16. Macam-Macam Darah
Seandainya Vika tidak menyadari bahwa situasi saat itu tengah genting maka sudah bisa dipastikan ia akan segera mengajukan banding pada Bobon. Jelas saja ia tak terima dengan perkataan Bobon tadi. Harkat, martabat, dan harga dirinya jatuh tak terkira.
Jadilah Bobon buru-buru menutup mulut. Agaknya pelototan Vika sukses menyadarkan ia untuk hal fatal yang baru saja diucapkannya.
Mampus deh. Beneran bakal ngamuk jadi kayak orang gila nih Dek Vika.
Rasa-rasanya Vika memang mau mengamuk. Untungnya pikiran ia dan Bobon masih cukup jernih untuk menyadari bahwa ada yang lebih penting ketimbang mempermasalahkan soal vonis gila sebelah pihak tadi, yaitu Arjuna.
Vika dan Bobon sama-sama beralih pada Arjuna lagi. Mereka kesampingkan urusan pribadi dan sekarang bersatu padu untuk meluluhkan vampir itu.
"Saya nggak mau mengambil risiko," ujar Arjuna sembari menatap Vika dan Bobon secara bergantian, lalu ia pun melangkah mundur. "Satu hal penting untuk Pak Bobon, ini adalah terakhir kalinya saya menginjakkan kaki di sini."
Jadilah bukan hanya Vika yang panik, melainkan juga Bobon. Tak ayal lagi, Bobon pun jadi lemas jiwa dan raga.
"P-Pak, jangan begitu dong. Saya mohon. Saya minta maaf untuk yang sudah-sudah, tetapi percaya deh sama saya. Dek Vika ini kandidat darah terbagus tahun ini."
Vika buru-buru mengangguk. "Benar, Mas. Darah saya dijamin bagus."
"Nggak." Arjuna menolak tanpa ragu sedikit pun. "Saya nggak mau punya makanan simpanan kayak kamu. Walaupun darah kamu bagus, tetapi kamu nggak memenuhi kualifikasi untuk menjadi makanan simpanan saya."
Jadilah Bobon mengerutkan dahi, tampak bingung. "Ku-kualifikasi? Ehm, Pak, Dek Vika ini sehat. Dia juga bersih. Selain itu, dia juga—"
"Dia ngomong bahasa krama itu adalah bahasa Yunani!"
Arjuna kesal. Jadilah ia menjerit saking kesalnya hingga Vika dan Bobon kompak menutup telinga. Mereka memejamkan mata seolah tak ingin melihat ruangan yang bergetar.
Napas terengah. Mata Arjuna membesar. Disadarinya bahwa getaran-getaran itu tak hanya merambati ruangan beserta isi-isinya, melainkan tubuhnya juga.
"P-Pak."
Bobon memberanikan diri. Sebenarnya ia memang takut, tetapi bayangan komisi yang menghilang adalah ketakutan yang lebih mengerikan lagi. Apalagi bila Arjuna benar-benar membuktikan ancamannya tadi untuk tidak datang lagi ke sana, bisa dipastikan ia akan kehilangan sumber uang dari keluarga vampir ningrat.
"Saya nggak mau dengar alasan apa-apa lagi, Pak," tolak Arjuna lagi. Diangkatnya tangan dan ia berikan isyarat pada Bobon untuk tak lagi membujuknya. "Saya su—"
Tiba-tiba saja Arjuna merasakan kepalanya berputar. Pandangannya berkunang-kunang. Jadilah ia buru-buru bertahan pada meja.
Bobon terkejut. Dihampirinya Arjuna sembari bertanya dengan panik. "I-ini bukan keenam, Pak?"
Rahang Arjuna mengeras dan cengkeramannya pada meja pun menguat. Matanya kembali membuka dan ditatapnya Bobon dengan tajam. "Bapak senang karena ini baru bulan keenam?"
"Ma-maaf, Pak."
Pembicaraan itu membuat Vika tertegun. Diingatnya penjelasan Bobon tempo hari sehingga ia tak sulit menarik kesimpulan. Agaknya Arjuna telah keliru memilih makanan simpanan dan jadilah ia terpaksa menjalani puasa selama tujuh bulan.
Ehm. Pantas saja tangannya kerasa lemes banget pas aku pegang. Ternyata vampir ningrat satu ini sedang kena anemia.
Dugaan Vika semakin kuat. Pada dasarnya seorang vampir pasti tak akan menemui kesulitan sedikit pun untuk melepaskan diri dari genggaman seorang manusia, seandainya ia dalam keadaan normal.
Apalagi manusianya kayak aku. Cewek lemah lembut yang tenaganya nggak seberapa.
Jadilah Vika merasa iba juga. Tujuh bulan adalah waktu yang lama bila harus dilalui tanpa makan. Sedikit banyak hal itu mengingatkannya pada diri sendiri yang selalu puasa saat akhir bulan.
"Sebaiknya Bapak istirahat dulu. Dilihat-lihat, Bapak benar-benar lemas," bujuk Bobon dengan penuh kelembutan, persis seperti ayah yang tengah merayu anaknya. "Untuk yang terjadi hari ini, kita bicarakan nanti saja, Pak. Paling penting sekarang adalah Bapak bisa pulih terlebih dahulu."
Rasanya memalukan, tetapi vampir juga sama seperti makhluk lainnya yang juga memiliki masa-masa lemah. Mereka juga bisa merasa tak berdaya apalagi bila itu disebabkan oleh puasa berbulan-bulan.
Arjuna tak punya pilihan. Ia mengangguk dan berusaha untuk tetap berdiri tegak, tak ingin terlihat benar-benar lemah di hadapan manusia biasa. Nahasnya, ketika ia baru saja menguatkan pijakan, ada Vika yang mendadak muncul di depan matanya.
"Astaga!"
Jangankan Arjuna, nyatanya Bobon saja sampai kaget ketika mendapat Vika yang datang dengan tiba-tiba.
"Ngapain lagi kamu?"
Vika tersenyum. Kedua tangan saling meremas dengan gestur menggoda. "Mas lemes ya? Karena puasa darah berbulan-bulan?"
Arjuna tak menjawab, melainkan justru melirik tajam pada Bobon. Sontak saja Bobon meneguk ludah dengan ketar-ketir.
"De-Dek Vika—"
"Karena Mas lemes," ujar Vika memotong perkataan Bobon. Tak dipedulikannya wajah Bobon yang semakin memucat. "Gimana kalau Mas isap darah saya saja?"
Arjuna tak bereaksi, tetapi Vika tidak menyerah. Ia tahu bahwa itu adalah satu-satunya kesempatan yang dimiliki, tak akan ia biarkan lepas begitu saja.
"Seperti yang saya bilang, Mas, darah saya itu manis. Bahkan sirup cocopandan dan senyum Maudy Ayunda kalah manis dibandingkan dengan darah saja."
Arjuna memejamkan mata dan mengatupkan mulur rapat-rapat. Rahangnya mengeras. "Pak Bobon."
Irama suara Arjuna membuat Bobon bergidik. Dipahaminya bahwa itu adalah peringatan.
"Mari kita pergi, Pak."
Bobon tak ingin mengambil risiko. Sekarang prioritasnya adalah tidak menambah kemarahan Arjuna. Untuk urusan sebelumnya, biarlah nanti ia mencari jalan keluar. Paling tidak ia akan mengusahakan agar Arjuna tetap menjadi kliennya.
Sayangnya Vika justru memiliki prioritas yang berbeda. Ia tak akan membiarkan Bobon dan Arjuna pergi. Jadilah ia mengadang jalan dengan kedua tangan yang terentang lebar.
Bertepatan dengan itu, kaki Arjuna kembali goyah. Vika mendekat sembari mengusap leher dengan senyum tersungging. Sengaja sekali ia menggoda vampir yang sedang lemah.
"Mas beneran nggak mau coba isap darah saya? Ehm. Saya itu beneran sehat lahir dan batin. Saya nggak ada kelainan dan pastinya nggak mengonsumsi narkoba. Dijamin deh darah saya halal dan menyehatkan."
Mata Bobon terpejam dramatis. Mau tak mau, jadilah akhirnya ia sependapat dengan Arjuna. Kayaknya Dek Vika ini memang ada kelainan. Lebih tepatnya adalah kelainan otak.
Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna. Bobon hanya bisa pasrah bila ia harus kehilangan sumber pendapatan terbesarnya. Disadarinya olehnya bahwa ia bukan hanya kehilangan Arjuna, melainkan kehilangan satu keluarga vampir ningrat.
Bobon bisa memastikan hal tersebut. Setelah Arjuna tak lagi menjadi klien tetap di CV ADAD maka para vampir akan bertanya-tanya. Jadilah peristiwa buruk itu akan berembus ke mana-mana dan efek tercepatnya adalah keluarga Arjuna kompak menarik diri dari perusahaannya.
Agaknya Bobon harus mempersiapkan diri sejak sekarang. CV ADAD harus berburu klien prioritas lainnya.
Berbeda dengan Vika. Ia malah yakin seratus persen bahwa hal buruk itu tak akan terjadi. Menurutnya, Arjuna hanya perlu mencicipi setetes saja darahnya untuk menarik kembali kata-katanya tadi.
"Mas belum tau aja rasa darah saya gimana," ujar Vika meyakinkan. "Kalau Mas udah nyicip setetes aja, dijamin deh. Mas pasti ketagihan."
Arjuna menggeleng dan berniat untuk membalas perkataan Vika, tetapi ia merasa tak sanggup. Tubuhnya makin lama makin tak bertenaga, terlebih lagi karena tadi ia tak sengaja meluapkan emosi dan berteriak di luar kewajaran.
"Tuh kan! Mas udah lemes gini."
Vika abaikan Bobon dan menghampiri Arjuna. Diraihnya tangan Arjuna, lalu ia menatapnya.
"Timbang jadi anemia akut loh, Mas. Mending nih!" Vika menyodorkan leher sembari menjinjitkan kaki. Ia berusaha untuk menempatkan lehernya tepat di depan mulut Arjuna. "Langsung aja isap darah saya!"
Mata Arjuna berubah, tampak berkilat-kilat. Selain itu, ia pun jadi meneguk ludah.
Reaksi alamiah itu membuat harapan Vika tumbuh kembali. Ia yakin sekali bahwa kesempatannya masih ada. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah memberikan percikan-percikan yang bisa menyulut Arjuna.
"Ayo, Mas! Isap saja. Dijamin enak deh. Percaya saya."
Sekarang bukan hanya Arjuna yang meneguk ludah, melainkan Bobon juga. Namun, ini bukan karena ia ingin ikut-ikutan mengisap darah. Alih-alih karena ia jadi tak habis pikir. Kemarin itu gimana ceritanya ya aku bisa ketemu cewek modelan begini?
Sebabnya adalah Vika memang tak main-main ketika menawarkan lehernya pada Arjuna. Bahkan ia terus memprovokasi tanpa henti.
"Ayo, Mas. Dicoba aja dulu setetes. Kali aja Mas suka kan? Kalaupun Mas nggak suka, tenang dan jangan khawatir," lanjut Vika sembari menggerling nakal pada Arjuna. "Saya masih punya stok darah yang lain kok."
Arjuna mulai terengah-engah menghadapi godaan leher di depan mulut. Ia mengerjap dan terlihat amat gelisah. "Da-darah yang lainnya?"
Tentunya tak ada hal yang lebih menggoda bagi vampir selain darah. Jadilah refleks alamiah Arjuna tertarik ketika didengarnya bahwa Vika memiliki stok darah yang lain.
Vika mengangguk, lalu menjawab dengan tersenyum lebar. "Iya, Mas. Saya punya darah lain selain darah di leher ini, yaitu darah menstruasi dan darah perawan."
Huuuk!
Bobon segera menyingkir dari sana sambil terbatuk-batuk sementara Arjuna justru megap-megap. Hanya Vika saja yang tampak biasa-biasa sembari melihat Bobon dan Arjuna bergantian, kemudian ia melirih.
"Omongan aku kan bener sih."
Namun, reaksi Bobon dan Arjuna mengindikasikan hal sebaliknya. Jadilah Vika cemberut sementara Arjuna kembali mencoba untuk melepaskan diri walau hasilnya tetap gagal. Tenaga Arjuna lemah sekali sehingga membuat Vika menjadi sedih.
"Mas yakin nggak mau cobain darah saya? Darah yang mana saja boleh deh dicoba dulu."
Arjuna menggeleng tanpa mengatakan sepatah kata pun. Saking tubuhnya benar-benar tak lagi bertenaga, ia sekarang pun tak bisa menggerakkan lidah. A-aku harus pulang sekarang. Aku sudah nggak sanggup lagi.
Sayangnya Vika tidak akan membiarkan Arjuna pergi begitu saja. Ia terus menghalangi Arjuna dan semakin mendekatkan lehernya ke mulut Arjuna.
Mata Arjuna berkilat. Ia berusaha menahan hasrat, tetapi semakin lama maka dorongan alamiah itu semakin kuat. Terlebih lagi karena angin pun seolah kompak bekerjasama dengan Vika. Aroma samar itu masuk ke indra penciumannya dan jadilah tubuhnya merespons di luar kendali.
Arjuna merasakan taringnya gatal. Perlahan, mulailah taringnya menampakkan diri. Sementara itu Vika sama sekali tidak menyadari perubahan tersebut, ia tampak santai, dan masih terus menawarkan lehernya tanpa beban sama sekali.
"Nih, Mas! Gigit aja. Isap aja. Dijamin kok kalau Mas ntar ba—"
Ucapan Vika menggantung di udara. Matanya mengerjap gamang beberapa kali. Tiba-tiba saja ada rasa dingin yang menjalari tubuhnya. Jadilah ia menahan napas dan tangannya yang memegang Arjuna berubah menjadi mencengkeram.
"Ma-Mas."
Suara Vika terdengar putus-putus. Ia merasa lemas dan tak berdaya sama sekali ketika Arjuna menarik pinggangnya. Jadilah ia mendarat di dada Arjuna.
Sensasi dingin terasa semakin kuat. Asalnya adalah dari leher dan merambati setiap sisi tubuh Vika. Terciptalah degup yang membuat jantungnya semakin terpacu seiring dengan desir yang perlahan meninggalkan dirinya. Lantas fokus matanya memudar.
Vika tak yakin, tetapi rasa-rasanya hal terakhir yang dilihatnya adalah wajah Arjuna yang berubah menyilaukan. Berikut dengan setetes darah yang tertinggal di sudut bibirnya. Setelahnya semua gelap.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top