11. Oh, Tidak Semudah Itu!

"Cie! Akhirnya datang juga."

Tak perlu ditanya seberapa merah dan kakunya wajah Vika ketika ia datang ke kantor CV ADAD dan Bobon langsung menyambutnya dengan ucapan itu. Malu sih, tetapi disadarinya bahwa ia tak punya pilihan lain, jadi ya sudah. Ia putuskan untuk memasang mode malu-maluin saja.

"Ha ha ha. Iya, Pak. Soalnya tadi mobil RSJ sudah mondar-mandir. Jadi mending saya langsung nemui Bapak saja sebelum saya keburu ditangkap."

Bobon tergelak. Diusapnya sekilas rambutnya yang mengilap klimis dalam warna abu-abu itu, kemudian ia menunjuk kursi di depan meja.

"Silakan duduk, Dek Vika."

Vika langsung duduk sembari menarik napas dan menenangkan diri. Sejujurnya saja, ia gugup.

"Jadi, kamu sudah fix mau kerja di sini?" tanya Bobon sambil menatap Vika, mencoba untuk memastikan. "Jadi santapan hidup vampir?"

Tenggorokan Vika naik turun mendengar pertanyaan kedua Bobon. Jadilah dalam hati ia menggerutu. Nggak ada bahasa yang lebih frontal lagi, Pak?

Walau begitu Vika mencoba untuk sedikit menjaga sikap. Lagi pula Bobon adalah satu-satunya jalan keluar yang dimilikinya sekarang. Jangan sampai ia kehilangan kesempatan yang satu ini. Sebabnya adalah walaupun hidup gratis di rumah sakit jiwa terdengar memang menggiurkan, ia belum berencana untuk ikut tertawa-tawa tanpa sebab di sana.

"I-iya, Pak. Maka dari itu saya hubungin Bapak."

Senyum Bobon pun melebar seketika, tampak semringah. "Baiklah kalau begitu. Kita lihat apa Dek Vika bisa memenuhi syarat untuk kerja di sini."

Sontak saja ketegangan di wajah Vika menghilang dan tergantikan kebingungan. "Loh, Pak? Ini belum tentu diterima ya?"

Kala itu Bobon tengah meraih tetikus. Jadilah layar komputer yang sempat gelap berubah terang kembali. Namun, pertanyaan polos Vika membuat ia berpaling lagi dari sana. Dilihatnya Vika.

"Ya belum tentu diterima dong, Dek Vika. Namanya saja lowongan pekerjaan. Jadi, tentu saja ada seleksinya."

Vika tertegun dengan wajah kaku. "A-ada seleksinya? Seleksi macam apa, Pak?"

"Ada tiga seleksi yang harus Dek Vika lalui," jawab Bobon sambil melihat pada komputernya lagi. "Pertama adalah seleksi kesehatan karena vampir harus memastikan darah yang dikonsumsi aman dan menyehatkan."

"A-aman dan menyehatkan?"

"Oh, tentu saja," tukas Bobon dan lagi-lagi ditinggalkannya layar komputer. Dilihatnya lagi Vika dan kali ini dengan ekspresi polos. "Dek Vika tahu kan kalau sekarang ini banyak orang yang pake narkoba? Itu darah mereka jadi nggak aman buat para vampir. Mereka bisa jadi ketergantungan secara nggak langsung."

Vika melongo persis seperti aplikasi yang sedang eror. Ia terdiam sejenak dan hanya bisa melirih samar di lima detik berikutnya. "Oh."

"Selain itu, Dek Vika harus punya darah yang sehat, nggak punya penyakit apa pun, dan rajin mengonsumsi makanan yang bergizi."

"Segitunya, Pak?"

Bobon mengangguk. "Segitunya, Dek Vika. Jadi wajar saja kalau bayarannya juga nggak main-main."

Nyatanya Vika tidak mengira bahwa menjadi makanan simpanan vampir serumit itu, tidak sesederhana yang sempat dibayangkannya. Ia pikir ia hanya perlu mendaftar dan kemudian langsung dihubungkan dengan tuan vampirnya. Namun, ternyata tidak semudah itu. Lagi pula siapa yang menduga bila menjadi santapan hidup vampir ada seleksinya?

"Ini baru seleksi pertama, Dek Vika. Kalau lolos seleksi kesehatan, baru deh lanjut ke seleksi kedua, yaitu seleksi kebersihan."

Vika kembali melongo. "Ke-kebersihan, Pak?"

"Tentu saja kebersihan harus masuk kriteria," jawab Bobon dengan penuh keyakinan. "Karena zaman sekarang ini banyak sekali orang yang abai dengan kebersihan. Mentang-mentang merek parfum mahal sudah bertebaran di mana-mana, eh orang-orang jadi pada males mandi. Seharusnya mereka sadar kalau bau badan nggak bisa dihilangkan dengan parfum."

Jadilah Vika tak bisa berkata-kata. Dipikirnya, perkataan Bobon memang ada benarnya sih. Parfum memang tidak bisa menghilangkan bau badan. Sebaliknya, parfum malah buat bau badan semakin menyengat tidak karuan.

"Selain jarang mandi dan bau badan, ih kadang ada juga yang punya penyakit kulit. Coba deh Dek Vika bayangkan. Memangnya ada vampir yang mau gigit leher yang penuh dengan panu?"

Pertanyaan Bobon membuat wajah Lestari langsung muncul di benak Vika, lengkap dengan panu dan kurap di pahanya. Astaga! Memang anak durhaka!

"Jadi sekarang paham ya mengapa ada seleksi kebersihan?" tanya Bobon dan Vika hanya mengangguk samar sekali. "Walau begitu, dua seleksi ini belum begitu menentukan kalau dibandingkan dengan seleksi yang ketiga alias seleksi terakhir."

Wajah Bobon berubah jadi serius ketika mengatakan itu. Jadilah Vika merasa aura di sekitarnya juga turut berubah, yang tadinya terasa biasa-biasa saja sekarang berubah menjadi mencekam.

Vika mengepalkan kedua tangan dengan kuat. Dikuatkannya diri dengan anggapan bahwa seleksi ketiga ini pastilah benar-benar serius dan harus ia antisipasi. "Apa seleksi ketiga itu, Pak?"

Bobon menatap Vika selekat mungkin tanpa segera menjawab pertanyaan itu. Jadilah jantung Vika berdebar tak karuan. Detik demi detik yang berlalu membuat Vika semakin menegang.

"Seleksi ketiga itu adalah seleksi ..."

Vika menahan napas.

"... keberuntungan."

Dooong!

Ada beberapa macam seleksi yang sempat melintas di benak Vika. Di antaranya seleksi riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan atau riwayat hidup. Selain itu, ada satu riwayat yang mungkin agak sedikit berbahaya, yaitu riwayat berkelakuan baik mengingat Vika bukanlah termasuk cewek baik. Namun, ternyata semua dugaannya keliru total.

Vika butuh waktu untuk mencerna ucapan Bobon. Jadilah ia menghirup oksigen sebanyak mungkin dan ujung-ujungnya ia berdecak dengan kesan meremehkan. "Kok seleksi keberuntungan sih, Pak?"

Agaknya Vika merasa bingung dengan seleksi ketiga itu. Bisa saja menurutnya seleksi ketiga itu terkesan tidak berbobot walau Bobon justru merasa sebaliknya. Bobon malah bingung dengan pertanyaan tersebut dengan anggapan bahwa hal itu sudah amat jelas untuk memerlukan penjelasan lebih lanjut.

"Tentu saja seleksi ketiga adalah seleksi keberuntungan. Soalnya hasil akhir seleksi ini tetap saja ada di tangan klien saya, di tangan para vampir itu. Kalau mereka oke dengan kandidat yang ditawarkan, artinya lulus. Kalau mereka nggak oke, artinya nggak lulus."

Vika terkesiap. Ternyata menjadi makanan simpanan vampir tidak semudah yang ia perkirakan sebelumnya. Tidak hanya sekadar memberikan leher dan membiarkan taring tajam itu menancap, tetapi lebih rumit lagi.

Argh! Kalau nggak kepepet duit, rasanya ogah juga ikut seleksi nggak masuk kala begini.

Perubahan ekspresi Vika disadari sepenuhnya oleh Bobon. Tak sulit untuknya meraba pikiran Vika saat itu. Jadilah ia menjelaskan lebih jauh.

"Saya tau, pasti Dek Vika nggak mengira kalau jadi makanan hidup vampir bisa serumit ini, tetapi apa boleh buat? Makanan mereka itu darah, sesuatu yang sangat sensitif dan sulit didapatkan. Jadi, mau nggak mau mereka harus pasang antisipasi yang tinggi. Karena kalau nggak, mereka yang bakal sengsara selama tujuh purnama."

Vika mengerutkan dahi. "Sengsara?"

"Iya, sengsara," angguk Bobon sembari membuang napas. Tiba-tiba saja wajahnya tampak menunjukkan ekspresi penuh simpatik. "Tujuh purnama itu adalah waktu yang mereka butuhkan untuk menetralkan kembali darah manusia yang masuk ke tubuh mereka. Artinya selama itu mereka nggak bisa ngapa-ngapain selain tidur di dalam peti mati."

Sepertinya menjadi vampir yang penuh dengan kesempurnaan bukanlah hal yang benar-benar menyenangkan. Paling tidak itu yang Vika bayangkan ketika menempatkan diri pada situasi yang mengharuskannya berada di dalam peti mati selama tujuh bulan demi menetralkan darah yang pernah masuk ke rubuhnya.

"Jadi, gimana?"

Lamunan Vika buyar. Pertanyaan Bobon berhasil menarik kembali kesadarannya.

"Apa Dek Vika tetap mau mencoba melamar jadi santapan hidup vampir setelah mengetahui rangkaian seleksinya?"

Pertanyaan itu amat tidak berarti untuk seorang manusia yang sudah tersudutkan oleh peliknya kertas tagihan. Itu adalah satu-satunya jalan pintas yang paling masuk akal. Lagi pula seperti yang sudah diketahui bersama bahwa darah bisa terus diproduksi. Jadilah Vika akan menganggap dirinya seperti ibu ASI versi horor.

Vika menguatkan diri, lalu mengangguk. "Iya, Pak. Saya tetap mau mencoba."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top