17. Silau, Man!
Rasanya begitu lemas dan tak berdaya. Bahkan ketika masa akhir bulan tiba dan tak ada lagi uang receh di dalam dompet untuk sekadar membeli gorengan, Vika tak pernah merasa benar-benar tak bertenaga seperti ini, nyaris tak bisa membuka mata.
"Tangi. Mbakipun sampun tangi. Nyukani ngertos Tuan Muda."
("Bangun. Mbaknya sudah bangun. Kasih tau Tuan Muda.")
Kepala Vika rasanya berat sekali dan suara lembut itu membuatnya jadi bertanya-tanya. Ke-kenapa aku kayak dengar bahasa Yunani lagi? Ah! Cuma kayaknya yang ngomong ini bukan Mas Vampir kan?
Vika mengerang sembari memegang kepala. Dicobanya untuk memijat kepalanya, tetapi tangannya tak bisa digerakkan.
"Mbak, kados pundi perasaanipun? Sae-sae mawon nggih?"
("Mbak, gimana perasaannya? Baik-baik saja kan?")
Erangan Vika terjeda. Kali ini ia mencoba membuka mata dan dilihatnya ada satu wajah asing yang tampak lega karena mendapati dirinya bangun. Namun, ia tak mengenal cewek itu.
"Kamu siapa?"
Cewek itu tersenyum, tampak manis sekali. Kulitnya kuning langsat dan ia mengenakan kebaya sederhana bewarna pastel.
Vika menyipitkan mata dan berusaha menebak. Sepertinya Vika tak akan salah memperkirakan cewek itu masih berusia di awal dua puluh tahun. Ia masih terlihat begitu muda.
"Gendhis, Mbak. Nama aku Gendhis."
Vika hanya mengangguk sambil melirih samar sebagai respons. Ia sungguh tak bisa bergerak banyak sehingga memutuskan untuk kembali memejamkan mata. Bertepatan dengan itu, terdengar olehnya suara kesiap Gendhis.
"Tuan Muda."
Rasanya Vika ingin sekali kembali membuka mata demi melihat siapa adanya Tuan Muda yang dimaksud, tetapi matanya berat. Jadilah ia hanya bisa mengira-ngira.
"Pak Bobon."
Hanya Bobon satu-satunya nama yang terbersit di benak Vika. Disebutnya nama Bobon dengan lirih sekali, tetapi sukses membuat satu rutukan terdengar di telinganya.
"Saged-sagedipun kula disangka Pak Bobon. Saestunipun Pak Bobon taksih ketingal enem?"
("Bisa-bisanya aku disangka Pak Bobon. Memangnya Pak Bobon masih muda?")
Tentunya itu memang bukan Bobon. Pastinya Bobon memang tidak dipanggil Tuan Muda terlepas dari usianya yang memang tidak muda lagi.
"Lagi pula kados pundi saged kula disangka Pak Bobon sawentawis rai kita kantenan benten? Kula kantenan langkung tampan dipunbandingaken Pak Bobon nggih?"
("Lagian gimana bisa aku disangka Pak Bobon sementara wajah kami jelas berbeda? Aku jelas lebih ganteng dibandingkan Pak Bobon kan?")
Semua orang pasti sependapat dengan rutukan itu. Sebabnya adalah memang jelas Arjuna lebih tampan ketimbang Bobon.
Itu memang adalah Arjuna yang memutuskan untuk segera datang secepat mungkin ketika menyadari Vika telah sadar. Pada kenyataannya adalah rekan kerja Gendhis tadi belum sempat mengabarkan perihal Vika padanya. Mereka justru berpapasan di lorong ketika ia berlari dari ruang kerjanya.
Arjuna pun mengembuskan napas lega setelah melihat keadaan Vika yang telah sadar walau masih tampak lemah. Dilihatnya infus yang berdiri di dekat tempat tidur demi memastikan bahwa cairan mineral di sana masih cukup.
Di lain pihak, nama Bobon yang melintas di benaknya membuat Vika mengira bila hal pertama kali yang akan didengarnya adalah seruan: Dek Vika! Eh, tetapi kok yang didengarnya malah kata-kata dalam bahasa yang tidak ia mengerti?
Tu-tunggu dulu deh. I-ini bahasa Yunani kan? Jadi, itu artinya?
Vika menarik napas dalam-dalam. Dikumpulkannya sisa tenaga yang tak seberapa untuk sekadar membuka mata.
"Kamu sudah sadar?"
Oh, kalau ini sih bukan bahasa Yunani, tapi bahasa Indonesia.
Jadilah satu kemungkinan lain muncul di benak Vika. Menurutnya, hanya ada satu orang yang bicara dengan bahasa itu. Jadilah ia menduga bahwa yang mendatanginya bukanlah Bobon, melainkan ....
"Argh!"
Mata Vika yang sempat membuka langsung memejam kembali dengan lebih rapat. Kepalanya berdenyut karena tak tahan dengan silau yang memasuki retina matanya.
"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Apa yang sakit?"
Merintih, Vika menjawab. "Semuanya sakit."
"Se-semuanya?" Wajah Arjuna berubah panik. Ia berpikir cepat dan segera beralih pada Gendhis. "Kamu langsung hubungi dokter dan suruh datang ke sini segera. Katakan padanya kalau Vika sudah sadar dan badannya sakit semua."
Gendhis mengangguk. "Baik, Tuan Muda."
Gendhis segera keluar dari kamar dan sekarang tinggallah Arjuna bersama Vika di kamar itu. Arjuna memilih duduk di tepi tempat tidur dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Ia tak bisa menebak rasa sakit yang sedang dialami oleh Vika.
"Kamu bisa tahan sebentar kan? Gendhis lagi manggil dokter."
Suara itu menyiratkan kekhawatiran. Jadilah Vika tergerak untuk kembali membuka mata. Pelan-pelan, ia mengintip dan astaga!
"Ma-Mas."
Sedikit kelegaan dirasakan oleh Arjuna ketika mendengar suara Vika. "Ya?"
"Lampunya bisa dipadamin nggak? Silau banget."
Arjuna mengerutkan dahi. Jadilah ia celingak-celinguk dengan kebingungan yang bertambah. Dilihatnya sekeliling hanya untuk memastikan bahwa dirinya tak salah. "Padamin lampu?" tanyanya demi meyakinkan. "Lampu mana yang mau dipadamin? Di sini, lagi nggak ada lampu yang nyala."
Nyatanya saat itu masih siang, tepatnya pukul dua. Matahari masih bersinar dengan benderang sehingga sangat cukup untuk menerangi kamar itu tanpa perlu bantuan lampu sama sekali.
"Masa sih nggak ada lampu yang nyala?"
Vika meragukan ucapan Arjuna sehingga ia pun kembali berusaha membuka mata. Namun, lagi-lagi ia tak mampu. Jadilah ia hanya bisa mengintip dari celah kecil kelopak mata.
"Beneran. Di sini, nggak ada lampu yang lagi nyala. Untuk apa aku bohong? Lagian untuk apa juga nyalain lampu siang-siang begini?"
Kebingungan Arjuna menghadirkan satu praduga. Apa mungkin itu efek karena kehilangan darahnya sehingga Vika jadi berhalusinasi?
Kemungkinan itu terdengar masuk akal dan tidak di waktu bersamaan. Arjuna sedikit ragu. Kalaupun dia memang berhalusinasi, masa sih halusinasinya melihat lampu nyala? Aneh-aneh saja.
Keanehan yang dirasakan Arjuna patah seketika tatkala ia teringat bahwa cewek yang sedang terbaring lemah di tempat tidur itu adalah Vika. Bukankah ia sendiri telah memvonis Vika sebagai cewek yang kekurangan otak? Jadilah ia mesem-mesem. Sepertinya dia memang sedang halusinasi. Namanya saja cewek kurang otak. Mungkin saja halunya memang begitu.
Arjuna membuang napas panjang dan sedikit beringsut demi memastikan selang infus Vika terpasang sebagaimana mestinya. Diharapkannya agar cairan infus bisa membuat Vika sadar dan terbebas dari halusinasinya.
"Nggak ada lampu yang nyala? Ehm. Masa sih?"
Arjuna geleng-geleng. "Nggak ada gunanya aku bohong."
"Iya sih," lirih Vika dengan napas yang tak beraturan. Rasa lelahnya semakin menjadi-jadi, begitu pula dengan kebingungannya. "Cuma kalau bukan lampu, terus yang silau ini apa?"
Arjuna kembali melihat sekeliling. Tak bisa dipastikan olehnya objek yang menjadi sumber menyilaukan yang dimaksud Vika. "Di mana sih yang silau?"
"Yang silau itu ...." Vika mengumpulkan tekad dan ia berhasil membuka mata. Lebih dari itu, ia pun sanggup mengangkat tangan demi bisa menunjuk. "... ada di sini."
Arjuna menoleh pada Vika dan jadilah jari telunjuk Vika menuding tepat padanya. Ia mengerjap bingung sementara Vika tertegun seolah butuh waktu untuk mencerna keadaan.
"Astaga." Vika terkesiap. Tenggorokannya naik turun meneguk ludah. "Ketampanan yang menyilaukan."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top