalah sebuah kesalahan.

Kalian tahu? Betapa takutnya kami jika tidak melakukan yang terbaik? Betapa khawatirnya kami tidak mampu mengemban amanah? Betapa terlukanya hati kami saat kata-kata itu terngiang setiap kami latihan? Bahkan apa kalian tahu? Temanku tidak berani untuk datang latihan dan dia memutuskan mundur dari kompetisi ini, dia ketakutan, dia tidak percaya diri, dia takut dengan beban yang kalian berikan. Mental seseorang tidak bisa disamaratakan, perasaan seseorang tidak bisa diabaikan dan diremehkan. Kita tidak tahu seberapa hancurnya mereka, tidak tahu seberapa rapuhnya mereka.

Aku berusaha meyakinkan temanku, bahwa kita mampu melewatinya. Kita tidak boleh kalah! Jika kita berhenti justru itu akan menjadi petaka, kita akan lebih hancur bahkan kita gugur sebelum berperang.

"Kita nggak boleh berhenti! Kita tunjukkin ke mereka, kalau kita latihan bukan untuk ngebadut! Potensi kita nggak serendah itu! Kita nggak boleh kalah, kita ubah cacian, bentakkan, dan keraguan mereka menjadi sorakkan dan tepuk tangan! Kita nggak boleh nyerah!"

Aku meyakinkan temanku, meskipun dalam lubuk hatiku ketakutan lahir lebih besar. Menghantui setiap malamku, menghampiri dan menyapa di pagi hari, bahkan di sela-sela embusan napasku. Ada ketakutan dan beban yang kupikul. Permainan ini, pertunjukkan ini berpusat padaku yang memegang kemudi. Sekali saja aku salah arah, maka semuanya akan hancur. Fatal!

Namun, aku sadar. Tak seharusnya aku begitu, tak seharusnya aku menyerah sebelum melangkah, aku harus memberi kesempatan pada diriku. Aku berusaha percaya diri, berusaha melawan ketakutan yang kumiliki, berusaha menerjang keraguan yang seringkali menghantui. Hingga akhirnya waktu memberi kesempatan, dan membuat aku mendapatkan kepercayaan diri itu, keyakinan itu, semangat itu, dan beban yang akhirnya terbantahkan.

"Terima kasih untuk cacian, bentakkan, bahkan keraguan yang kalian berikan. Tak masalah air mata yang jatuh mengalir menjadi muara, tak masalah rasa takut yang membuat kami putus asa, tak masalah semangat kami yang sempat hilang tak tersisa. Setiap orang memiliki waktu, setiap orang memiliki cara, kapan dia bangkit dari jatuh, kapan dia menemukan cara untuk tumbuh dari rapuh. Dan kami mendapat kesempatan itu pada akhirnya. Pertunjukkan itu sudah menjadi pembuktian, jatuh bangunnya kami hingga terbalas dengan pujian dan tepuk tangan. Sekali lagi terima kasih."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top