8. Keputusan Bagus Itu Keputusan Dengan Emosi

Lestari tak tahu harus bersyukur atau sebaliknya. Lagi pula bagaimana bisa Jarot batal menjadikannya sebagai wanita penghibur karena kurap yang ada di pahanya? Sebenarnya itu mukjizat ataukah malapetaka?

Tentu saja malapetaka. Gimana bisa ada anak kandung yang mempermalukan ibunya sendiri seperti itu di depan banyak orang? Di depan para tetangga yang biasa ketemu setiap hari?

Lestari benar-benar merasa malu. Wajahnya yang putih cantik walau sudah paruh baya jadi tampak memerah hingga ke telinga. Tak dipedulikannya muntahan Jarot di halam rumah yang seharusnya ia bersihkan. Pun ia tak juga peduli dengan getar-getar seolah gempa yang timbul ketika buldoser meninggalkan rumah mereka. Satu-satunya yang dipedulikan olehnya hanya satu.

"Vika!"

Lestari langsung masuk ke rumah. Dikejarnya Vika yang sudah keburu masuk dari tadi setelah menyingkap dasternya di hadapan semua orang.

Teriakan Lestari membuat Vika menoleh. Saat itu ia sedang berada di dapur dengan dua bungkus mi instan di tangan. Tak menunggu lama, Lestari pun menghampirinya dengan hidung kembang kempis tanpa asma.

"Kamu benar-benar keterlaluan, Vik! Bisa-bisanya kamu buat Mama malu di hadapan semua orang?!"

Pundak Vika jatuh lemas. Ia tampak malas ketika membalas kemarahan Lestari. "Mama mau malu di depan tetangga atau Mama mau biarin kemaluan Mama dilihat orang-orang?"

Lestari terkesiap seolah-olah nyawanya benar-benar terbetot lepas dari ubun-ubun kepala. "Kamu ini benar-benar anak Mama bukan sih? Kok bisa kamu ngomong begitu, Vik?"

Vika membuang napas panjang seraya memutar bola mata. Terpaksalah ia taruh sejenak mi instan di atas meja. "Mama tau nggak?"

Lestari mengerutkan dahi. "Nggak."

"Sebenarnya aku juga bertanya-tanya dari dulu," lirih Vika dan suara rendahnya itu bukannya membuat Lestari merasa tenang, alih-alih sebaliknya. "Mama ini benar-benar ibu aku bukan sih? Papa itu benar-benar ayah aku bukan sih? Terus aku ini benar-benar kakak Aibal bukan sih?"

Firasat tak enak Lestari terbukti benar. Bila suara Vika sudah merendah maka bisa dipastikan itu bukanlah hal bagus. Seburuk-buruknya perkataan Vika dengan nada tinggi, tidak akan lebih buruk bila dibandingkan dengan perkataannya dengan nada rendah.

"Vi-Vika—"

"Kadang aku benar-benar yakin kalau aku bukan anak kandung Mama dan Papa. Mungkin saja kan kalau aku sebenarnya adalah anak pungut yang dijadikan tumbal keluarga ini karena aku udah habisin susu dan beras dari dulu, jadi mau nggak mau sekarang aku harus balas jasa. Caranya gimana? Caranya dengan jadi mesin perah duit untuk semua tagihan yang Mama, Papa, dan Aibal buat."

Lestari menggeleng. "N-nggak—"

"Iya juga nggak apa-apa. Sebenarnya itu malah buat aku lega karena seenggaknya orang tua kandung aku nggak jahat sama aku. Kalau orang tua tiri yang jahat kan memang udah lumrah."

Vika putuskan untuk tak jadi memasak mi instan. Ia beranjak dari sana dan tinggallah Lestari seorang diri dengan rasa bersalah.

"Ma, bantuin Papa. Itu muntah Pak Jarot benar-benar gila! Masa lalat hijau langsung pada ngumpul sih?"

Datang-datang langsung membahas soal muntahan Jarot, jadilah Harjo mengerjap bingung ketika mendapati Lestari yang berdiri seperti tanpa nyawa di tengah-tengah dapur.

"Mama kenapa?"

Lestari melihat suaminya dengan tatapan lesu. "Vika, Pa."

Sontak saja Harjo berdecak. "Anak itu kalau ngomong nggak tau tempat. Papa benar-benar nggak habis pikir. Bisa-bisanya dia nunjukin kurap Mama di hadapan semua orang."

Bahkan sedurhakanya Malin Kundang, Harjo yakin seratus persen bahwa dia tidak pernah mempermalukan ibunya seperti itu.

"Benar-benar anak durhaka. Terus tadi apa dia ada ngomong yang lain sama Mama?"

Lestari mengangguk. "Dia bilang, dia ragu kalau dia anak kandung kita. Dia pikir, dia itu anak tiri karena dia merasa jadi tumbal untuk keluarga ini. Dia merasa jadi mesin perah duit untuk bayar semua tagihan kita."

Jadilah Harjo memelotot dengan kesiap kaget yang tak mampu ditahan. Ia syok dan memastikan. "Apa dia bilang? Dia pikir, dia anak tiri?"

"Iya, Pa. Dia pikir, dia anak tiri kita."

"Ck! Sembarangan saja kalau ngomong," gerutu Harjo dengan ekspresi kesal. "Anak tiri dari mana? Memangnya dia pikir ada orang tua normal yang mau punya anak tiri seperti dia? Ini saja Papa juga ogah punya anak kandung kayak Vika kalau bukan terlanjur. Jadi anak kandung aja nyusahin, apalagi kalau jadi anak tiri?"

Puas menggerutu panjang lebar, Harjo melirik Lestari. Wajah lesu sang istri membuat ia jadi bersedih. Diusahakannya untuk menenangkan Lestari.

"Sabar ya, Ma. Anak-anak zaman sekarang memang nggak tau adab lagi dengan orang tua dan mungkin juga ini sedikit banyak karena Mama dulu ngidamnya mangga curian. Makanya sikap Vika jadi begini."

Lestari manyun, tetapi cemberutnya seketika tergantikan rutukan kaget karena tiba-tiba saja Vika muncul lagi di dapur dengan penampilan yang berbeda. Ia tak lagi mengenakan pakaian santai ala rumahan, melainkan kemeja longgar dan celana jin yang sudah memudar warnanya. Di pundaknya, tergantung satu tas ransel.

"Kayaknya sama saja, Pa. Orang tua zaman sekarang juga banyak yang nggak ada adab lagi sama anaknya. Bukannya mengayomi, eh malah buat pusing setiap hari. Bisanya cuma ngasih tagihan untuk aku."

Harjo mengusap dada. Dikiranya jantung di dalam sana akan segera copot berkat kedatangan Vika yang tiba-tiba. Walau demikian tak urung juga ia mencermati perkataan Vika yang ternyata berhasil kembali membuatnya tertohok.

"Ma-masih juga dibahas. Dari tadi belum selesai-selesai juga bahasnya."

Vika pun ingin tak membahasnya, tetapi ia sungguh tak mengerti mengapa bisa orang tuanya memiliki sifat demikian? Terlebih lagi ia pun jadi bertanya-tanya, mengapa Tuhan harus menakdirkan dirinya untuk hidup di tengah-tengah keluarga yang sangat ahli dalam urusan menguras kesabaran?

"Semua ini nggak bakal selesai sampai semua tagihan Mama, Papa, dan Aibal lunas. Juga sampai semua orang di rumah ini nggak buat masalah lagi."

Lestari melirik Harjo, memberikan peringatan agar suaminya itu diam saja, tak perlu membalas perkataan Vika.

"Ah! Karena tadi Papa udah ngomong kalau ogah punya anak kandung kayak aku," lanjut Vika hingga membuat Lestari dan Harjo sama-sama mengangkat wajah. "Jadi, kayaknya kita udahan saja deh jadi anak dan orang tua ya?"

Hening sejenak. Agaknya Lestari dan Harjo sama-sama bingung. Jadilah mereka saling pandang untuk beberapa saat, tetapi ujung-ujungnya mereka kompak menggeleng, masih tak mengerti.

"U-udahan jadi anak dan orang tua?"

"Ma-maksud kamu apa, Vik?"

Vika menarik napas sejenak. Dilihatnya Lestari dan Harjo secara bergantian, lalu ia mengingatkan mereka akan sesuatu.

"Kalau bukan karena terlanjur jadi anak kandung Mama dan Papa, pasti Mama dan Papa nggak mau kan punya anak kayak aku?"

Harjo meneguk ludah, tak mengira bila Vika mendengar perkataannya tadi. "Vi-Vika, Papa nggak serius. Papa cuma main-main. Pa—"

"Aku sih udah nggak peduli lagi mau Papa main-main atau nggak," potong Vika cepat sambil membuang napas panjang. "Aku malah berterima kasih kalau udah nggak dianggap sebagai anak lagi. Dengan begitu, aku jadi nggak ada tanggung jawab apa-apa lagi untuk berbakti kan?"

Vika sudah lelah. Diputuskannya untuk tidak mengambil risiko. Ia tidak mau mati muda karena membayar tagihan keluarganya yang makin lama makin menggunung.

"Mulai hari ini, aku pergi dari rumah. Aku bukan anak di keluarga ini lagi. Jadi, silakan cari anak kandung yang sesuai dengan keinginan Papa dan Mama."

Tuntas mengatakan itu, langsung saja Vika pergi dari sana. Ditinggalkannya Lestari dan Harjo yang seketika jadi panik. Mereka menyusul dan mendapati Vika membawa satu tas berisi pakaian yang telah siap di ruang tamu.

"Vika!"

Vika tak peduli dan langsung menyalakan mesin motor. Dilajukannya kendaraan beroda dua itu dan ia pergi. Ia benar-benar meninggalkan rumah dan keluarganya.

Rasanya memang sudah tak tahan lagi. Sekuat apa pun dirinya, Vika sudah merasa teramat lelah. Ia telah menjalani kehidupan yang sama selama bertahun-tahun dan diyakininya bahwa keluarganya memang tidak akan pernah berubah. Selain itu, ia pun berani bertaruh, bila tagihan bulan ini lunas maka akan ada tagihan baru yang menunggunya di bulan depan.

Vika menggeleng. Ia tak ingin terus-menerus mengalami hal buruk yang berkutat pada pelunasan tagihan yang bukan disebabkan oleh dirinya. Keyakinannya sudah bulat seratus persen percaya bahwa lama-kelamaan berada di situasi itu benar-benar bisa membuat kewarasannya menghilang. Ironis, tetapi ia tidak mau menjadi cewek gila yang miskin.

Nggak. Pokoknya aku nggak mau kere atau gila. Jadi lebih baik aku hidup tanpa keluarga dan rumah.

Ciiit!

Vika mengerem mendadak. Wajahnya berubah bingung karena satu kata itu. Agaknya ia baru menyadari sesuatu setelah mengambil tindakan dramatisnya.

Ngomong-ngomong hidup tanpa rumah, ini ceritanya aku mau tinggal di mana ya?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top