7. Wanita Penghibur Itu Harus Gatal!
Kepala Vika benar-benar akan pecah sebentar lagi. Otak di dalam sana mulai memuai oleh suhu panas yang makin meninggi dan juga keadaan yang makin tersulut emosi.
"Kalian tinggal pilih saja. Mau bayar utang atau Lestari aku bawa untuk jadi wanita penghibur di tempat judi aku."
Jarot tertawa-tawa walau sebenarnya di dalam hati, ia merasa ciut. Penyebabnya adalah baru kali ini ia bertemu dengan seorang cewek yang bisa mengalahkan tenaga buldoser seperti Vika, sebelum-belumnya mana pernah.
Sial! Kayaknya ancaman perobohan rumah nggak mempan. Aku harus putar otak dan seharusnya ancaman yang kali ini berhasil. Memangnya ada anak yang mau lihat ibunya jadi wanita penghibur? Iya kan?
Wajah Lestari dan Harjo tak lagi bisa dikatakan pucat. Bila ancaman perobohan rumah saja sudah membuat mereka ketar-ketir maka apalagi sekarang? Jadilah nyawa seperti sudah tak ada lagi di tubuh mereka.
"Vi-Vika," lirih Lestari gagap dengan penuh ketakutan. Tak bisa dibayangkan olehnya bila ia harus menjadi wanita penghibur demi melunasi utang suaminya. "To-tolong Mama, Vika. Mama nggak mau jadi wanita penghibur."
Vika dapati sang ibu yang langsung menghampirinya. Demikian pula dengan Harjo yang sama ketakutannya dengan Lestari.
"Jangan minta tolong sama aku, Ma. Minta tolong sama suami Mama. Lagi pula ini kerjaan siapa?" tanya Vika dengan datar, lalu ia berpaling pada Harjo. "Gimana, Pa? Apa Papa senang sekarang? Karena ulah Papa, bukan cuma rumah yang terancam hilang? Harga diri istri Papa juga?"
Rasa dingin menyelimuti tubuh Harjo. Ia bergeming dan membeku lantaran pertanyaan-pertanyaan tanpa emosi yang Vika layangkan. Tak ada jawaban yang bisa diberikannya, ia terdiam.
"Sudah sudah sudah! Kalian nggak perlu diskusi segala macam. Musyawarah untuk mencapai mufakat cuma ada di pelajaran PPKN zaman dulu."
Kali ini tawa Jarot benar-benar menggelegar. Jadilah sekarang tak ada lagi bisik-bisik tetangga yang terdengar. Agaknya ancaman mengenai wanita penghibur itu bukan hanya membuat takut keluarga Vika, melainkan menakuti para tetangga juga.
Jarot mengangkat tangan. Diberikannya perintah pada kedua orang preman yang merupakan anak buahnya. Mereka memiliki badan besar, kepala gundul, dan bertampang menyeramkan.
"Kalian bawa Lestari. Hari ini dia mulai bekerja untuk melunasi utang suaminya. Lagi pula dia lumayan cantik juga sih untuk kategori ibu-ibur yang sudah tua."
Kedua orang preman itu mengangguk patuh. Seringai muncul di wajah dan jadilah mereka terlihat semakin menyeramkan lagi.
"Baik, Bos!"
Lestari dan Harjo menggeleng dengan wajah amat ketakutan. Jadilah mereka histeris ketika kedua preman itu berjalan mendekat.
"Vika, tolong Mama!"
"Papa janji nggak bakal judi lagi, Vika. Tolongin Mama kamu."
Vika memutar bola mata dan dengkusan tak percaya meluncur begitu saja. Diingat-ingatnya, sudah tak terhitung lagi berapa kali ia mendengar ucapan jera dari keluarganya. Lestari, Harjo, dan Aibal selalu saja bermanis mulut padanya dan mengatakan bahwa mereka tidak akan membuat kekacauan lagi, tetapi apa yang terjadi?
Iya, memang. Papa pasti nggak bakal judi lagi. Lagi pula ini memang judi pertama Papa, tapi besoknya Papa pasti melakukan hal gila lainnya. Entah itu ikut investasi bodong, MLM bodong atau bahkan pesugihan bodong.
Vika sudah hapal dengan pasti kelakuan keluarganya. Rasa-rasanya setiap saat mereka selalu saja memiliki ide terbaru dan teraktual, tetapi tak terpercaya untuk bisa membuat Vika semakin tak waras.
Walau begitu tak urung juga Vika menarik napas dalam-dalam ketika dua orang preman itu mendekati mereka dan berniat untuk membawa Lestari. Dilihatnya Jarot yang tampak senang sambil sesekali menarik pinggang celananya, ia masih tertawa-tawa.
"Bapak serius mau bawa Mama jadi wanita penghibur?"
Pertanyaan bernada datar yang Vika ucapkan membuat tawa Jarot jadi terjeda. Kedua orang preman yang bersiap untuk menarik Lestari pun turut berrhenti sejenak. Mereka kompak melihat pada Vika.
"Menurut kamu, aku main-main?" tanya balik Jarot sambil menyeringai. "Nggak dong. Aku serius. Kan lumayan juga buat nyicil utang bapakmu itu."
Lestari merengek pada Vika. "Tolong Mama, Vik. Mama nggak mau jadi wanita penghibur."
Vika berpaling pada Lestari dengan wajah lesu. Dilihanya sekilas penampilan Lestari dan harus ia akui bahwa ucapan Jarot tadi memang ada benarnya. Lestari masih terlihat cantik di usia yang sudah tidak muda lagi, apalagi dengan warna rambutnya yang baru itu, ombre ash grey yang menurut Vika tidak sesuai untuk wanita paruh baya, tetapi ajaibnya justru terlihat sangat pas untuknya.
Sayangnya penampilan itu tidak memberikan kebanggaan untuk Vika. Sebaliknya, entah sadar atau tidak, ia pun menyindir Lestari.
"Wanita penghibur dengan warna rambut baru? Kayaknya bagus ya, Ma?"
Bola mata Lestari membesar. "Vi-Vika—"
"Jadi," ujar Vika dengan suara yang agak meninggi pada Jarot. "Bapak serius mau bawa Mama ke tempat Bapak?"
Jarot mengangguk. "Serius."
"Baiklah."
Tangan Lestari yang memegang Vika sontak jatuh lemas. Perkataan Vika membuatnya benar-benar syok. Begitu pula dengan Harjo dan semua tetangga yang ada di sana.
"Kalau Bapak mau bawa Mama untuk jadi wanita penghibur, ya bawa saja. Aku nggak jadi amsalah."
Lestari menggeleng kaku. "Vi-Vika, kamu tega sama Mama?"
Vika berpaling dan ditatapnya sang ibu tanpa kedip, lalu ia meringis. "Mama, Papa, dan Aibal tega sama aku? Tiap bulan aku harus banting tulang buat nyari duit ke mana-mana cuma buat melunasi semua tagihan yang kalian buat. Cuma buat nyelesaikan semua masalah yang kalian buat. Bulan ini saja aku harus nyari duit tiga puluh juta. Mama dan Papa yang tega sama aku!"
Balasan tak terduga Vika membuat Lestari terdiam. Ia hanya bisa menatap sang anak dengan sorot yang tak mampu diartikan. Didapatinya lidahnya jadi kelu dan tak bisa mengatakan apa-apa. Bahkan untuk sekadar membela diri ataupun meminta pertolong pada Vika pun tak bisa dilakukannya lagi.
"Vika, ini salah Papa. Bukan salah Mama," kata Harjo kemudian. "Jadi, tolong Mama kamu."
Vika mengerjap sekali, lalu berpaling pada Harjo. "Seharusnya Papa kan yang bertanggungjawab? Sebagai kepala rumah tangga, seharusnya Papa yang menjaga keluarga ini kan? Terus kenapa justru aku yang merasa jadi kepala rumah tangga di sini?"
Sekarang giliran Harjo yang dibuat bungkam oleh perkataan Vika.
"Kalau Papa memang mau bertanggungjawab, bilang sama Pak Jarot. Coba dulu saja. Mungkin Pak Jarot mau mengganti wanita penghibur menjadi pria penghibur."
Jakun Harjo naik turun. Ekspresinya berubah ngeri.
Di lain pihak, Jarot yang melihat perdebatan keluarga itu mulai merasa tak sabar. Diusapnya perut buncitnya dan ia merasa lapar padahal ia sudah menghabiskan sarapan nasi berupa tiga porsi nasi uduk.
"Ipul! Oong! Jangan bengong! Bawa sini istri Harjo!"
Preman bernama Ipul dan Oong itu mengangguk. Mereka bersiap untuk menarik Lestari yang sontak berlindung pada Harjo.
"Ma, nanti kerjanya yang bagus ya? Biar utang Papa cepat lunas."
Jadilah para tetangga menganga tak percaya. Nyatanya Vika bukan hanya tak melakukan apa-apa untuk menolong Lestari yang mencoba mempertahankan diri, ia malah mengatakan hal tak terduga. Bisik-bisik tetangga terdengar kembali. Mereka mengambil kesimpulan bahwa pada akhirnya Vika sudah merasa lelah sekali menghadapi semua masalah yang ditimbulkan oleh keluarganya.
"Kamu tega sama Mama, Vik!"
Vika memutar bola mata. "Mama dan Papa juga tega sama aku. Selain itu, aku berani bertaruh deh. Pasti sebentar lagi Pak Jarot juga bakal ngomong yang sama ke Mama."
Jarot mengernyit, refleks menyeletuk. "Kenapa bawa-bawa aku?"
"Ya jelas dong, Pak. Soalnya aku jadi penasaran juga. Kira-kira kapan Bapak ntar ngomong sama Mama dengan kata-kata kayak gitu," jawab Vika, lalu mendeham sejenak. Diubahnya suara dan mimik wajahnya seolah-olah tengah meniru cara bicara Jarot. "Kok kamu tega sama aku, Istri Harjo?"
Jarot tidak mengerti. Ipul dan Oong yang sudah berhasil mengamankan Lestari pun tidak mengerti.
"Maksud kamu?"
Vika memasang ekspresi iba. "Ah, pasti Bapak nggak tau kan?"
"Tau apa?"
Vika tak langsung menjawab, melainkan didekatinya Lestari yang kedua tangannya sudah dipegang oleh Ipul dan Oong.
"Bapak mau jadiin Mama sebagai wanita penghibur, tapi apa Bapak tau kalau Mama ini bisa buat masalah baru buat Bapak?"
Jarot mendengkus, lalu tertawa. "Kamu mau coba-coba bohongin aku? Aku nggak bodoh."
"Loh? Siapa yang mau bohongin Bapak?" tanya Vika turut tertawa. "Mama aku memang tampilan luarnya bagus begini, tapi dalamnya? Beuh!"
Tawa Vika mengalahkan tawa Jarot. Jadilah ia bingung dengan dahi mengerut. "Apa maksud kamu?"
Vika menghentikan tawa dan tersenyum. Diulurkannya tangan menuju tepian daster tiga perempat yang Lestari kenakan. "Bapak pernah lihat ada wanita penghibur yang punya panu dan kurap?"
Lestari melotot, sontak menjerit. "Vika!"
Namun, terlambat. Vika sudah keburu menyingkap sedikit rok daster tersebut. Diperlihatkannya paha Lestari yang putih, tetapi tak mulus. Ada banyak ruam-ruam merah di sana.
"Ini baru di paha, Pak," ujar Vika dengan mimik serius. "Belum lagi di lembah lembab yang tak pernah terjangkau oleh sentuhan manusia. Ck. Jangan ditanya deh gimana keadaannya."
Jarot buru-buru menutup mulut, tetapi nasi uduk tiga porsi di perutnya sudah berontak. Jadilah ia merasa mual-mual.
"Aku sih tau kalau wanita penghibur memang harus gatal, tapi masa gatal gara-gara panu dan kurap sih?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top