2. Kebiasaan Yang Tak Biasa

Braaak!

Suara pintu yang ditutup dengan bantingan itu membuat para tetangga yang mengerubungi rumah Vika sontak geleng-geleng dengan kompak. Anehnya, mereka tampak tak terkejut sama sekali. Ekspresi semuanya menunjukkan pemakluman untuk hal yang ternyata telah mereka saksikan berulang kali selama ini.

"Ck. Sebenarnya dibandingkan dengan masalah yang terus datang ke Vika, aku lebih kasihan melihat penderitaan pintu itu."

"Setiap kali ada masalah, sudah pasti pintu yang kena banting."

"Aku jadi penasaran, kira-kira kapan rumah itu bakal roboh kalau setiap hari jadi pelampiasan kemarahan Vika?"

Di dalam rumah, Vika bukannya tidak mendengar bisik-bisik tetangganya itu. Jelas saja ia mendengar, tetapi ia tak memedulikannya. Karena memang demikianlah kenyataannya.

"Argh! Ke mana kau harus nyari duit segini banyaknya?"

Ketimbang memikirkan bisik-bisik tetangga, Vika lebih memilih memikirkan uang yang harus dibayarnya pada Rustina untuk biaya rumah sakit Ari yang babak belur karena dihajar oleh adik sematawayangnya.

"Delapan juta lima ratus ribu rupiah?"

Vika membaca total tagihan yang ada di tangan dan tawanya pun berderai dengan ironis. Diliriknya lembaran kertas lain yang ada di atas meja ruang tamu, lalu diambilnya.

"Delapan juta itu baru tagihan rumah sakit korban korban Aibal. Belum termasuk dengan enam juta tagihan salon Mama. Juga belum ditambah dengan lima belas juta tagihan utang judi Papa."

Sontak saja kedua tangan Vika meremas semua lembar tagihan tersebut. Matanya memejam dramatis dan geraman menggema di pangkal tenggorokan.

"Apa mereka nggak bisa duduk diem manis di rumah aja ketimbang keluar cuma untuk ngebuat tagihan-tagihan ini datang ke rumah?!"

Tak butuh waktu lama untuk semua tagihan itu berubah bentuk menjadi bola kertas. Vika membantingnya dengan geram di lantai demi melampiaskan emosi.

"Keluar semuanya!"

Bentakan Vika kembali pecah. Gelegarnya menggetarkan udara seperti akan meruntuhkan langit-langit rumah.

"Aku bilang keluar! Nggak usah pura-pura tidur atau semacamnya. Keluar sekarang juga atau aku siram itu kasur dengan air!"

Vika mendengar derik halus tak lama setelah ancaman itu meluncur dari bibirnya. Langsung saja lirikannya menuju pada dua kamar yang pintunya terbuka dengan perlahan. Dari sana, keluar tiga orang dengan wajah menunduk.

Rahang Vika mengeras. Matanya menatap tajam, lalu ditunjuknya lantai.

"Duduk!"

Mereka adalah orang tua dan adik kandung Vika yang ketika mendengar perintah tersebut maka langsung melakukannya. Ketiganya duduk berjajar di lantai sementara Vika duduk di kursi.

Vika tak langsung bicara, melainkan diberikannya terlebih dahulu tatapan berang. Kemarahan benar-benar berkobar di matanya, persis seperti nyala api yang disiram oleh berliter-liter bensin.

"Kalian mau buat aku sengsara sampai kapan sih? Kalian masih belum puas buat aku banting tulang untuk bayar semua tagihan selama ini? Bisa-bisanya kalian semua kompak membuat masalah lagi?!"

Tak ada yang menjawab. Mereka justru semakin dalam menundukkan kepala, tak ubah anak-anak yang sedang dimarahi oleh orang tua. Walau ups! Di sini ada yang berbeda. Nyatanya pasangan suami istri itu justru dimarah oleh anak kandung mereka sendiri."

"Vika."

Vika segera berpaling pada sang ibu yang entah mendapatkan keberanian dari mana untuk buka suara. Diberikannya tatapan tajam dan jadilah ibunya meneguk ludah.

"Apa, Ma?" tanya Vika sengit tanpa memedulikan kalau sang ibu tengah menekan rasa takut karena sikapnya. "Mau ngomong apa? Mau pamer warna baru rambut Mama?"

Sang ibu yang bernama Lestari pun meringis samar. Ia menggeleng sekali dengan kedua tangan yang naik di depan dada. "N-nggak, Nak. Nggak kok. Mama cuma mau ngomong kalau Mama minta maaf."

Vika terdiam untuk sejenak. Lalu ditunjuknyalah bola kertas tagihan di atas lantai. "Apa maaf Mama bisa dipake untuk bayar tagihan itu? Bisa nggak?"

Lestari kicep seketika. Rasa-rasanya ia jadi menyesal karena bicara. Dalam hati, ia pun merutuk, seharusnya ia diam saja.

"Memangnya apa sih yang Mama pikirkan sampe-sampe Mama pergi ke salon dan perawatan segala macam? Mana pake acara ngecat rambut. Padahal beras di rumah aja udah habis! Memangnya Mama lebih butuh cantik ketimbang makan?!"

Mata Lesti sontak memejam. Agaknya bentakan Vika memiliki tenaga dalam yang bisa membuat ia tersentak sehingga ia butuh bantuan sang suami di sebelahnya untuk menahan tubuhnya.

"Vika! Kamu itu nggak ada sopan santun sama sekali sama orang tua!"

Vika beralih pada sang ayah yang bernama Suharjo. Dilihatnya Harjo yang berusaha menenangkan Lestari dan itu justru membuatnya berang. "Terus Papa gimana? Apa Papa ada sopan santun? Udah habisin duit buat judi, eh terus utangnya malah aku yang suruh bayar? Iya? Itu sopan santun?"

Sekarang justru Harjo yang meneguk ludah karena pertanyaan Vika. Tak pelak lagi, jadilah ia buru-buru tutup mulut. Alih-alih menjawab, ia lebih memilih untuk mengelus punggung Lestari saja.

"Kamu juga, Aibal!" bentak Vika pada sang adik. "Kalau kau memang hobi berantem, lebih baik kamu ikut tarung gelap sana! Timbang kamu mukulin anak orang dan nggak dapat duit, mending kamu jadi petarung jalanan! Pasti dapat duit! Bukannya malah buang-buang duit aku!"

Aibal Ghandy yang telah berusia dua puluh empat tahun itu juga memilih untuk diam saja. Dipikirnya terlalu berisiko bila ia membalas perkataan Vika. Ia tak ingin gegabah seperti ibu dan ayahnya. Lihatlah mereka, bicara sedikit dan hasilnya malah semakin dibentak oleh Vika.

"Kalian pikir aku itu dapat duitnya metik dari pohon? Jadi, sesuka kalian untuk buat masalah di luar sana?!"

Vika bangkit dari duduk. Tangan berkacak di pinggang dan aura membunuh sontak menguar dari tubuhnya. Dibuatnya Lestari, Harjo, dan Aibal makin tak berkutik.

"Memangnya susah ya diam saja di rumah? Harus banget ya kalian pergi keluar sana cuma untuk buat masalah? Apa kalian nggak bisa hidup sehari saja tanpa buat masalah untuk aku?"

Tak ada lagi suara yang Vika dapatkan kali ini. Semua diam dan tak ada yang membalas perkataan Vika.

Namun, diam itu tentunya tak membuat kemarahan Vika mereka. Sebaliknya, ia justru merasa dadanya jadi sesak.

"Kalian kalau memang mau buat aku sengsara sampe aku mati, lebih baik bilang aja terus terang," lanjut Vika sambil membuang napas kasar. Disugarnya rambut dengan kesal. "Karena kalau iya, lebih baik kalian bunuh saja aku sekarang! Nih!" Ia menepuk badannya sekali. "Biar organ dalam aku bisa dijual. Biar kalian bisa puas berjudi, ke salon atau mukulin anak orang!"

Masih tak ada yang bersuara. Mereka tetap memilih diam sehingga Vika pun semakin kesal. Jadilah ia menjerit sekuat tenaga untuk meluapkan semua kekesalan dan emosi yang membuat dadanya terasa sesak.

Lestari, Harjo, dan Aibal kompak menutup telinga masing-masing. Pun tak perlu diragukan lagi, pastilah tetangga di luar sana juga melakukan hal seruap.

Tuntas mengeluarkan emosi dalam bentuk jeritan bernada tinggi, Vika menarik napas dengan terengah-engah. Dihentakkannya kaki di lantai, lalu ia beranjak dari sana. Ia pergi ke kamar dan melakukan pelampiasan andalannya, yaitu membanting pintu dengan sekuat tenaga.

Astaga! Mereka sontak melihat ke atas, tepatnya pada langit-langit rumah yang tampak berrgetar.

"Se-sepertinya rumah ini memang bakal roboh sebentar lagi."

Lestari dan Aibal sama-sama melihat pada Harjo. Ekspresi mereka berubah ngeri ketika membayangkan bila harta satu-satunya yang mereka miliki akan hancur dalam waktu dekat. Mereka akan tinggal di mana?"

Sayangnya Vika sama sekali tidak peduli lagi. Mau rumah itu benar-benar roboh atau bahkan bila kiamat datang mendadak, ia tak ambil pusing sama sekali.

"Mereka pada nggak mikir apa? Hidup sudah segini beratnya, eh mereka malah buat hidup aku jadi makin lebih berat lagi," keluh Vika sembari membanting tubuh di kasur. Kemarahannya belum reda sedikit pun. "Mereka pikir kehidupan mereka saja yang harus aku perrhatikan? Aku juga punya kehidupan sendiri. Aku juga mau fokus dengan kehidupan aku sendiri. Aku juga mau kayak cewek lain yang di usia tiga puluh itu sibuk mikirin cowok cakep, bukannya malah sibuk mikirin tagihan keluarga!"

Saking geramnya, Vika sampai memukul-mukul kasur. Diluapkannya emosi, tetapi anehnya ia tak kunjung merasa tenang.

"Ini boro-boro mau nikah, cowok juga pasti nggak ada yang mau dekat-dekat dengan cewek yang penuh dengan lilitan utang. Bahkan aku juga yakin. Semisalnya aku open BO, pasti nggak ada seorang cowok pun yang mau. Soalnya mereka takut keciprat kena tagihan utang juga!"

Anehnya, mendadak saja bayangan itu muncul di benak Vika. Dibayangkannya ia tengah bersama dengan seorang cowok yang memesan jasanya. Mereka bergumul di atas tempat tidur, tetapi bukan percakapan nakal nan sensual yang terjadi, melainkan ....

"Oh, no! Oh, no! Kamu punya utang? Sial! Kata terkutuk itu ngebuat aku nggak bisa keluar!"

Hubungannya? Stres mempengaruhi ejakulasi!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top