3. Mau Keluar Lewat Mana?
Vika meninggalkan rumah dengan mengendarai motor butut yang didapatnya dengan pengajuan cicilan. Dilaluinya jalanan yang berudarakan dingin, ditembusnya pekat malam ketika hari sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kecepatannya tak terlalu tinggi mengingat masih ada satu jam lagi waktu yang tersisa sebelum jam kerjanya dimulai.
Sepanjang perjalanan dilalui dengan pikiran penuh. Beberapa kali Vika menarik napas dalam-dalam. Diharapkannya bahwa semua yang terjadi hari itu adalah mimpi belaka walau tentu saja mustahil. Tuhan tidak mungkin mendadak melenyapkan semua tagihan itu kan?
"Suntuk banget, Vik."
Vika menoleh sambil menutup pintu loker kerjanya. Dilihatnya seorang rekan kerjanya yang baru saja tiba, menyapa dirinya, namanya Aini Anggraini.
"Gimana nggak suntuk?" tanya Vika tanpa merasa perlu menutupi masalah yang sedang dihadapi. "Hari ini ada tiga tagihan baru yang aku dapatkan."
Semula, Aini berniat untuk segera beranjak dari loker untuk mengganti pakaiannya dengan seragam kerja, tetapi perkataan Vika membuatnya jadi mengurungkan niat. "Tiga tagihan?"
Iya," jawab Vika tersenyum kecut ketika melihat wajah horor Aini. "Mana totalnya nggak main-main. Nyaris tiga puluh juta."
Aini merasa lehernya seperti tercekik. "Shiiit!"
Vika mendengkus seraya mengunci lokernya, lalu beranjak dari sana. Di luar dugaan, ternyata Aini malah mengikutinya ketimbang melakukan niatannya semula.
"Kamu serius?"
Aini menahan langkah Vika. Jadilah cewek berambut ikal dengan kilau hitam itu menoleh padanya.
Vika mengangguk. "Serius banget kalau soal duit," ujarnya getir. "Delapan setengah juta buat biaya korban Aibal, enam juta buat biaya salon Mama, dan lima belas juta buat utang judi Papa."
Sepertinya bukan hanya leher yang mendadak seperti dicekik, melainkan Aini juga merasa jantungnya seolah dibetot lepas dari dalam sana. Ia sama sekali tidak mengira bila Vika kembali mendapat tagihan dalam jumlah besar.
"Ya Tuhan. Bagaimana mungkin? Terus itu tagihan semuanya harus kamu yang bayar?"
Napas Vika berembus berat. Wajahnya sayu dan pundaknya naik sekilas. "Mau gimana lagi? Cuma aku yang waras di rumah."
"Memang, tetapi uang sebanyak itu mau kamu dapatin dari mana?"
Pundak Vika turun seketika. Ia tampak tak berdaya seperti prajurit yang kalah perang. Pertanyaan Aini jelas adalah pertanyaan yang terus berputar di dalam kepalanya. "Kayaknya aku mau jual ginjal aja deh."
"Eh?" Aini terkesiap horor. "Kamu jangan aneh-aneh deh ya."
"Timbang aku jual bola mata kan?"
Aini meneguk ludah. "N-nggak gitu juga maksudnya, Vik, tapi—"
"Kalau mau cepet dapat duit ya udah sih, Vik, kamu ikutan kayak yang lain aja. Tiga puluh juta mah paling bisa kamu dapatkan dalam beberapa malam. Kamu kan lumayan cantik."
Ada satu suara yang memotong perkataan Aini. Sontak saja kedua cewek itu berpaling ke sumber suara. Dilihat oleh mereka kedatangan seorang wanita paruh baya.
"Mami."
Wanita berusai empat puluh dua tahun itu memiliki nama asli Yanisa. Nama kecilnya Yani dan sekarang memiliki nama profesi berupa Mami.
Yani mendekati Vika dan Aini. Dilihatnya dua orang cewek itu secara bergantian. "Sayang loh wajah cantik kalau nggak dimanfaatkan. Timbang jual ginjal atau bola mata kan?"
Vika tersenyum kaku. "Timbang jual diri, Mi."
Mata Yani membesar, tetapi ia memilih untuk tidak terprovokasi. "Kalau kamu jual ginjal otomatis kamu bakal kehilangan ginjal, Vik," ujar Yani tenang sembari tersenyum. "Beda kan kalau kamu jadi cewek penghibur? Memangnya diri kamu bakal hilang? Kan nggak sih."
Vika membuang napas panjang dan membalas senyum tersebut. Analogi tukang hipnotis.
"Makasih, Mi. Ntar aku pikir-pikir dulu ya. Sekarang aku masih mau siap-siap, keburu kelab buka."
Yani hanya mengangguk singkat dan membiarkan Vika berlalu dari sana. Tinggallah ia dan Aini berdua saja.
Aini dengan sigap langsung menangkap sinyal tak enak. Ia tahu bahwa dirinya akan jadi sasaran selanjutnya. Jadilah ia pun buru-buru berkata.
"Aku juga mau ganti seragam dulu, Mi. Dadah!"
Segera saja Aini kembali ke loker dan menyambar seragam kerja yang tergantung di sana. Ia bergegas ke kamar mandi sehingga membuat Yani melongo seorang diri.
"Ck! Gagal lagi deh dapat pemain baru."
*
Waktu terus berjalan. Vika mulai bekerja dengan cekatan. Dirapikannya meja dan kursi tanpa menghiraukan rekan kerjanya yang mengacak berbincang-bincang. Ia diam saja karena otaknya terus berpikir tanpa henti, mencoba untuk mencari cara agar ia isa mendapatkan uang tiga puluh juta dalam waktu dekat walau rasanya benar-benar mustahil.
"Dapetin duit segitu banyak dalam waktu dekat sama mustahilnya dengan kemungkinan aku mendadak ketemu sama Edward Cullen."
Beberapa pilihan muncul di benak Vika. Di antaranya adalah meminjam dengan bos tempatnya bekerja, meminjam dengan teman-temannya atau meminjam dengan—
Tunggu! Tangan Vika yang sedari tadi mengelap meja jadi berhenti bergerak. Wajahnya tampak masam.
Kenapa semua jalan keluarnya selalu pake kata 'minjam'? Apa nggak ada jalan keluar yang lain apa? Ck. Kalau minjam dengan orang lain mah namanya bukan jalan keluar, tapi gali lobang tutup lobang. Lobangnya tak perrnah hilang.
Tuh kan! Vika malah menyanyikan lagu dangdut saking pikirannya udah stres banget.
Vika beranjak setelah tugasnya merapikan meja dan kursi telah selesai. Sekarang saatnya ia kembali ke posisi semula, yaitu berdiri di balik meja kasir.
Masih ada waktu beberapa menit sebelum kelab dibuka. Vika menyalakan komputer dan mengecek laci uang, lalu malah duduk bertopang dagu.
Bahkan kalau aku mau jadi pencuri, terus ngambil duit di meja kasir, tetap aja nggak bisa buat semua utang aku lunas. Lagian kebanyakan orang udah bayar pake kartu kredit dan debit. Ya kali ada yang bayar pake duit recehan.
Sebenarnya masih ada yang membayar tunai, tetapi itu jarang sekali. Uang fisik sepertinya tidak efisien bila dibawa ke tempat seperti itu.
"Kamu beruntung duduk di meja kasir. Kalau kamu jadi pelayan, pasti kamu udah dapat komplain dari tadi."
Aini datang lagi. Didekapnya nampan bulat di depan dada. Ia putuskan untuk beristirahat sejenak di meja kasir setelah mengantarkan pesanan.
Vika melirik acuh tak acuh. "Seenggaknya aku masih punya sedikit keberuntungan di dunia ini."
Wajah Aini langsung berubah, khawatir kalau perkataannya barusan telah menyinggung perasaan Vika. Ia membuka mulut, berniat untuk meminta maaf, tetapi Vika justru lanjut bicara dengan nada berbeda.
"Eh! Ngomong-ngomong dari tadi aku nggak lihat Rossa. Ke mana dia? Cuti lagi?"
"Wah!" kesiap Aini dengan lega, tampaknya Vika tidak tersinggung sama sekali. "Ternyata kamu perhatian juga ya walau dari tadi kamu keliatan bengong aja."
Vika mencibir. "Aku nggak terlalu bengong. Eh, tapi serius deh. Dari tadi aku belum ada lihat Rossa ngantar pesanan. Apa dia nggak masuk?"
Aini menggeleng karena ada sedikit hal yang perlu diralat dari pertanyaan Vika. "Dia nggak masuk lagi."
"Ehm. Sakit lagi?"
Aini mengangguk. "Sakit bukan sembarang sakit."
"Memangnya sakit apa? Parah ya?"
Kali ini Aini tidak menggeleng ataupun mengangguk, melainkan is justru mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dipastikannya bahwa saat itu situasi dalam keadaan aman dan hal tersebut justru membuat Vika jadi bingung.
"Kenapa sih?"
Bertepatan setelah Vika melayangkan pertanyaan itu, Aini pun menarik pundaknya. Jadilah ia menunduk dan Aini berbisik di telinganya.
"Katanya Aini masuk rumah sakit gara-gara kekurangan darah."
Vika mengerjap. "Anemia akut?"
"Bukan."
"Terus?"
Aini kembali melihat sekeliling. Diamatinya keadaan dengan lebih saksama, pada suasana remang-remang yang diselipi oleh kelap-kelip lampu kelas. Orang-orang di sana tampak bersenang-senang dengan diiringi lantunan musik yang menghentak dan bersama alkohol yang memabukkan.
"Dengar-dengar sih katanya darah Rossa nyaris habis karena vampir."
Vika memelotot. "Hah?! Kamu serius?"
Aini membalas pelototan Vika. "Serius. Soalnya dia butuh duit untuk operasi jantung suaminya dan sepanjang yang aku tau, katanya sih dia memang udah lama kerja sampingan gituan."
Jawaban Aini membuat Vika bergidik. Bulu kuduknya meremang semua, tetapi tak ayal ia tetap bertanya demi memastikan.
"Jadi makanan simpanan vampir?"
Aini mengangguk dan Vika meneguk ludah. Sadar atau tidak, tetapi pastinya Vika langsung memegang lehernya.
"Astaga. Ternyata bukan cuma ginjal dan bola mata saja yang bisa jadi sumber duit. Darah pun bisa."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top