22. Namanya Juga Cobaan Orang Waras
"Maaf, Mas. Omongan saya mungkin agak ngelantur." Vika buru-buru minta maaf berkat ekspresi melongo Krisna. Jadilah ia merasa tak enak juga. "Nggak usah dilupain ya?"
Eh? Krisna mengerjap. Begitu juga dengan Vika. Jadilah ia kembali meralat perkataannya dengan cengar-cengir.
"Maksudnya nggak usah dipikirin."
Krisna meringis. "Ah! Iya iya iya. Tenang saja. Pasti nggak bakal saya pikirkan kok."
Ada banyak hal yang harus Krisna pikirkan. Otaknya tak ada tempat menganggur untuk diisi dengan perkataan Vika. Aku juga ogah sekalipun dia nyuruh aku mikirin omongan dia. Mungkin lebih baik aku mikir ikan itu sebenarnya tidur atau nggak.
Sekarang Krisna berniat untuk segera beranjak dari sana. Dikhawatirkannya bila Vika kembali mengatakan hal aneh. Terlebih lagi perkataan Arjuna menjadikannya was-was. Kasihan. Padahal kelihatan seperti normal, tapi ternyata nggak.
Krisna meraih tas kerja. Kali ini ia bangkit dan berencana untuk mengucapkan permisi. Namun, Vika mengulurkan tangan dan menahan tas kerja Krisna yang belum benar-benar terangkat dari meja.
"Mas, bentar."
Sejujurnya Krisna merasa enggan, tetapi ia tak punya pilihan lain. Jadilah ia mencoba untuk bersabar. Yang waras harus sabar hadapin yang nggak waras.
Krisna tersenyum. "Ada apa, Mbak Vika?"
"Ada yang mau saya tanyain, Mas," jawab Vika kemudian. "Duduk dulu deh. Kali ini saya benar-benar mau menanyakan hal penting."
Terpaksa, Krisna pun kembali duduk. Di dalam hati, ia menggerutu. Semoga nggak nanyain yang aneh-aneh deh.
Krisna menyisihkan tas kerja. Ekspresinya tampak ramah seperti biasa. "Apa yang mau Mbak Vika tanyakan?"
Vika tak langsung melayangkan pertanyaannya, melainkan ia melihat sekeliling terlebih dahulu. Dipastikannya bahwa tak ada orang lain yang akan mendengar pembicaraan itu, selain mereka.
Krina menangkap sesuatu yang mencurigakan. Tebakannya benar ketika Vika bertanya.
"Mas, apa benar kalau gempa itu adalah bentuk kemarahan Mas Arjuna?"
Ekspresi Krisna berubah. Ia tampak memucat dan jadilah Vika langsung teringat respons Gendhis tadi.
Vika menyadari bahwa Krisna dan Gendhis memberikan reaksi yang sama ketika ia membahas perihal gempa. Astaga, naga-naganya memang benar ya?
Vika meneguk ludah. Diputuskannya untuk tidak benar-benar ingin mendengarkan jawaban bila itu adalah jawaban yang tidak diinginkannya. Namun, Krisna sudah keburu mengangguk, berikut dengan memberi penjelasan yang membuat bulu kuduk Vika merinding.
"Memang dan seingat saya, Tuan Arjuna adalah orang paling sabar dan lembut yang pernah saya temui. Tuan Arjuna itu jarang marah. Bahkan nyaris nggak pernah marah."
Agaknya Arjuna memang persis seperti Arjuna yang sering diceritakan dalam kisah pewayangan. Diberkahi wajah tampan dan memiliki sikap penuh budi pekerti. Jadilah marah merupakan hal yang nyaris tak pernah dilakukannya.
"Sebisa mungkin Tuan Arjuna selalu bersabar dan memaafkan siapa pun yang berbuat salah. Terakhir kali saya melihat Tuan Arjuna marah hingga menimbulkan gempa adalah ...." Krisna berusaha mengingat dan itu sangat susah lantaran saking jarangnya Arjuna marah. "Ah! Saat Tuan Arjuna melihat ada seorang bapak yang memukul istrinya. Waktu itu kami sedang dalam perjalanan ke kantor."
Sebulir keringat dingin timbul di dahi Vika, tetapi ia mencoba tenang dan tetap berpikir positif. "I-itu kan bisa saja memang gempa bencana alam. Bu—"
"Memangnya gempa bencana alam bisa terjadi di tempat bapak itu saja?" tanya Krisna memotong perkataan Vika dengan cepat. Lalu ia menggeleng. "Gempa itu terjadi hanya di tempat bapak itu berdiri. Dia langsung amblas ke dalam tanah."
Kali ini bukan lagi sebulir, melainkan berbulir-bulir keringat dingin telah memenuhi dahi Vika. Bahkan punggungnya pun mulai terasa basah. Astaga. Jangan sampe aku pipis di celana. Aku kan nggak pake pembalut.
Krisna mengatakan yang sebenarnya dan tanpa ada kebohongan atau sesuatu yang dilebih-lebihkan. Hanya saja ia mendadak terpikir sesuatu setelah menceritakan hal tersebut. "Mbak."
Vika tersentak. Ia gemetaran dan bibirnya telah berubah warna, dari pink-pink manja menjadi pucat-pucat mayat. "A-apa, Mas?"
Mata Krisna menyipit. Dahi mengerut ketika satu kemungkinan melintas di benak. Dicobanya untuk menampik hal tersebut, tetapi ekspresi takut Vika justru memberatkan dugaannya. "Jangan bilang kalau Mbak buat Tuan Arjuna marah."
Vika benar-benar nelangsa. Sebenarnya, ia tidak takut dengan kemarahan Arjuna. Lagi pula siapa sih orangnya yang bisa membuat ia takut? Bahkan penagih utang bersenjatakan buldoser pun tak mampu membuat ia takut. Jadi, bisa dikatakan bahwa takut akan kemarahan bukan levelnya lagi. Hanya saja ....
Gimana kalau aku dipecat? Masa darah udah diisap sekali, eh ... duitnya nggak dapat.
Di lain pihak, respons diam Vika justru membuat Krisna semakin yakin dengan dugaannya. Jadilah sekarang ia hanya bisa geleng-geleng. Mimik wajahnya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi.
"Memangnya apa yang sudah Mbak Vika lakukan sampai membuat Tuan Arjuna marah?" tanya Krisna lagi, sedikit penasaran. "Setahu saya, Tuan Arjuna itu adalah cowok paling sabar."
Vika menggeleng sekali. "Saya nggak tahu. Tiba-tiba saja ada gempa. Mana sudah dua kali lagi."
"Hah?!" Krisna memelotot dengan amat syoknya. "Dua kali?!" tanyanya cepat dan Vika mengangguk. Jadilah ia terengah-engah. "Astaga! Ini nggak bisa dianggap main-main, Mbak. Kalaus sudah dua kali, itu artinya Mbak benar-benar telah menyinggung hal sensitif Tuan Arjuna. Coba diingat-ingat dulu, sekiranya apa yang Mbak lakukan sampai bisa membuat Tuan Arjuna marah? Biar Mbak bisa menghindarinya."
Ucapan Krisna sangat ampuh dalam membuat ketakutan akan pemecatan semakin berputar-putar di benak Vika. Jadilah ia gemetaran sampai ke ujung kaki dan sekarang, ia berusaha mengingat. Sayangnya, ia tak merasa telah melakukan satu kesalahan pun.
"Saya benar-benar nggak melakukan kesalahan apa-apa, Mas."
Tentunya, Krisna tak percaya. Apalagi karena ia pun telah mengetahui bahwa Vika sedikit gila. Jadilah ia yakin sebenarnya Vika memang melakukan kesalahan, tetapi ia tak sadar bahwa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan.
"Seingat saya gempa yang pertama itu terjadi di kantor Pak Bobon. Waktu itu saya baru bertemu dengan Mas Arjuna," ujar Vika sembari mengerutkan dahi. Ia mencoba mengingat kejadian tersebut. "Mas Arjuna ngomong sesuatu yang nggak saya mengerti."
Krisna menyipitkan mata. "Apa?"
"Njing njing apa gitu."
Krisna memutar bola mata dengan dramatis. "Sugeng enjing?"
"Nah!" seru Vika semringah. Ia mengangguk. "Iya, sugeng enjing. Saya kan nggak tau bahasa itu, tapi walau nggak tau, tetap saja saya muji Mas Arjuna. Saya bilangin dia keren karena bisa bahasa Yunana."
"A-apa?"
"Setelah itu mendadak saja ada gempa di kantor Pak Bobon walau nggak lama sih," lanjut Vika tanpa menyadari bahwa Krisa tak bergerak sedikit pun di kursinya. Diangkatnya wajah dan ia pandangi langit-langit. "Terus pas semalam. Kami ngobrol biasa saja. Terus pas saya minta sama Mas Arjuna untuk nggak pake bahasa Yunani lagi, eh mendadak ada gempa lagi. Makanya saya jadi heran. Padahal sebelumnya Mas Arjuna sudha janji mau nurutin apa pun permintaan saya, tapi kok dia malah marah sih?"
Tuntas bicara panjang lebar, Vika membuang napas sembari menurunkan kembali wajah. Lalu dilihatnya Krisna yang megap-megap dengan kedua tangan yang memegang leher. Sontak saja ia menjadi syok dan panik.
"Mas! Mas!" Vika segera bangkit dan menghampiri Krisna. Dilihatnya Krisna kesulitan bernapas. "Aduh! Mas kenapa?"
Kepanikan Vika semakin menjad-jadi. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Krisna. Daftar masalahnya bisa bertambah!
Vika memaksa otak untuk berpikir. Keadaan Krisna semakin lama semakin memprihatinkan. Untungnya, ia mendapatkan ide di waktu yang tepat.
Vika meraih Krisna. Ditatapnya Krisna walau mata Krisna tampak tak fokus. Ia bertekad akan menyelamatkan Krisna.
"Mas, tenang. Saya akan membantu Mas dengan ..." Vika tersenyum penuh arti. "... ciuman buatan!" Ia mengerjap, lalu buru-buru meralat. "Eh! Maksudnya, napas buatan!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top