4. Sama-Sama Butuh Yang Segar

"Itu kan bukan rahasia lagi, Vik. Banyak orang kepepet duit yang akhirnya memilih kerjaan itu. Bukannya apa sih, tapi dapat duitnya memang banyak."

Penurutan Aini makin membuat Vika merinding atas bawah. Tangannya masih belum lepas dari leher, seolah khawatir kalau akan ada vampir tersesat yang akan menancapkan taringnya di sana.

Ih! Vika bergidik membayangkan darahnya mengucur dan diisap oleh vampir.

"Aku tau sih kalau itu memang kerjaan ilegal, tapi timbang jual ginjal kan? Lagian kalau darah kan jelas masih bisa diproduksi lagi. Sementara ginjal kan nggak bisa. Apalagi bola mata. Memangnya kau mau pergi ke mana-mana bawa rongga mata yang bolong?"

Sontak saja mata Vika membesar. Ia mendelik dengan tangan yang sudah terangkat, siap untuk memberikan satu jitakan di dahi Aini. Namun, Aini dengan tangkas berlindung di balik nampan.

"Kamu ini omongannya buat aku ngeri aja," gerutu Vika. "Lagian untuk apa kamu bandingin aku mau jual ginjal atau bola mata dan darah? Kamu mau nyuruh aku jadi makanan simpanan vampir? Iya?"

Aini mengerutkan dahi seolah tengah mencerna perkataannya sendiri, lalu ia malah cengar-cengir. "Sorry. Bukan gitu juga sih maksud aku."

"Terus apa maksud kamu?"

Aini mendeham sejenak dengan penuh irama demi mencari pembelaan. "Aku cuma sekadar sharing kabar yang sering aku dengar sih. Lagi pula kan nyaris semua orang tahu dan nggak sedikit itu jadi pilihan andalan orang-orang yang lagi kepepet duit. Memang sih ilegal, tapi nyatanya banyak orang yang tetap mau ngambil risiko. Apalagi karena hasilnya memang menggiurkan dan terbukti memang membantu banyak orang."

Vika memilih untuk tidak mengomentari penjelasan Aini. Serius, ia tidak ingin pulang kerja nanti diikuti oleh rasa takut.

"Walau dibilang kerjaan itu terbukti membantu banyak orang, tetap aja aku heran. Kok bisa kerjaan kayak gitu nggak diberantas? Maksud aku, kerjaan itu kan berbahaya, Ni. Taruhannya nyawa. Pemerintah kok malah ngebiarin sih?"

Aini memutar bola mata dengan dramatis. Digeleng-gelengkannya kepala mendengar pertanyaan Vika. "Kok kamu naif banget sih, Vik? Memangnya mau diberantas kayak gimana? Orang jelas-jelas kelompok vampir punya pengaruh di negara ini. Walau mereka kayak terasing dari mata dunia, nyatanya mereka justru punya kekuasaan. Apalagi karena mereka kan pada kaya raya. Ehm, memang wajar. Umur panjang dan hampir semua kebutuhannya nggak kayak kita. Jadi gimana mungkin mereka nggak kaya?"

Enggan sependapat, tetapi nyatanya Vika mengangguk. Dibenarkannya perkataan Aini dengan berat hati. Jadilah Aini tersenyum penuh bangga, mungkin merasa hebat karena telah membebarkan fakta tak terbantahkan.

"Mereka itu ya istilahnya kayak semacam kumpulan mafia dalam bentuk yang beda. Mereka ada, tempatnya di balik layar, dan punya kuasa. Macam-macam dengan mereka, kita bisa kehilangan nyawa."

"Berasa ngeri aku, Ni, dengar cerita kamu."

Aini terkekeh samar. "Ngeri sih ngeri, tapi ngerinya cuma kalau taring mereka keluar. Kalau nggak kelar kan nggak ngeri. Yang ada malah cakep."

Nah! Itulah hal yang tak habis dipikirkan oleh Vika selama ini. Mengapa semua vampir memiliki wajah rupawan dan fisik sempurna? Seolah-olah mereka tak punya cela.

"Iya sih. Saking mereka pada cakep, dulu aja pas zaman masih sekolah, aku dan teman-teman sering nuduh gitu. Kalau ada orang cakep dan kaya, fix! Dia pasti vampir," ujar Vika seraya geleng-geleng sementara Aini justru tertawa. "Udah ah. Nggak usah bahas soal vampir lagi. Aku baliknya beda jala sama yang lain, termasuk kamu. Ngeri aku."

"Bukan aku loh ya yang mulai. Kamu duluan yang nanya soal Rossa."

Vika tahu itu, tetapi ia sama sekali tidak mengira bila penyebab tidak masuknya Rossa malam itu ada hubungannya dengan vampir.

"Oke deh. Aku balik ke belakang dan kamu jangan manyun aja. Soalnya ...," ujar Aini dengan memasang ekspresi sok misterius. "... vampir suka sama cewek yang punya banyak tagihan."

"Asem!"

Aini tertawa dan buru-buru pergi dari sana sebelum Vika melempar kursi padanya. Jadilah sekarang Vika kembali seorang diri dan tak butuh waktu lama, ia pun kembali tenggelam dalam lamunan.

Walau aku memang lagi buntu dan putus asa, tapi astaga. Aku beneran nggak mau ambil risiko kayak Rossa. Ya kali jadi sumber makanan vampir.

Anehnya, sepeninggal Aini, Vika tetap tak bisa menyingkirkan perbincangan mereka tadi dari dalam benak. Berkat satu hal itu, rasa-rasanya otak di dalam sana terus berputar-putar.

"Banyak orang kepepet duit yang akhirnya memilih kerjaan itu."

Vika memejamkan mata dan menggeleng berulang kali. Nggak. Jangan mikir yang aneh-aneh, Vik. Kerjaan itu terlalu berisiko. Nyawa kamu bisa jadi taruhannya.

Akal sehat Vika terus mengingatka bahwa menjadi makanan simpanan vampir memiliki risiko yang tidak tanggung-tanggung dan bukti sudah terpampang jelas di depan mata. Rekan kerjanya masuk rumah sakit akibat nyaris kehabisan darah dan ia tahu bahwa kejadian itu tak bisa dituntut secara hukum. Sebabnya adalah mereka tak tersentuh hukum karena mereka adalah vampir.

Vampir, satu golongan berbeda dari manusia kebanyakan. Mereka tidak membutuhkan nasi ataupun karbohidrat untuk tetap hidup, melainkan kebutuhan mereka adalah darah. Hadirnya tercipta dalam sosok rupawan dan penuh pesona, tetapi memiliki sisi berbahaya yang membuat ngeri banyak pihak. Mereka kuat dan nyaris tak bisa dikalahkan. Jadilah wajar sekali bila mereka memiliki pengaruh yang membuar semua orang jadi tunduk.

Namun, layaknya makhluk yang berbeda maka mereka pun tertutup. Mereka memilih untuk tidak benar-benar berbaur dengan manusia, seolah mereka memiliki dunia sendiri.

Kerap dijuluki sebagai keindahan yang berbahaya, nyatanya terkadang mereka justru menjadi penolong beberapa orang. Salah satunya bila itu berkaitan dengan uang.

Vika membuang napas panjang. Dalam hati, diucapkannya terima kasih pada seorang pelanggan yang mendatanginya di saat tepat. Berkatnya, pemikiran mengenai vampir itu bisa dienyahkannya dari dalam benak.

"Terima kasih."

Vika mengembalikan kartu kredit itu pada sang pelanggan beserta dengan setruk pembayaran. Diberikannya senyum ramah berkat perkataan Aini yang masih segar di ingatan.

Kartu kredit dan setruk pembayaran berpindah tangan. Pria berambut putih itu memasukkan semuanya ke dalam saku celana dengan acuh tak acuh. Berniat untuk segera beranjak dari sana, adalah ucapan Vika yang kemudian menahan langkahnya.

"Ya namanya aja timbal balik."

Vika membuang napas panjang ketika menyadari bahwa dirinya kembali memikirkan hal yang sama. Topik mengenai vampir itu seperti tayangan televisi yang baru saja terjeda oleh iklan komersial.

"Vampir butuh darah segar dan manusia butuh dana segar."

Ironis, tetapi mau tak mau Vika sontak terkekeh karena mendengar perkataannya sendiri walau memang tak lama. Sebabnya adalah ada satu pertanyaan yang tiba-tiba saja terdengar sehingga ia pun kaget.

"Apa kamu mau dana segar?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top