14. Dua Kutub Yang Berbeda
"Dari namanya aja aku bisa nebak."
Vika pejamkan mata sembari mendekap modul di dada. Kepala menengadah dan ia berdiri di tengah kamar. Otaknya bekerja dengan cepat demi menciptakan bayangan dalam bentuk imajinasi yang membuat senyumnya jadi mengembang.
"Pasti dia cakep." Tak perlu diragukan lagi. "Nggak pake embel-embel ningrat aja semua vampir memang tercipta dengan wajah cakep. Apalagi ini kan ya?" Kemungkinan yang nyaris valid 100 persen. "Selain itu, yang paling penting adalah dia pasti kaya raya."
Jadilah mata Vika yang memejam sedari tadi langsung terbuka seketika. Kemungkinan sati itu membuat ia buru-buru menutup mulut sebelum kesiapnya benar-benar terlontar dalam bentuk jerit histeris.
"Sialan! Itu yang paling penting. Vampir biasa aja udah pasti kaya raya, apalagi yang ini kan?" Vika beranjak dengan ekspresi melongo tak habis pikir. Ia duduk di tepi tempat tidur. "Kadang Tuhan memang setega itu kan ya? Udah cakep, eh kaya raya lagi. Sementara aku?" Ditunjuknya hidung sendiri dan ia tersenyum masam. "Udah nggak cakep, eh kere lagi. Mana ditambah nyaris gila. Nasib nasib."
Vika merebahkan tubuh. Dinikmatinya sensasi empuk sambil terus mendekap modul informasi mengenai vampir ningkat yang menjadi incarannya. Lalu ia membuka modul itu dan mulai membaca.
Di sana, tertera informasi mengenai Arjuna Togari, dari tanggal lahir, hobi, hingga makanan kesukaan. Jadilah Vika mesem-mesem.
"Pastilah makanan kesukaan dia darah. Masa kan pecel lele? Emang Pak Bobon ini suka ngadi-ngadi."
Sebenarnya Vika tidak mengerti fungsi pastinya informasi di modul tersebut. Dirasa-rasana, tak ada informasi penting di sana. Selain itu, tak ada penjelasan detail yang dijabarkan.
"Aku pikir di sini ada foto dia, eh ternyata nggak ada."
Sejujurnya itulah yang membuat Vika semangat ketika menerima modul tersebut dari Bobon sore tadi. Jadilah ia segera mengamankan modul bernama 'Arjuna Togari' sebelum peserta lain melihatnya. Ia tak ingin ada peserta lain yang turut tertarik pada vampir ningrat itu.
Sayangnya harapan tinggal hanya harapan. Tidak ada foto di modul itu dan jadilah Vika kecewa.
"Harusnya aku nggak heran sih. Memang mustahil kalau foto dia sampai ada di sini. Mereka selalu menjaga identitas dari dunia luar walau anehnya nama dia malah terpampang gini," lirih Vika panjang lebar sembari melihat huruf-huruf yang berjejer di sana. Terbentuklah dua kata dan menciptakan satu nama. "Arjuna Togari."
Lama Vika melirihkan nama itu. Pun tak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Ia seolah tengah meresapi sensasi yang timbul dari rangkaian huruf tersebut walau kenyataannya tak ada sensasi apa-apa.
Jadilah Vika menaruh modul di tempat tidur. Lalu ia malah melamun dengan tatapan yang tertuju pada langit-langit kamar. Dibiarkannya waktu berlalu dalam keheningan sebelum pada akhirnya ia membuang napas panjang.
"Semoga aja aku berjodoh sama itu vampir ningrat."
Mungkin Vika memang nyaris gila, tetapi pada kenyataannya ia tetap memiliki kewarasan untuk berdoa. Harapannya tak muluk-muluk, yaitu ia bisa meyakinkan sang vampir dan mendapatkan keberuntungan tersebut.
Keesokan harinya, Vika bangun dengan penuh semangat. Ia mandi nyaris satu jam lamanya demi memastikan kebersihan dan keharuman tubuhnya.
"Karena vampir itu penciumannya tajam, jadi aku nggak boleh bau dikit pun. Aku harus wangit."
Tak cukup sampai di sana. Vika pun mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya. Pilihannya jatuh pada kemeja dan celana jin yang warnanya masih terang benderang dalam kombinasi warna yang senada, yaitu biru muda.
Vika tak lupa menyisir rambut hitamnya yang berkilau. Dipastikannya ikal-ikal yang sering nakal itu tidak berbuat ulah dan terperangkap rapi dalam ikatan ekor kuda. Penuh kesengajaan, ia ingin memberikan tampilan leher jenjang pada setiap mata yang memandang, tentunya sekaligus untuk menggoda si vampir ningrat.
Untuk terakhir kali, Vika memastikan penampilannya di depan cermin. Diyakininya bahwa ia cukup rapi untuk seleksi terakhir. Lalu tiba-tiba saja tatapannya jatuh pada satu titik.
Tangan Vika naik dan meraba leher. Diam-diam, ia jadi meneguk ludah ketika membayangkan taring menancap di sana.
Vika bergidik. Matanya refleks memejam, tetapi sejurus kemudian ia menggeleng. "Darah masih bisa diproduksi, tapi kalau ginjal nggak bisa."
Agaknya itu cukup ampuh untuk mengusir ketakutan dan membangkitkan keberanian Vika. Ketenangan hadir dan setelahnya ia pun berkumpul dengan delapan peserta lainnya di satu ruangan tepat ketika jam sepuluh pagi.
Turut hadir di sana, Bobon dan beberapa orang karyawan. Wajah mereka tampak serius sehingga berhasil membuat Vika jadi berdebar-debar dalam aura yang terasa mencekam.
"Selamat pagi semuanya."
Bobon menyapa semua peserta dengan menggunakan mikrofon. Dipandangnya semua peserta secara bergantian hingga berhenti pada Vika. Satu matanya berkedip dan Vika malah bengong.
Kayaknya Pak Bobon salah sarapan nih.
"Baiklah," lanjut Bobon sambil menarik napas. "Hari ini adalah hari seleksi terakhir. Sudah ada lima calon majikan vampir yang akan memilih satu di antara kalian." Ia menjeda sejenak ucapannya demi memberikan efek dramatis seperti di sinetron ikan tenggelam. "Jadi untuk empat orang peserta yang belum beruntung, saya harap kalian nggak berkecil hati. Gimanapun juga kita harus sadar kalau memang nggak semua orang punya keberuntungan."
Perkataan Bobon benar. Vika sependapat sekali.
"Walau begitu kalian tetap bisa tinggal di sini untuk lanjut ikut seleksi minggu depan. Karena seperti yang kita ketahui bersama, CV ADAD ini adalah CV kepercayaan para vampir. Jadi setiap minggu pasti selalu ada calon majikan vampir yang masuk daftar antrean selanjutnya."
Vika tak peduli itu. Dalam hati, ia bertekad supaya langsung mendapatkan majikan vampirnya hari itu juga dan vampir tersebut haruslah Arjuna Togari, bukan yang lain.
"Untuk seleksi keberuntungan ini nantinya setiap peserta akan dipertemukan langsung dengan calon majikannya. Kami akan memberikan waktu sekitar lima belas menit untuk kalian berbincang-bincang. Dengan kata lain, keputusan kalin diterima atau nggak akan diberikan langsung di tempat oleh calon majikan kalian."
Jadilah Vika merasa jantungnya berdebar kuat. Mendadak saja ia merasa gugup. Tenang, Vik, tenang. Jangan gugup. Kalau gugup kamu suka kentut sih.
Vika buru-buru menarik napas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan diri dengan cara konvensional itu. Namun, nahas. Baru saja ia merasa tenang sedikit, eh Bobon langsung melihat padanya dengan sorot serius.
"Dek Vika, silakan ke bilik satu."
Vika mengerjap. "Sekarang, Pak?"
"Tahun depan!"
Vika cenag-cengir mendapati Bobon menukas dengan mata mendelik. Ia terkekeh sekilas.
"Ya kali masih ditanya. Tentu saja sekarang. Ayo, buruan."
Vika bangkit dari duduk. "Iya, Pak, Iya."
Semua mata memandang ketika Vika berjalan menuju pintu bilik satu. Di dalamnya, ada seseorang yang tengah menunggunya.
Vika menguatkan diri dan meraih daun pintu. Ia masuk dan pintu pun menutup kembali. Pandangannya langsung terlempar ke seberang ruangan, tepatnya pada seorang pria yang duduk di balik satu meja.
Pria itu menatap Vika, persis seperti Vika yang menatap padanya. Suasana hening dan Vika tidak mengatakan sepatah kata pun untuk sesaat seolah butuh waktu untuk benar-benar meresapi pemandangan menakjubkan yang pernah dilihatnya seumur hidup.
Vika perlu mengingatkan diri bahwa yang ada di hadapannya sekarang adalah vampir. Ia adalah makhluk yang memiliki taring tajam dan identik dengan aura menakutkan, tetapi ....
Anehnya Vika merasa dirinya meleyot seketika. Ia merasa tak sanggup menghadapi maha karya di depan mata yang tampil dalam balutan setelan tiga potong dengan perpaduan warna putih dan perak. Penampilannya modis dengan dasi di leher dan tampak keren dengan rambut panjang seleher.
Sejujurnya Vika sudah memberi label berantakan untuk cowok yang memanjangkan rambut. Namun, agaknya sekarang ia paham yang dirasakan oleh Cut Meyriska setiap melihat Roger Danuarta.
Napas, Vik, napas.
Vika perlu mengingatkan diri untuk tetap bernapas, alih-alih langsung kelojotan seperti ayam yang tertelan karet. Walau begitu ia berani bersumpah bahwa ia tak pernah melihat cowok setampan itu sebelumnya. Selain itu, ia memang tahu bahwa vampir adalah makhluk yang benar-benar memikat, tetapi astaga. Menurutnya, yang satu ini sungguh kelewatan.
Ini bukan lagi cakep. Harusnya KBBI menciptakan kata yang lebih dari sekadar cakep.
Sebabnya adalah di mata Vika bukan hanya penampilan vampir itu yang sukses membuatnya megap-megap, melainkan semuanya. Dimulai dari kulit putih bersinar bak porselen, rambut hitam berkilau, mata tajam dengan sepasang alis tebal yang menaunginya, dan hidung mancungnya yang menantang, serta bibirnya yang tampak merona untuk ukuran seorang pria.
Oh, Tuhan! Vika terpaksa meneguk ludah demi membasahi kerongkongannya yang mendadak kering kerontang. Pun diam-diam ia menggigit bagian dalam mulutnya demi menciptakan rasa sakit agar ia tersadar dari keterpanaan.
Vika mendeham dan ia pun melangkah dengan kedua lutut yang gemetaran. Jadilah ia sempat mengira bila dirinya mungkin akan jatuh di lantai. Lalu alih-alih berjalan, mungkin saja ia justru mengesot seperti suster di film-film horor.
Semakin dekat maka semakin berdebar jantung Vika. Hatinya pun segera dipenuhi beragam jenis bunga. Dalam jarak tak seberapa dan hanya dipisahkan oleh satu meja, jadilah ia bisa melihat dengan jelas ketampanan itu.
Oh, astaga. Jantung? Mana jantung? Aku butuh jantung pisang sekarang juga. Jaga-jaga kalau aku mendadak jantungan.
Agaknya baru kali inilah Vika tegang seperti ini. Jantungnya benar-benar berdegup tak karuan. Ia gugup dan napasnya pun mulai menunjukkan masalah.
Vampir itu sedikit beringsut. Vika menunggu dengan mata tak berkedip hingga si vampir bicara, suaranya terdengar berirama, lembut, dan juga merdu. Namun, sayangnya si vampir mengatakan sesuatu yang tak dimengerti olehnya.
"Sugeng enjing."
Senyum Vika menghilang. Matanya mengerjap bingung. Ta-tadi dia ngomong apa? N-njing? Be-bentar deh. Rambut aku kan ekor kuda, bukan ekor anjing sih!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top