24. Lain Omongan Lain Tindakan
"Kenapa Tuan nggak mencari orang lain saja? Seenggaknya yang lebih normal dibandingkan dengan Mbak Vika?"
Rasa-rasanya Arjuna perlu membuka buku sejarah keluarganya untuk mengecek apakah vampir bisa merasa pusing. Soalnya ia berani bersumpah bahwa sekarang kepalanya berdenyut-denyut.
"Kalau saja saya nggak terlanjur puasa enam bulan gara-gara Cindy, saya juga nggak mau milih Vika," ujar Arjuna tak berdaya. Wajahnya tampak amat nelangsa. "Saya nggak bisa bertahan lebih lama lagi, Krisna. Bisa-bisa saya hilang akal dan malah menyerang warga sipil di luar sana."
Krisna terdiam, ucapan Arjuna memang benar. "Memang, tapi dia benar-benar ...." Ia tak menuntaskan perkataannya, melainkan ia membuang napas panjang. Lalu ia tersenyum dengan ekspresi penuh pemakluman. "Semoga saja tidak butuh waktu lama untuk dia jinak, Tuan."
Arjuna mengangguk. "Iya dan saya berharap semoga saja dia bisa jinak sebelum jadwal-jadwal penting saya datang. Saya benar-benar nggak bisa membayangkan kalau saya harus ke mana-mana dengan membawa dia yang masih liar begitu. Ehm. Bisa-bisa dia buat kekacauan di mana-mana."
Tangan Arjuna naik satu dan mendarat di atas meja dengan bertumpu pada siku. Ia diam sejenak dan membayangkan bila harus menghadiri perjamuan luar negeri bersama Vika. Bagaimana bila Vika tiba-tiba membuat kehebohan? Entah ia yang mendadak mengelus dada orang, tanpa malu mencari alasan untuk mencium orang, atau melakukan hal memalukan lainnya.
Oh, tidak! Hanya membayangkannya saja sudah membuat Arjuna bergidik, apalagi kalau itu benar-benar terjadi?
"Saya juga harap begitu."
Pembicaraan Arjuna dan Krisna berakhir sesaat kemudian. Setelahnya Krisna pamit pergi dan tinggallah ia seorang diri di ruang kerja. Jadilah keheningan yang tercipta membuatnya jadi terpikir Vika kembali.
"Vika. Vika. Aku jadi heran, selama ini dia makan apa ya?" tanya Arjuna pada diri sendiri. Dahinya mengerut dan ia tampak benar-benar penasaran. "Kok bisa ada manusia seperti dia?"
*
Bila ditanya selama ini Vika makan apa, tentu saja jawabannya hanya satu, yaitu.
"Aku makan segalanya."
Gendhis tersenyum sembari mengangguk sekali. "Baiklah, Mbak. Karena Mbak nggak ada pantangan, jadi saya bisa bebas buat siapin makanan untuk Mbak."
"Iya, tenang saja. Hidup aku tuh simpel. Asal bisa makan, wah! Nggak peduli semur ayam atau semur daging, sop ayam atau sop daging, steak ayam atau steak daging, semuanya bakal aku makan. Kalau kamu nggak percaya, bawa saja semua makanan itu kemari. Pasti aku makan sampai habis."
Gendhis melongo ketika Vika menutup ucapannya dengan tawa. Jadilah ia mendeham sejenak. "Tenang, Mbak. Saya percaya kok. Jadi, saya permisi."
Kepergian Gendhis membuat Vika mencibir tipis. "Kirain dia nggak percaya dan mau bawa semua makanan itu kemari. Ehm. Gagal deh makan enak sekaligus."
Vika membuang napas panjang dan itu adalah hari keduanya berada di rumah Arjuna. Jadilah ia memutuskan untuk menjelajah, melihat ke sana dan kemari. Dilihatnya keadaan sekeliling dengan mata membesar karena takjub. Tak henti-hentinya ia memuji keindahan rumah Arjuna yang berbalut nuansa tradisional dan menampilkan kesan yang sangat apik nan cantik.
Rumah Arjuna nyaris didominasi oleh kayu, tentunya kayu bukan sembarang kayu. Kayu itu jelas mahal dan kuat. Bahkan hanya dengan menyentuhnya saja Vika bisa merasakan aura uang di mana-mana.
Langkah Vika terhenti seketika. Sesuatu melintas di benaknya. "Pantas saja rumahnya terbuat dari kayu. Biar nggak mudah ambruk kalau ada gempa dadakan? Gitu?"
Vika melanjutkan tur rumah. Terus dikelilinginya rumah Arjuna dengan seorang diri hingga ia menemukan satu kolam renang. Di sekitarnya ada tanaman asri dan airnya terlihat biru menyegarkan. Jadilah ia mengingat diri, ia harus mencoba kolam itu suatu saat nanti.
Sesaat berlalu dan Vika merasa bahwa melakukan tur rumah lumayan melelahkan juga. Mungkin juga itu adalah efek dari darahnya yang diisap Arjuna. Jadilah kakinya mendadak goyah dan ia buru-buru berpegangan pada dinding saat berjalan.
"Kamu nggak apa-apa?"
Vika terlonjak horor. Matanya memelotot kaget ketika melihat Arjuna yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya. "Astaga, Mas! Mau kehilangan makanan simpanan? Kok buat orang kaget sih? Jangan suka datang tiba-tiba."
Arjuna tidak bermaksud demikian, tetapi perasaannya tak enak dan jadilah ia segera bergegas. Ternyata instingnya benar, Vika terlihat memucat.
"Mas kan vampir, bukan jailangkung. Jadi, nggak perlu pake acara datang dengan tiba-tiba."
Arjuna membuang napas. "Terus saya harus datang pakai pengumuman? Lagi pula ini rumah saya."
Vika bengong sejenak, lalu mengerjap dengan ekspresi geli. "Ah! Benar juga sih."
Arjuna mengabaikan cengiran Vika, melainkan diamatinya keadaan Vika dengan saksama. Jadilah ia melihat tangan dan kaki Vika gemetaran, bibirnya juga memucat.
Seharusnya Arjuna menyadari bahwa walau Vika gila, tetapi bukan berarti tubuhnya adalah tubuh manusia super. Ia baru saja kehilangan darah dalam jumlah yang tak sedikit, jadi bisa dipastikan tubuhnya belum pulih seutuhnya.
"Kamu mau ke mana? Mau ke kamar kamu?"
Vika membuang napas. Tangannya masih bertahan pada dinding. "Iya dong, Mas. Saya mau ke kamar saya. Masa saya mau ke kamar Mas sih," ujarnya sambil melirik dan dilihatnya semburat merah di pipi Arjuna. "Memangnya boleh, Mas? Kalau boleh sih saya juga nggak bakal nolak."
Arjuna mendeham dan berusaha menjaga ekspresinya. Dipindahkannya fokus pikirannya dan ia bertanya dengan mata menyipit, merasa penasaran. "Saya mau tau. Apa sehari-harinya kamu memang begini? Kamu suka menggoda semua cowok?"
Bibir pucat Vika manyun. "Nggak ada, Mas. Memangnya Mas pernah lihat saya godain siapa sih? Mas Krisna? Ck. Saya kan sudah bilang kalau itu tadi salah ngomong. Kok masih aja ngeyel sih?"
"Saya tidak bermaksud begitu," ujar Arjuna dengan salah tingkah. Ucapan Vika berhasil membuatnya merasa menjadi vampir yang tak dewasa saja. Harga dirinya jatuh. "Saya nanya cuma untuk memastikan kalau kamu nggak bakal macam-macam selama tinggal di sini."
Vika mengangguk beberapa kali. "Iya, Mas, iya. Tenang aja. Pokoknya saya nggak bakal macam-macam di sini. Kalau saya mau macam-macam, saya bakal keluar bentar."
"Berarti kamu ada rencana untuk macam-macam?"
"Apa di kontrak kerja ada larangan saya nggak boleh macam-macam, Mas?" tanya Vika sembari mengingat. "Kayaknya nggak ada deh."
Memang tidak ada, tetapi bukan berarti Arjuna akan membiarkannya. "Kamu jangan sembarangan keluar dan masuk rumah ini. Kalau mau keluar ..." Ia menunjuk hidung Vika. "... harus izin saya."
"Ih! Bapak saya bukan, kakak saya bukan, tapi harus izin segala." Vika melirik kembali dan ia tersenyum kecil. "Atau Mas ini calon suami saya?"
Jari Arjuna yang semula berada di depan hidung Vika perlahan naik. Ditekannya dahi Vika sehingga ia memejamkan mata.
"Kayaknya kamu belum sembuh. Jadi, lebih baik kamu istirahat sebelum gila kamu semakin parah."
Tuntas bicara, Arjuna langsung beranjak. Vika membuka mata dan mengusap dahi. Untuk sesaat, ia bergeming sembari terus melihat Arjuna yang melangkah dengan satu tangan yang masuk ke dalam saku celana. Lalu mendadak saja ia tersenyum malu-malu.
"Ehm. Kayaknya sih galak, tapi Mas Arjuna ini perhatian banget deh sama aku."
Sedetik berselang, Vika mendengar suara Arjuna menggema.
"Saya dengar loh apa yang kamu bilang."
Vika buru-buru menutup mulut. "Ups!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top