6. Beruang Semak Belukar

Kalau diingat-ingat lagi, jadilah Vika bisa tergelak seorang diri. Wajah Bobon yang melongo persis seperti orang bodoh saat mendengar pertanyaannya waktu itu sukses membuat perutnya selalu merasa geli. Sumpah! Ekspresi syoknya begitu natural.

"Ya kali kan? Orang nggak mau, tapi masih juga dibujuk-bujuk gitu."

Untuk kesekian kalinya, Vika terkekeh lantaran otaknya teringat kembali akan kejadian tersebut. Terlepas fakta bahwa kejadian itu sudah berlalu dua hari yang lalu, ternyata efek gelinya masih cukup ampuh untuk membuatnya merasa lucu. Jadilah ia anggap itu sebagai salah satu hiburan gratis demi mewaraskan otaknya yang mungkin benar-benar terancam gila sebentar lagi.

Matahari pagi belum terlalu menyengat. Vika baru saja terlelap sekitar dua jam karena pulang pukul lima pagi dan sekarang didapatinyalah keributan di depan rumah. Ia berusaha mengabaikannya. Ditutupnya telinga dengan bantal dan ia mencoba untuk lanjut tidur kembali, tetapi tak bisa. Suara ribut perpaduan antara bentakan dan bunyi mesin itu bukannya reda, alih-alih justru semakin menjadi-jadi.

"Argh!"

Vika bangkit dari tidur. Wajahnya tampak kesal dengan rambut yang mengembang berantakan.

"Siapa sih yang ribut-ribut sepagi ini? Nggak tau apa kalau ada orang yang mau tidur?"

Geram dan kesal, Vika berharap keributan itu akan segera berakhir. Jadilah ia menunggu sambil menggerutu.

"Aku hitung sampe satu. Kalau mereka masih ribut, aku hajar juga semuanya." Vika membuang napas sekilas, lalu perhitungan pun dimulai. "Satu!"

Keributan masih terdengar. Sontak saja Vika menyipitkan mata dengan tajam ke arah pintu. Lalu tangannya memukul bantal.

"Memang cari masalah!"

Tanpa berpikir dua kali dan tak memedulikan penampilannya yang nyaris persis seperti beruang keluar dari semak belukar, Vika keluar dari kamar. Diabaikannya pakaian tidurnya yang berantakan, perpaduan antara kaus longgar tanpa lengan dan celana katun di atas paha, ia berjalan dengan cepat. Ia keluar dari rumah dan mendapati kedua orangtuanya yang menangis histeris.

Vika tertegun. Sepertinya ia butuh waktu untuk mencerna situasi kala itu. Lestari dan Harjo berlutut di tanah sementara ada seorang pria paruh baya berperut buncit yang tertawa-tawa. Di lain sisi, terlihat ada buldoser yang menyala, seolah memberikan isyarat bahwa alat berat itu siap beraksi dalam waktu dekat.

"Kamu bilang kamu kaya, Harjo. Makanya aku kasih kamu slot buat main. Ternyata mah kamu itu gembel! Orang gembel kok malah sok belagak jadi orang kaya?"

Vika dengan cepat bisa menilai situasi. Tentunya pria itu adalah bos judi. Dugaannya diperkuat oleh penampilan pria itu yang tampak mentereng.

Pria itu berpakaian necis ala penyanyi pop era 80-an. Ia tampak bangga memamerkan kalung rantai emas yang menggantung di leher. Tak tanggung-tanggung, ada lima kalung yang dikenakannya. Untung saja tidak rupa-rupa warnanya.

"A-aku minta waktu, Bos. Uang itu pasti akan aku bayar."

Persis seperti dugaan Vika, pria itu memang adalah bos judi tempat Harjo berjudi selama ini. Namanya Jarot dan sudah bertahun-tahun lamanya ia malang melintang di dunia perjudian. Tak ada seorang pun yang tinggal di area itu yang tidak mengenal Jarot sebagai bos judi paling berkuasa di sana.

"Mau minta waktu sampai kapan, Harjo? Sampai kamu mampus?!"

Jarot membentak smabil menyentak kakinya dari Harjo. Sontak saja Harjo nyaris terjengkang ke belakang. Lestari buru-buru menahannya sambil berurai air mata. Jadilah Vika refleks menghampiri kedua orang tuanya.

"Mama. Papa."

Lestari dan Harjo sama-sama menoleh. Ditatapnya Vika dengan sorot penuh pengharapan.

"Vik, kamu udah ada duit untuk bayar utang judi Papa?" tanya Harjo cepat. Diraihnya kedua tangan Vika. "Kalau Papa nggak bisa bayar utang itu, rumah kita mau dihancurkan."

Bola mata Vika membesar. Jadilah ia melihat Jarot yang kebetulan sedang mengangkat pinggang celananya sambil menyeringai.

"Gimana? Kamu ada duitnya? Kalau nggak ada, rumah reyot ini akan aku hancurkan!" bentak Jarot sambil menunjuk rumah mereka, lalu tertawa-tawa. "Walau nggak dapat duitnya, yang penting aku puas."

Jarot tentunya tidak main-main dengan perkataannya. Harjo dan Lestari, bahkan semua tetangga yang sedang menyaksikan tontonan pagi itu pun tahu keseriusan Jarot. Terlebih lagi karena operator buldoser juga telah bersiap siaga, ia hanya perlu menunggu perintah Jaros untuk menjalankannya.

"Ayo! Bayar utang kamu, Harjo! Kalau nggak, rumah kamu akan aku hancurkan saat ini juga!"

Kian paniklah Lestari dan Harjo. Mereka tak bisa membayangkan bila harta satu-satunya yang tersisa di hidup mereka harus hancur begitu saja.

"Vik, gimana ini? Kamu bisa bayar utang Papa kan?"

"Jangan sampai rumah kita dihancurkan, Vik. Kita mau tinggal di mana kalau nggak ada rumah?"

Argh! Vika meremas rambut. Sudahlah ia masih mengantuk, eh sekarang ia langsung dihadapkan dengan keributan soal uang dan rumah yang terancam akan dirobohkan dalam waktu dekat.

Vika merutuk. "Astaga! Mama dan Papa nggak bisa belajar dari yang sudah-sudah? Kenapa sih Papa mau ikut judi? Kalau kayak gini, yang repot siapa? Aku kan?"

Harjo terdiam. Wajahnya menyiratkan rasa bersalah, begitu juga dengan Lestari.

"Eh! Kalian ributnya nanti saja. Sekarang yang terpenting adalah bayar dulu utang punya bapakmu itu, Vika!"

Vika berpaling. Ia berdiri dan membalas bentakan itu. "Kalau uangnya ada, sudah pasti aku bayar sebelum Bapak datang ke sini. Nah! Nyatanya aku memang nggak ada duit."

Jarot berdecak sambil memutar bola mata dengan malas. Lalu ia berkacak pinggang dan malah mendelik pada Vika.

"Kalau begitu artinya kamu nggak ngasih aku pilihan lain. Rumah ini akan aku hancurkan. Walau aku nggak dapat duitnya, tapi aku bisa puas melihat kalian nangis-nangis."

Jangankan melihat rumah itu benar-benar dirobohkan, hanya dengan mendengar ancaman Jarot saja sudah sukses membuat Harjo dan Lestari histeris. Keduanya kompak menangis, lalu bersimpuh di hadapan Jarot dan berusaha untuk memohong.

"Bos, aku mhon. Jangan dirobohkan. Kami mau tinggal di mana kalau rumah kami dirobohkan?"

Jarot mendengkus. "Memangnya itu urusanku? Hah! Urusanku itu cuma sama utang kamu. Bayar dan aku nggak akan merobohkan gubuk reyot ini!"

Harjo beralih lagi pada Vika. Kali ini ia memohon pada putrinya. "Vik, Papa mohon. Cari dulu uang untuk bayar utang Papa. Kalau nggak, rumah kita akan dirobohkan."

Seandainya saja Vika memiliki uang itu, tentu ia segera melunasi utang tersebut. Namun, nyatanya ia memang sedang tidak memiliki uang. Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa mendapatkan uang lima belas juta dalam dua hari sementara pekerjaannya hanyalah kasih di kelab malam?

Rengekan Lestari, permohonan Harjo, ancaman Jarot, suara mesin buldoser, dan bisik-bisik tetangga sukses membuat kepala Vika terasa amat penuh. Jadilah ia tak merasa cukup hanya dengan meremas rambut. Sekarang ia malah mengacak-acak rambutnya sehingga bisa dijamin bahwa beruang yang baru keluar dari semak belukar pun akan terlihat lebih rapi ketimbang dirinya.

"Aku cuma mau utang bapakmu itu lunas. Ada uangnya, aku pergi. Jadi kalau nggak ada, terpaksa rumah ini aku robohkan."

Vika mendengkus. "Harus berapa kali sih Bapak ngomong mau merobohkan rumah ini? Perasaan nafsu amat mau merobohkan rumah ini?!"

Mata Jarot membesar. Agaknya ia lumayan kaget ketika mendapati Vika yang balas membentak dirinya. Tidak disangkanya, ternyata cewek berpenampilan beruang semak belukar itu memiliki keberanian juga.

"Bapak tau?"

Jarot mengerjap, masih sedikit kaget, tetapi ia menggeleng. "Nggak."

"Bapak nggak usah pake buldoser kalau mau robohin rumah ini. Suruh saja aku buat robohinnya."

"Eh?"

Bukan hanya Jarot yang terkesiap, melainkan semua orang di sana. Terlebih lagi Lestari dan Harjo yang wajahnya sudah sama-sama memucat.

"Vi-Vika."

"Ja-jangan, Nak."

Namun, Vika tidak mendengarkan permintaan orangtuanya. Ia beranjak dan berbalik arah. Diraihnya pintu yang membuka dan lalu dengan sekuat tenaga, ditutupnya pintu itu dengan satu bantingan yang amat menggelegar.

Braaak!

Tak ada seorang pun yang tak teerkejut. Semuanya kompak memegang dada masing-masing dengan mata membelalak. Dilihat dengan jelas oleh mereka bagaimana bantingan pintu itu membuat rumah bergetar hingga ke atap-atapnya. Mereka meneguk ludah nyaris dalam waktu bersamaan.

Suasana menjadi hening. Tak ada satu suara pun yang terdengar. Pada saat itu, Vika bertanya pada Jarot.

"Lebih hebat aku kan daripada buldoser?"

Jarot melongo. "Eh?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top