5. Ada Darah Ada Dana

Anda butuh dana segar? Kami solusinya.

Perantara terpercaya penghubung vampir dan manusia.

Berdiri sejak zaman penjajahan Belanda.

Dengan motto: kenyamanan dan keamanan adalah yang utama.

Vika membaca slogan di kartu nama itu dengan ekspresi tak percaya. Dalam hati, ia berkata.

Aku pikir, aku adalah spesies paling gila di dunia, ternyata masih ada yang lebih nggak waras lagi dibandingkan aku dan itu adalah ....

Vika mengangkat wajah dan pandangannya meninggalkan kartu nama itu. Sekarang dilihatnya pria paruh baya yang baru saja membayar tagihannya beberapa saat lalu, seorang pelanggan yang dipikirkannya akan segera pergi, tetapi justru kembali lagi kareka mendengar perkataannya tadi.

"Nama saya Ageng Sailageng. Biasa dipanggil Pak Bobon."

Vika tambah melongo. Dari Ageng Sailageng berubah bentuk jadi Bobon?

"Kalau nama Adek siapa?"

Mata Vika mengerjap di bawah penerangan lampu kelab yang remang-remang. Didapatinya Bobon mengulurkan tangan. Sempat tak yakin, tetapi akhirnya Vika menyambut pula jabat tangan itu.

"Avika Bhanurasmi. Biasa dipanggil Vika."

Nah! Bila Avika dipanggil Vika maka terasa masuk akalnya. Lalu kalau Ageng Sailageng dipanggil Bobon itu akalnya masuk dari mana?

Bobon tersenyum dan membawa tangan Vika ke depan hidungnya. Ia mengendus tak ubah anjing pelacak yang biasa membantu pekerjaan para polisi.

"Ehm. Aromanya wangi sekali."

Vika meneguk ludah. Jantungnya berdebar parah. Bahkan setitik keringat mendadak muncul di dahinya.

Terlepas dari nama panggilannya yang nggak masuk akal, tapi kayaknya Bapak ini benar-benar berkompeten di bidangnya. Apa sales vampir emang punya penciuman setajam ini? Sama kayak vampirnya? Ehm. Mereka udah di-training dulu gitu?

Pemikiran itu membuat perasaan Vika jadi tak tenang. Ia merasa takut, tetapi penasaran juga sih.

"Darah saya ... wangi ya, Pak?"

Bobon berhenti mengendus. Wajahnya terangkat sedikit dengan mata melirik ke atas, pada Vika. "Bukan darah kamu yang wangi, tapi hand body kamu."

Dooong!

"Hand body kamu merek apa?" tanya Bobon sambil melepaskan tangan Vika. "Aromanya pas dan sesuai dengan selera saya. Saya suka. Jadi saya mau beliin untuk Ibu di rumah."

Vika buru-buru mengelap tangannya sambil mencebik sekilas, tetapi ia tetap menjawab. "Merek Saricantik, Pak."

"Ah, Saricantik. Oke oke. Makasih."

Vika melihat Bobon mencatat merek itu di ponselnya. Jadilah ia geleng-geleng kepala, apalagi kalau diingatnya pemikiran yang sempat melintas di benaknya tadi. Sekarang diputuskannya bahwa Bobon bukan jenis sales yang pantas untuk mendapatkan predikat sales berkompeten seperti yang diduganya tadi.

"Eh, Dek Vika. Jadi gimana? Pertanyaan saya tadi belum dijawab."

Vika bengong sejenak. Ia tampak berpikir dengan ekspresi tak yakin. "Pertanyaan yang mana, Pak Bobon?"

Bobon memasukkan ponsel kembali ke saku celana. Didaratkannya kedua tangan di atas meja kasir dan ia menjawab pertanyaan Vika dengan pertanyaan.

"Dek Vika lagi butuh dana segar?"

Oh, yang itu.

Jelas sekali Vika memang membutuhkannya, tetapi melihat nama Ageng Sailageng berubah menjadi Bobon dan mendapati Bobon lebih peka terhadap aroma calir raga ketimbang darahnya, jadilah ia menggeleng. Agaknya Bobon tidak mampu meyakinkan Vika bahwa ia adalah sales terpercaya, alih-alih ia justru memberikan kesan pertama yang buruk.

"N-nggak, Pak. Saya lagi nggak butuh dana segar kok."

Bobon menyipitkan mata dengan kesan tak percaya. "Dek Vika bohong ah."

"Nggak ah."

Bobon membuang napas panjang. Tangannya terangkat satu, lalu menunjuk Vika. "Cewek kalau nggak ada duit, itu wajahnya kelihatan kusam loh, Dek Vika. Beda sama cewek yang lagi punya banyak duit. Ck. Dek Vika jangan mau ngibulin bapak-bapak yang punya seorang istri dan tujuh orang anak perempuan."

Vika syok. "Bapak punya tujuh orang anak perempuan?"

"Iya, makanya saya tau persis gelagat cewek kalau lagi nggak punya duit. Persis kayak Dek Vika," lanjut Bobon sambil mengangguk. "Wajah suram, tubuh lesu, dan suka ngoceh sendirian. Itu kalau lama-lama dibiarkan bisa buat kamu gila."

Pundak Vika jatuh lemas seketika. "Gimana bisa ujung-ujungnya malah jadi gila?"

"Loh? Kamu nggak lihat di luar sana? Wajah orang gila suram kan? Tubuhnya lesu kan? Suka ngoceh sendirian kan?"

Vila menggaruk kepala, terlihat bingung.

"Benar kan yang saya bilang? Ehm. Makanya Dek Vika, hati-hati. Kalau dibiarkan kere lama-lama, Dek Vika bisa jadi gila."

Jadilah Vika tertawa kaku mendengar peringatan Bobon. "Terima kasih, Pak. Saya bakal coba untuk nggak kere lama-lama. Sumpah! Kere atau gila, itu sama-sama pilihan yang nggak saya suka."

Jari Bobon menjetik cepat tepat di depan wajah Vika. Dibuatnya tawa kaku Vika jadi berhenti seketika, kaget.

"Tuh kan! Dek Vika memang lagi kere. Aduh! Kok pake acara bohong sih?"

Ya ampun. Vika dibuat takjub oleh kepintaran sales vampir yang satu itu.

"Sini deh, Dek Vika, saya bilangin. Kerjaan ini nggak semenakutkan yang Dek Vika bayangkan. Sesuai dengan motto loh, kenyaman dan keamanan adalah yang utama. Jadi, Dek Vika nggak usah khawatir."

Vika memutar bola mata dengan dramatis. Seandainya saja Bobon mengatakan itu padanya kemarin atau paling tidak ketika kelab baru buka, mungkin saja ia bisa percaya. Namun, masalahnya ia sudah mendengar berita terkini dari Aini mengenai Rossa yang hampir kehilangan nyawa karena nyaris kehabisan darah.

"Pak, saya memang lagi kere dan bahkan mungkin sebenarnya kere itu udah jadi nama belakang saya yang terbaru. Avika Bhanurasmi Kere," ujar Vika meringis miris. "Cuma bukan berarti saya mau mempertaruhkan nyawa saya buat dapat duit."

Vika menggeleng. Sekalipun ia tahu bahwa menjadi makanan hidup vampir adalah pekerjaan paling menjanjikan di zaman sekarang, tetap saja ia tak ingin mengambil risiko. Ia bisa saja menjadi Rossa yang selanjutnya.

"Bapak tau?"

Bobon menggeleng. "Nggak."

"Jadi, saya kasih tau deh, Pak," lanjut Vika cepat. "Teman kerja saya, namanya Rossa, sekarang dia lagi dirawat di rumah sakit. Penyebabnya adalah karena ia nyaris kehabisan darah, Pak."

Bobon berdecak dengan wajah penuh simpatik. "Menyedihkan. Itu pasti karena dia salah milih CV. Coba deh tanyain ke dia. Pasti dia bukan lewat CV ADAD."

Vika melihat kembali pada kartu nama yang masih berada di tangannya. Dibacanya nama CV yang tertulis di sana, yaitu CV ADAD alias CV Ada Darah Ada Dana.

Astaga!

"CV ADAD sudah legal walaupun pekerjaan ini ilegal. Jadi, sudah barang tentu kejaminan dan kesejahteraan agen bakal jadi prioritas. Beda sekali dengan CV lainnya. Kebanyakan di luaran sana adalah CV abal-abal. Memangnya krim wajah saja yang banyak abal-abal? Ck! CV perantara vampir dan manusia juga banyak yang abal-abal."

Mendengarkan ocehan Bobon, diam-diam membuat Vika jadi berdoa. Semoga saja ada pelanggan lain yang datang dan membayar tagihan agar pembicaraan aneh itu bisa berakhir. Namun, sejauh mata memandang, harapannya mungkin hanya akan menjadi harapan kosong belaka.

"Oke deh, Dek Vika. Pikirkan saja dulu. Nanti kalau kerenya sudah hampir membuat Dek Vika gila, langsung saja hubungi saya di nomor yang ada di sana."

Vika cemberut. Ditebaknya bahwa Bobon justru berharap agar dirinya menjadi orang gila sungguhan.

"Juga, kalau ada yang mau ditanyakan, hubungi saja. Pasti bakal saya jelaskan semuanya dengan detail."

"I-iya, Pak," angguk Vika mulai tak sabar. Rasa-rasanya semakin lama ia bicara dengan Bobon maka semakin naik pula taraf gila di otaknya. "Pasti saya nanti hubungi Bapak kalau saya beneran butuh atau ada yang mau saya tanyakan."

"Nah! Gitu dong. Pokoknya kamu jangan keburu takut duluan. Kerjaan ini nggak menakutkan dan yang pasti uangnya banyak."

Vika menarik napas dalam-dalam. Kesabarannya benar-benar sudah terkikis, tetapi sayangnya di sana tidak ada pintu yang bisa dibantingnya sesuka hati.

"Pastinya saya bakal menghubungkan kamu dengan vampir yang sudah terjamin. Jadi—"

"Pak."

Tiba-tiba saja Vika memotong perkataan Bobon. Disadarinya bahwa ia memang harus segera mengakhiri percakapan itu sebelum ia benar-benar lupa diri.

"Saya mau nanya."

Wajah Bobon berseri-seri, dianggapnya Vika menerima tawarannya. "Nanya apa, Dek Vika?"

Vika memulas seuntai senyum terpaksa setelah menarik napas. Bobon menatap Vika dan bersiap dengan pertanyaan yang akan didapat. Ia menunggu dan ketika pertanyaan itu dilontarkan Vika maka sontak saja ia terbatuk seketika. Pertanyaan itu adalah.

"Vampir suka darah menstruasi nggak?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top