13. Nama Pembawa Harapan

Aibal menggaruk kepala dalam ekspresi ketidakpercayaan. Ditatapnya Aini dengan sorot curiga.

"Ya ampun. Kamu nggak percaya sama aku, Bal?" tanya Aini dengan bola mata yang berputar dramatis. "Sumpah. Vika nggak masuk kerja malam ini dan aku juga nggak tahu dia ke mana walau memang dia sempat ke kontrakan aku pagi tadi."

Tentu saja Aibal tak percaya dengan perkataan Aini. Jadilah ia bersedekap, alih-alih segera pergi dari kelab. Ia memang tak mengatakan apa-apa, tetapi terus saja menatap Aini dengan mata menyipit.

"Serah deh! Kalau kamu nggak percaya ya udah. Kamu bisa saja nunggu atau cari dia sampe ke belakang sana. Sekarang aku mau beres-beres dulu."

Kala itu kelab memang baru buka dan seperti biasanya Aini dengan karyawan lainnya mulai bersiap. Mereka menurunkan kursi dari meja dan menatanya. Lantas kehadiran Aibal mau tak mau membuat ia terpaksa menepi sejenak.

"Kamu serius? Kak Vika nggak masuk kerja?"

Langkah Aini yang semula ingin beranjak dari sana jadi terhenti seketika. Ia mencebik sekilas dan menyadari perbedaan sopan santun Aibal ketika memanggilnya dan Vika.

"Aku serius. Vika nggak masuk kerja. Menurut yang aku dengar dari Mami sih katanya Vika izin sakit gitu. Cuma aku nggak tau dia ada di mana kalau memang sedang sakit."

Aibal mengerjap dan diam sejenak, mencoba untuk berpikir. "Dia nggak ada ngomong mau ke mana gitu pas cabut dari kontrakan kamu?"

Embusan napas panjang mengawali jawaban untuk pertanyaan itu. "Aku nggak tau," jawab Aini sambil menggeleng. "Dia cuma ngomong kalau dia mau tinggal di rumah temennya yang kebetulan lebih dekat ke kelab ketimbang dari kontrakan aku." Ia mendeham sejenak, lalu balik bertanya. "Kamu nggak tau temennya yang kebetulan punya rumah dekat sini?"

"Malah balik nanya ke aku. Mana aku tau siapa aja teman Kak Vika. Lagi pula temannya Kak Vika yang aku tau itu ya cuma kamu."

Aini tertegun, baru menyadari hal itu. "Loh! Bener juga yang kamu bilang. Temen Vika kan cuma aku. Memangnya ada orang normal lainnya yang mau temenan sama dia? Kan nggak ada."

Jadilah Aibal memejamkan mata dan menahan keinginan untuk menepuk dahi sendiri karena perkataan Aini.

"Terus kalau gitu ...," gumam Aini rendah hingga Aibal nyaris tak mampu mendengar suaranya. Seolah saat itu ia tengah bicara pada diri sendiri. "... Vika ke mana ya?"

*

Tentunya Vika sedang menikmati malam yang santai di kamar isolasinya dengan sepaket makan malam bergizi yang membuatnya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. "Gila! Kapan sih terakhir kali aku makan kayak gini? Empat sehat lima sempurna enam tak ingat si dia?"

Vika tertawa sembari mencomot sepotong buah kiwi dengan bantuan garpu kecil. Dinikmatinya rasa manis dan segar yang menyeruak di indra pencecapnya dengan amta merem melek.

Turut menemani santai malam itu, ada televisi yang menyala dengan saluran lengkap dalam dan luar negeri. Jadilah Vika duduk di kursi dengan goyang-goyang kaki sembari memegang remot. Disandarkannya punggung dan tak sengaja ia malah melihat satu titik kecil yang berada di atas pergelangan tangannya, sebuah bukti yang tertinggal setelah ia melewati seleksi pertama.

Seorang karyawan datang ke kamar Vika sekitar lima belas menit yang lalu. Dibawanya sebuah troli berisi makan malam dan seperangkat alat tes kesehatan. Jadilah Vika diperiksa terlebih dahulu sebelum menikmati makan malam, lalu sampel tubuhnya yang meliputi darah, urine, keringat, dan air mata pun tak lupa diambil.

"Nggak nyesal banget aku akhirnya hubungin Pak Bobon. Astaga! Mimpi apa coba aku semalam? Bisa-bisanya sekarang aku kayak gini? Terus juga ini kan baru isolasi, gimana kalau aku beneran lulus coba?"

Sontak saja mulut Vika menganga dengan khayalan yang langsung mengisi benak. Ia buru-buru menutup mulut dengan bantuan sepotong semangka, lalu menggigit dan menikmati sensasi manisnya yang menyegarkan.

"Wah! Aku beneran nggak kebayang. Pasti hidup aku makin terjamin."

Sesaat berlalu dan Vika merebahkan tubuh di tempat tidur yang empuk. Diabaikannya televisi yang masih menyala dan ia dapati ponselnya bergetar halus.

Vika mengangkat ponsel tepat di atas wajah. Ada banyak pemberitahuan pesan dan panggilan tak terjawab sehingga ia pun tertawa. Kebanyakan berasal dari keluarganya.

"Pada cariin aku ya? Ck. Basi ah. Pasti cariin aku juga cuma gara-gara tagihan."

Namun, ada satu pesan yang membuat Vika jadi menarik napas dalam-dalam. Berasal dari Aini, pesan itu menanyakan keadaannya berikut dengan pemberitahuan bahwa Aibal baru saja mendatanginya.

Vika putuskan untuk tidak membalas pesan itu walau rasanya berat. Alasannya adalah ia tak ingin terlepas jujur pada Aini mengenai keputusan yang tengah dijalaninya sekarang. Terlebih lagi ia tak ingin Aini menggoyahkan keputusannya.

Jadilah Vika menyingkirkan ponselnya. Ia masukkan ponsel ke dalam nakas dan memutuskan untuk tidak mengisi dayanya selama tujuh hari ke depan, tepatnya sampai hasil kelulusan seleksi itu keluar.

Pokoknya aku harus lulus dan semoga saja aku yang beruntung dapatin itu vampir ningrat.

Tekad itu mengiringi tidur Vika. Jadilah ia beristirahat dengan nyenyak dan tenteram hingga membuatnya yakin bahwa itu adalah tidur terlelap yang pernah dirasakannya seumur hidup.

Selang dua hari kemudian hasil seleksi kesehatan keluar dan Vika tak terkejut sama sekali ketika mendapati dirinya lulus. "Pastilah aku lulus. Raga aku kan sehat. Cuma jiwa aku aja yang agak terganggu dikit."

Vika terbahak senang melihat lembar hasil seleksi kesehatannya. Walau begitu ia tidak hanyut dalam euforia. Disadarinya bahwa ia tak bisa berlama-lama menikmati kesenangan itu. Masih ada dua seleksi lagi yang harus dilaluinya.

Seleksi kebersihan menyambut Vika di hari berikutnya. Ia masuk ke bilik pemindai hanya dengan mengenakan sehelai jubah tanpa pakaian dalam. Dibiarkannya cahaya alat itu memeriksa tubuhnya dari atas hingga bawah.

Vika melalui seleksi kebersihan dengan tenang dan penuh keyakinan. Kayaknya sih aku bakal lulus. Dari keringat aku yang beraroma bunga melati aja udah ketahuan kok kalau aku adalah cewek pembersih. Tanpa kuman tanpa jamur.

Keyakinan Vika terbukti. Bobon memberikan hasil seleksi kebersihan itu dengan semringah.

"Wah! Udah sehat, eh bersih lagi. Dek Vika ini memang idaman para vampir."

Vika meringis. Dibesarkannya hati dengan berkata pada diri sendiri, tidak apa-apa hari ini ia menjadi idaman para vampir, mungkin saja suatu saat nanti ia bisa menjadi idaman para suami.

Eh? Para suami?

Vika buru-buru mengenyahkan pikiran aneh itu dari dalam benak. Boro-boro para suami, satu suami saja untuk kalau dapat.

"Oke. Sekarang Dek Vika tinggal menjalani seleksi terakhir, yaitu seleksi keberuntungan. Itu akan dilakukan di hari keenam, tepatnya lusa."

Vika angguk-angguk. Disimaknya penjelasan Bobon dengan amat saksama.

"Nanti Dek Vika anak diberi modul untuk belajar."

Vika bingung. "Modul, Pak? Buat belajar apa?"

"Itu modul berisi informasi para vampir yang masuk dalam data calon majikan minggu ini," jawab Bobon menerangkan. "Biar dikit banyak Dek Vika bisa ngira-ngira mau diarahkan ke yang mana duluan."

Vika manggut-manggut, agaknya ia paham maksud Bobon. "Itu artinya saya bisa menentukan calon majikan saya ya, Pak?"

"Tentu saja," jawab Bobon sambil mengangguk pasti. "Jadi, alurnya nanti adalah Dek Vika dan kandidat lain akan diprioritaskan untuk dipertemukan dengan pilihan pertama. Nah! Kalau calon majikan nggak suka, ya mau nggak mau kalian harus legowo diopor ke vampir lain."

"Baiklah, Pak." Vika menarik napas dalam-dalam, lalu mengepalkan kedua tangan dengan penuh tekad. "Saya mau milih vampir ningrat kemarin, Pak."

Tekad Vika membuat Bobon sedikit kaget. Bahkan Vika belum mendapatkan modul yang dimaksud, tetapi ia sudah mengambil pilihan tanpa merasa perlu mencari tahu terlebih dahulu seluk-beluk vampir yang dipilih.

Bobon menyipitkan mata. Sorotnya tampak menyelidik, berusaha menangkap sedikit saja kesan main-main dari Vika. Namun, tak ada. Vika sungguh serius.

Jadilah Bobon bertanya. "Dek Vika serius mau jadi makanan simpanan vampir ningrat?"

Yakin, Vika mengangguk. Diiyakannya pertanyaan itu tanpa berpikir dua kali.

Sayangnya itu belum cukup meyakinkan Bobon. Ia masih sedikit ragu sehingga kepalanya tanpa sadar meneleng ke satu sisi dan kembali bertanya.

"Dek Vika beneran serius? Seriusnya yang benar-benar serius? Bukannya serius main-main kan?"

Vika mesem-mesem. Dirasanya aneh juga ada serius main-main. "Saya bener-bener serius, Pak. Saya serius yang serius-serius."

"Jadi, keputusan Dek Vika sudah bulat? Dek Vika beneran mau jadi makanan simpanan ..." Bobon makin menatap Vika tanpa kedip. "... Arjuna Togari?"

Vika mengerjap sekali dan nama asing itu seketika menggema di benaknya. Arjuna Togari?

Aneh, tetapi nyata. Sontak saja Vika menahan napas di dada. Ia tak menjawab pertanyaan Bobon dan malah tertegun. Sebabnya adalah satu pertanyaan mendadak muncul dan berputar-putar di dalam kepalanya, riuh sekali.

Arjuna? Nama dia Arjuna? Astaga! Itu nanti aku bakal digigit atau dipanah asmara ya?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top