12. Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi?


"Ayo, masuk, Dek Vika."

Bobon menahan pintu dengan satu tangan sementara tangan lainnya mempersilakan Vika. Dilihatnya Vika melangkah masuk sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan ekspresi takjub.

"Sa-saya tinggal di sini, Pak?" tanya Vika tak percaya ketika Bobon menyilakannya untuk memasuki sebuah kamar yang besar dan rapi, persis seperti kamar hotel berbintang lima. "Saya tinggal di sini selama seleksi sampai hari pengumuman hasilnya keluar?"

Bobon membiarkan pintu untuk tetap membuka, lalu beranjak. Tampaknya ia senang dengan reaksi alamiah Vika ketika melihat kamar tersebut.

"Oh, tentu saja. Kan motto ADAD itu kenyamanan dan keamanan adalah yang utama."

Langkah Vika terhenti. Ia menoleh pada Bobon sembari memeluk tas ranselnya. "Jadi motto itu beneran ya, Pak? Bukan sekadar pemanis perangkap saja?"

Bobon berdecak samar walau hanya sekilas. Lalu ia malah mencebik. "CV ADAD itu bukan CV abal-abal, Dek Vika. Berdirinya sudah dari zaman penjajahan Belanda dulu. Jadi, udah pasti dong berkualitas. Ih! Meragukan saja."

Vika mendeham seraya menggaruk sekilas ujung pelipis. Ia mesem-mesem ketika mendapati wajah Bobon yang manyun, mungkin sedikit tersinggung dengan ucapannya.

"Ya mau gimana lagi, Pak. Seumur-umur baru kali ini saya nemu lowongan pekerjaan yang pendaftarnya dapat fasilitas begini. Disediakan kamar, makan, dan yang lainnya. Ehm, wajar kan kalau saya jadi bingung?"

"Nggak wajar. Soalnya ini kan kamu mendaftar kerja buat jadi makanan hidup vampir. Jadi, mau nggak mau kamu harus terjaga. Anggap saja ini semacam isolasi atau karantina. Biar selama masa seleksi nanti kamu benar-benar terhindar dari pengaruh luar. Kan kalau kamu lolos dan dapat majikan, saya juga yang untung."

Vika melirih sambil manggut-manggut. Akhirnya ia paham dari maksud penyediaan fasilitas itu.

"Jadi selama seminggu ini Dek Vika tinggal di kamar ini. Dek Vika bisa main ke atap kalau sekadar mau cari udara segar. Di sana ada juga ada semacam kafe yang bisa dipakai untuk bersantai. Pokoknya Dek Vika buat senyaman yang dimau deh, asalkan jangan sampe keluar dari gedung. Ini buat jaga-jaga dan demi kebaikan Dek Vika sendiri. Biar Dek Vika nggak terkontaminasi selama masa seleksi."

"Baik, Pak."

Bobon merasa lega dengan kepatuhan yang ditunjukkan Vika. "Oh ya. Saya hampir lupa buat kasih tau. Nanti sekitar jam tujuh malam akan ada petugas yang mengantar makan malam. Selain itu dia juga mau ambil sampe darah, urin, keringat, dan air mata. Jadi, Dek Vika jangan kaget. Itu semua untuk persyaratkan seleksi pertama."

Ketakjuban Vika akan semua fasilitas itu terjeda. Dipikirnya, sampel darah dan urin memang masuk akal. Namun, sampel air mata membuatnya bingung. Jadilah ia bertanya. "Apa hubungannya seleksi kesehatan dengan sampel air mata, Pak?"

Bobon tak langsung menjawab, melainkan mengerutkan dahi. Kedua tangan bersedekap dan matanya jadi menyipit. Dilihatnya Vika dengan sorot penuh selidik.

"Lama-lama saya perhatiin, Dek Vika ini banyak nanya juga ya? Ehm. Dek Vika ini bukan mata-mata CV sebelah kan?"

Buru-buru saja Vika menggeleng. "Nggak kok, Pak. Saya bukan mata-mata siapa pun. Saya murni di sini untuk cari kerjaan."

"Terus kenapa dari tadi banyak nanya?" tanya Bobon tanpa menurunkan kecurigaan. Sekarang ia malah mengamati Vika dari atas hingga bawah dengan amat lekat. "Dek Vika kayak lagi mengorek-ngorek informasi perusahaan saya."

"Nggak, Pak, nggak. Sumpah. Saya cuma penasaran. Soalnya saya nggak habis pikir apa hubungannya antara air mata dengan seleksi kesehatan. Cuma itu saja."

Mata Bobon semakin menyipit. "Hubungannya adalah kami harus memastikan para pelamar itu bukan tergolong orang yang suka menangis. Kan gawat kalau ternyata suka nangis. Masa setiap kali digigit vampir bakal nangis? Nanti rasa darahnya bukan manis, tetapi justru asin."

Vika mengerjap dan kepalanya sedikit meneleng ke satu sisi, berpikir. Terus apa dong hubungannya dengan kesehatan?

Mungkin saja tidak ada hubungannya dan Vika putuskan untuk tidak bertanya lagi. Sebabnya adalah ia sekarang tidak lagi sependapat dengan pepatah lama 'malu bertanya sesat di jalan'. Berkat Bobon, pepatah itu berubah untuk pertama kalinya. Jadilah 'bertanya pada Pak Bobon semakin sesat di jalan'.

"Ada yang mau ditanyakan lagi, Dek Vika?"

Pertanyaan Bobon menyentak Vika walau hanya sekilas. Jadilah ia tersadar akan sesuatu yang amat penting. Ia nyaris saja melewatkan ketentuan penting yang melarangnya keluar dari gedung selama seminggu.

"Pak, apa itu artinya saya nggak bisa pergi kerja nanti malam?"

Bobon keheranan dengan pertanyaan Vika. Jadilah sorot dan ekspresinya berubah seolah Vika adalah badut yang salah masuk rumah, bukannya masuk ke rumah yang sedang menyelenggarakan pesta ulang tahun anak kecil, eh malah masuk ke rumah yang sedang bersiap menyelenggarakan pemakaman.

"Dek Vika, untuk apa kerja di kelab kalau sebentar lagi Dek Vika bakal kerja dengan vampir?"

"Kan saya belum tentu diterima, Pak."

Memang. Jadilah Bobon mencari solusi. "Kalau begitu Dek Vika izin saja. Bilang lagi sakit atau apa gitu. Soalnya Dek Vika harus taat pada tahapan seleksi ini. Demi gaji besar loh."

Saran Bobon terdengar masuk akal. Lebih baik Vika mengajukan izin dadakan saja. Lagi pula selama ini ia dikenal sebagai karyawan rajin. Bahkan saking rajinnya, kelab libur pun kadang ia tetap datang.

Namun, ada sesuatu yang menyentil rasa penasaran Vika terlepas dari ide izin dadakan itu. "Sepertinya ada satu lagi yang lupa saya tanyakan, Pak."

Bobon meringis dengan wajah tersiksa. Dipikirnya, pertanyaan tadi adalah pertanyaan terakhir yang Vika berikan padanya. Namun, ia kecele. Ini cewek punya berapa stok pertanyaan sih? Heran. Perasaan dari tadi nggak selesai-selesai nanyanya.

Untungnya Bobon tetap bersabar. Ia mendeham dan berusaha untuk menjaga wibawanya. "Nanya apa lagi, Dek Vika?"

"Ini pertanyaan paling penting dari semua pertanyaan yang saya tanyakan tadi, Pak," ujar Vika dengan terheran-heran pada diri sendiri. Bisa-bisanya ia nyaris melupakan sesuatu yang amat penting, pertanyaan maha penting di antara pertanyaan lain bila itu berkenaan dengan pekerjaan baru. "Ngomong-ngomong, gajinya berapa ya, Pak?"

Refleks saja Bobon tersenyum. Didekatinya Vika, lalu ia menjawab dengan suara rendah sehingga mau tak mau Vika turut mendekatkan telinganya. "Gaji bersih sebulan tanpa bonus kepuasan, kamu bisa dapat dua puluh lima juta rupiah."

Buru-buru saja Vika menutup mulut. Mata memelotot dan ekspresinya benar-benar syok. Pantas saja darah di PMI sering kosong. Ternyata ini toh penyebabnya.

"Itu belum termasuk bonus kepuasan dan fasilitas hidup yang akan kamu terima dari majikan vampir dan ah!" Bobon tampak semringah ketika teringat sesuatu yang penting. "Saya baru ingat."

"Ingat apa, Pak?"

"Seingat saya, minggu kemarin ada klien baru yang masuk ke data ADAD. Dia adalah klien prioritas."

Vika tertegun. Itu bukan klien yang suka kredit pembayaran gaji kan?

Jangan sampai! Vika segera mengusir pemikiran menakutkan itu dari benaknya. Sebabnya adalah tidak ada yang lebih menakutkan bagi para pekerja selain mendapatkan majikan yang punya hobi mencicil gaji karyawannya.

"Dia ini termasuk ke dalam golongan vampir ningrat. Jadi, kalau kamu bisa kerja sama dia maka otomatis saja duit yang kamu dapatkan bisa lebih dari itu."

Bahkan tanpa ada embel-embel ningrat saja total gaji yang bisa diperoleh membuat Vika nyaris sesak napas. Apa lagi ini? Jadilah bukan hal aneh bila pada akhirnya ia berdoa tak henti-henti di dalam hati. Ia benar-benar berharap agar bisa bekerja di sana.

Tenang. Darah masih bisa diproduksi, tetapi kesempatan digigit vampir ningrat dan dapat duit banyak, kapan lagi? Nggak bakal datang dua kali!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top