19. Ini Baru Cowok
Arjuna bersedekap dan menyandarkan punggung di kursi. Dilihatnya Vika yang tengah tertidur pulas tanpa kedip sama sekali. Vika tampak nyenyak dan damai, tak terlihat seperti orang yang baru saja mendonorkan darahnya pada seorang vampir.
Sekilas melihat maka tak akan didapatkan perbedaan pada Vika, selain fakta bahwa ia lemas. Namun, infus yang menancap telah menunjukkan pengaruhnya. Wajahnya yang semula pucar berangsur mencari cerah kembali. Arjuna tau, ia mulai pulih.
Selain itu, berbekal pendengarannya yang amat tajam, Arjuna pun bisa mendengar detak jantung Vika yang kembali stabil. Jadilah sekarang yang perlu dilakukannya adalah menunggu Vika bangun. Ia perlu memastikan Vika baik-baik saja.
Waktu berlalu dan jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana di kediaman Arjuna telah hening, bukti nyata bahwa semua penghuninya telah beristirahat semua, kecuali ia seorang.
Arjuna menunggu bersama dengan satu buku di pangkuan. Ia tampak santai hingga indranya menangkap pergerakan samar Vika. Jadilah ia menegang seketika dan buru-buru menaruh buku di meja. Dihampirinya Vika dan ia mendengar erangan samarnya. Di dalam hati, ia pun berdoa. Semoga saja dia nggak meracau yang aneh-aneh.
Arjuna menyentuh Vika dengan hati-hati. Ia berusaha mencegah Vika yang menggeliat ke sana dan kemari karena khawatir dengan jarum infus.
"Vika."
Vika mengerjap sekali, lalu melihat Arjuna dengan dahi mengerut. Jadilah Arjuna terpikir sesuatu.
"Apa masih silau?"
Vika berusaha bangkit dan Arjuna membantunya. Lalu didapatinya Vika mengangguk.
"Masih silau sih, tapi kayaknya mata saya mulai terbiasa," jawab Vika sembari menyandarkan punggung di kepala tempat tidur setelah berhasil duduk. Dilihatnya keadaan sekitar, lalu jadilah ia kebingungan. "Ngomong-ngomong, ini di mana ya?"
Vika baru menyadari bahwa kamar tempatnya berada saat itu bukanlah kamarnya di kantor CV ADAD. Kamar itu tampak berbeda dengan kesan tradisional yang kental sekali. Menurutnya, kamar itu memiliki desain seperti kamar di rumah adat.
"Ini di rumah saya."
Bola mata Vika membesar, kaget. "Di rumah Mas? Yang bener aja."
"Memang bener."
Mulut Vika membuka, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar dari sana. Ia diam dan otaknya berpikir, tetapi ia tak yakin.
"Kamu benar."
Vika tersentak. "Eh? Apa, Mas? Apanya yang benar?"
"Saya nggak jadi nolak kamu."
Mata Vika kembali membesar. "Ma-maksudnya?"
"Saya terima kamu."
Mata Vika semakin membesar. "Jadi apa"
Arjuna bingung. "Maksudnya jadi apa?"
Vika beringsut dan mendekati Arjuna. "Ya jadi apa? Jadi makanan simpanan atau ..." Matanya mengedip sekali. "... wanita simpanan?"
Sontak saja Arjuna bangkit dari duduk. Diraihnya tangan Vika. "Ayo! Saya balikin kamu sama Pak Bobon."
Jadilah Vika buru-buru menarik tangannya dan menyembunyikan di balik punggung. "Ih! Jadi cowok kok sensian amat sih? Mentang-mentang cakep, eh sensian."
Arjuna putuskan untuk tidak dekat-dekat dengan Vika. Jadilah ia kembali duduk di kursi ketimbang terus duduk di tepi tempat tidur. Menurutnya, itu adalah pilihan yang lebih aman.
"Tadi Pak Bobon sudah datang ke sini. Semua yang berkaitan dengan kontrak kamu sudah selesai. Untuk itu kamu sudah resmi menjadi makanan simpanan saya selama setahun ke depan."
Vika menarik napas dalam-dalam. Ia diam sejenak, lalu manggut-manggut. Berita itu membuatnya senang. Kelegaan menyeruak di dada. Nyaris saja ia mengira itu mimpi karena akhirnya ia bisa mendapatkan pekerjaan senilai 25 juta.
Jadilah Vika berpaling dan melihat Arjuna. Dalam hati, ia berkata. Nggak ada mimpi yang menyilaukan begini. Ini mah fix! Beneran kenyataan dan gaji 25 juta itu juga adalah kenyataan.
Walau begitu Vika ingat penjelasan Bobon yang lainnya. Seingatnya, bukan hanya uang itu yang akan didapatkannya, melainkan ada juga bonus kepuasan.
"Ehm. Itu artinya apa saya harus tinggal di sini?"
Menurut Bobon, Vika itu memang agak gila. Namun, sebenarnya tidak kok. Buktinya, ia dengan cerdik memberikan pertanyaan penggiring.
"Tentu saja," jawab Arjuna sembari mengangguk sekali. "Memangnya kamu pikir kamu akan pulang pergi seperti orang kantoran? Tidak mungkin. Lagi pula rasa lapar saya tidak bisa ditebak kapan datangnya. Dengan kata lain, kamu harus selalu berada di sekitar saja."
Vika manggut-manggut. "Oh, begitu. Terus kalau tinggal di sini artinya ...."
"Saya akan menanggung semua keperluan kamu sepenuhnya."
Nah ini intinya. Vika mendeham dan berusaha untuk menjaga sikap. Ia tak mau sampai terlihat jelas sedang membutuhkan uang, makan, dan tempat tinggal secara bersamaan. Hiks! Kok ngenes amat sih?
Sayangnya Vika tak bisa menampik kenyataan yang sedang dialaminya. Ia bisa dibilang adalah gelandangan. Ia tak mempunyai rumah, makanan, dan pekerjaan. Beruntungnya, gelandangan yang satu ini masih punya otak untuk berpikir. Terlebih lagi keberuntungan membawa ia bertemu dengan Bobon.
"Kamu nggak perlu mikir apa-apa. Makan, pakaiann, dan semua keperluan kamu, apa pun itu akan saya penuhi," lanjut Arjuna lagi. "Hanya ada satu hal yang perlu kamu pikirkan, yaitu bagaimana caranya agar darah kamu selalu ada setiap saya butuh."
Vika memang senang karena berhasil mendapatkan pekerjaan itu, tetapi tetap saja perkataan Arjuna membuatnya jadi bergidik. Jadilah ia memegang leher secara tanpa sadar.
"Eh?"
Disadari oleh Vika ada keanehan di lehernya. Ia sama sekali tidak merasakansakit. Bahkan ia tak merasakan ada tanda-tanda luka di sana.
"Tenang saja. Saya pastikan nggak ada luka yang tertinggal di sana. Kulit kamu masih mulus seperti biasanya."
Tentu saja Vika heran. "Bagaimana bisa? Setelah ditancepin taring kok bisa nggak ada luka?"
Wajah Arjuna memerah, tetapi ia mencoba untuk bersabar. Apalagi karena ucapan Bobon kembali menggema di benaknya.
"Satu-satunya kelainan Dek Vika ya cuma itu, Pak. Dia memang agak gila, tapi lama-kelamaan nanti pasti jinak juga kok."
Diam-diam Arjuna berharap agar ucapan Bobon itu benar. Semoga saja suatu saat nanti Vika benar-benar jinak walau sejujurnya, hati kecil Arjuna meragukannya.
"Tentu saja bisa. Bagaimanapun juga kaum kami nggak mungkin membiarkan makanan simpanannya ke mana-mana dengan luka di leher."
Vika angguk-angguk. Baru disadarinya bahwa ia tak pernah melihat ada bekas luka di leher Rosa semala ini. Bila ada maka ia pun pasti langsung tahu kalau Rosa sudah menggeluti pekerjaan itu.
"Selain itu." Arjuna menarik napas sejenak sebelum lanjut bicara. "Saya juga bakal memberi kamu bonus. Jadi terlepas dari semua kebutuhan kamu yang akan saya penuhi, kalau kamu ada menginginkan sesuatu maka bilang saja. Saya akan mengusahakannya selagi bisa."
Vika buru-buru menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. Matanya berbinar-binar. Ia terharu, seperti ingin menangis. "Mas. Apa udah ada yang ngomong kalau Mas itu tipe cowok idaman semua cewek di dunia?"
Wajah Arjuna berubah. Tuh kan. Mulai deh gilanya kumat.
"Udah ganteng, dari keluarga ningrat, kaya raya, kalau ngomong lemah lembut penuh irama, eh ... pengertian lagi. Tau banget sih kalau cewek itu punya banyak keperluan."
Arjuna hanya bisa tersenyum kaku mendengar ucapan Vika sementara alarm peringatan sudah berbunyi di benaknya. Tentunya vampir tak perlu diragukan lagi untuk urusan insting. Sepertinya aku harus pergi dari sini sekarang sebelum gila dia makin kumat.
Jadilah Arjuna bangkit. Ia berencana untuk segera mengucapkan selamat malam, tetapi malah didapatinya Vika yang menahan tangannya.
"Mas mau ke mana?"
"Saya mau ke kamar saya. Ini udah malam. Nggak baik cewek dan cowok berduaan lama-lama di kamar yang sama. Selain itu, sepertinya kamu sudah sehat. Jadi, saya nggak perlu jagain kamu lagi."
Vika mengangguk. Dalam hati, ia berkata. Benar-benar cowok yang penuh dengan tata krama. Dia memastikan korbannya tetap hidup, barulah dia pergi tidur. Sungguh cowok sejati!
"Bentar, Mas. Sebenarnya ada yang mau saya tanyain."
Terpaksa, Arjuna menunda niatannya. "Apa yang mau kamu tanyakan?"
Vika tetap menahan tangan Arjuna seolah khawatir vampir itu mendadak melarikan diri. Ia menengadah dan menatap pada mata Arjuna yang hitam pekat. "Beneran apa yang saya mau bakal Mas usahakan?"
"Ya. Memangnya kamu mau apa?"
"Saya mau jangan ada yang pake bahasa Yunani di dekat saya. Siapa pun itu jangan pake bahasa Yunani yang saya nggak mengerti."
Arjuna melongo. "A-apa?"
Mata Vika berkedip-kedip. Ia tampak frustrasi dan seperti ingin menangis. "Ya?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top