10. Kere atau Gila, Pilih Yang Mana?
"Ah! Sayang, jangan gitu dong. Tangannya jangan ke mana-mana. Malu. Di sini ada Vika."
"Ehm. Nggak apa-apa, Ni. Vika kan udah gede. Ngapain juga malu."
"I-iya. Dia emang udah gede, tapi kan—ah!"
Demi para alien tampan di drama Korea, Vika berusaha untuk tetap waras dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya. Dicobanya untuk mencegah bulir-bulir keringat semakin bercucuran sementara dirinya tidak sedang berolahraga saat itu.
Astaga! Vika sedang duduk manis di satu kursi plastik dengan majalah yang membuka di pangkuan. Wajahnya menunduk, sama sekali tidak menoleh ke kanan atau kiri. Namun, tetap saja imajinasi itu langsung berkembang dengan baik di benaknya.
"Sayang, aku bilang kan tangannya jangan ke mana-mana."
Vika tidak membaca tulisan di majalah itu. Matanya memejam rapat dan ia merutuk dalam hati. Kenapa Tuhan nggak buat telinga pake penutupnya juga sih?
Sejujurnya saja, desahan dan suara-suara manja yang menggema sedari tadi sudah membuat Vika tersiksa lahir dan batin. Ia menderita, tetapi sayangnya tak bisa berbuat apa-apa.
"Ih! Ini tangannya kok udah masuk aja sih? A-aduh. Cubitnya pelan-pelan dong. Kan kamu tau, lecet di puting aku baru aja mau sembuh."
Sreeet!
Desahan dan suara manja itu sontak berhenti, tergantikan oleh kesiap kaget ketika kursi yang diduduki Vika bergeser dengan tiba-tiba hingga menimbulkan suara gesekan di lantai yang lumayan kuat. Vika mendeham dan dilihatnya Aini yang duduk di pangkuan pacarnya yang bernama Norman, lalu ia tercekat.
Pemandangan itu membuat Vika nyaris tak bisa bernapas. Tangan Norman sudah menyusup masuk ke dalam kaus yang Aini kenakan. Jadilah ia melihat dengan jelas bagaimana ukuran payudara Aini membesar dua kali lipat. Nahasnya, hanya satu payudara yang membesar.
Vika tak perlu penjelasan. Ia tahu pasti apa yang membuat payudara Aini terlihat besar. Tentunya adalah karena tangan Norman sedang menangkup di dalam sana.
Wajah Vika memucat. Ia meneguk ludah dan dicobanya untuk tetap tenang dengan rasa syok yang semakin menjadi-jadi, sungguh ia tak percaya ada orang waras yang bisa tetap bermesraan sementara ada orang ketiga yang menjadi penonton mereka.
"Ni, setelah aku pikir, sepertinya aku nggak jadi deh tinggal bareng kamu."
Aini mengerjap. Ia sedikit beringsut di pangkuan Norman seraya menarik tangan cowok itu keluar dari pakaiannya. "Loh? Kenapa? Ehm. Apa ini gara-gara kami mesraan gini ya?"
Lirikan tajam Aini membuat Norman mesem-mesem. Namun, ada hal lain yang membuat Vika jadi lebih tak berdaya, yaitu fakta Aini memperbaiki letak payudaranya di dalam sana dengan teramat santai.
Vika berani bertaruh, pastilah payudara Aini sudah keluar dari mangkuk bra. Ia benar-benar yakin akan hal itu mengingat puting payudara Aini menimbulkan cap samar di kaus.
Ya Tuhan. Mengapa cobaan hidup hamba bisa aneka warna begini sih? Merah, kuning, hijau, di langit yang biru?
Walau begitu Vika tidak akan mempermalukan dirinya lebih lanjut. Jadilah ia menjawab pertanyaan Aini dengan gelengan.
"N-nggak kok. Masa cuma karena kalian mesraan? Ha ha ha. Kayak aku masih bocah kemaren sore aja. Lagian aku juga kerjanya di kelab malam. Lihat orang pacaran mah udah biasa. Bahkan aku aja pernah lihat cowok fitting kondom."
Mata Aini membesar sementara Norma sontak menutup selangkangannya. Aini pun bertanya dengan kaget.
"Yang benar?"
"Nggak benar dong," jawab Vika tertawa walau batinnya sungsuh amat tersiksa. "Aku nggak pernah lihat cowok fitting kondom, tapi aku kepikiran kalau aku ada temen gitu dan rumahnya lebih dekat ke kelab ketimbang dari sini. Ehm. Gimana ya? Aku kan harus hemat bensin."
Aini manggut-manggut. "Ah."
"Oke, Ni. Kalau gitu, aku pergi ya? Sampe ketemu ntar malam," kata Vika cepat smabil buru-buru menyambar tas ranselnya dari atas lantai. "Se-semoga hari kalian menyenangkan dan jangan lupa kondom. Kalian nggak mau kan punya anak sementara kalian belum siap secara finansial? Bukannya apa sih, tapi lebih baik punya anak pas ada tabungan duit ketimbang punya anak pas nggak ada duit kan?"
Aini dan Norman sama-sama bengong mendengar omongan Vika. Apalagi karena setelahnya Vika pergi dari kontrakan Aini dengan langkah begitu enteng, seperti tidak mengatakan apa-apa sebelumnya.
"I-itu pasti karena dia tanpa sadar udah stres dengan keadaan keluarganya," lirih Aini seraya membuang napas panjang. "Kasihan dia. Harus nanggung semua biaya hidup keluarga sementara orang tuanya justru sering buat masalah."
Norman meneguk ludah. Diraihnya tangan Aini dan ia menatapnya lekat. "Tenang, aku ada kondom kok."
*
"Argh! Kenapa hidup aku begini, Tuhan? Kenapa? Kenapa?"
Duduk di trotoar, Vika yang mencak-mencak sukses membuat para pejalan kaki menjadi ketakutan. Beberapa dari mereka tampak melihat Vika dengan bingung dan di antaranya sudah mengeluarkan ponsel.
"Ssst. Itu orang gila?"
"Apa kita telepon petugas RSJ saja ya? Khawatir kalau ada pasiennya yang kabur."
Langsung saja Vika menoleh dengan tiba-tiba. Dipelototinnya mereka satu persatu dengan sorot berapi-api.
"Siapa yang gila hah?! Mana ada orang gila yang punya motor?"
Jadilah mereka melihat pada motor butur bewarna merah yang terparkir di dekat Vika. Lalu semuanya tersenyum kaku, agak merasa tak enak.
"Oh, iya iya."
"Ma-maaf, Mbak."
Vika tak membalas permintaan maaf tersebut, melainkan ia lanjut menggerutu. Jadilah para pejalan kaki kembali bimbang, sebenarnya ia gila atau tidak ya?
Semoga saja tidak. Karena di hari yang penuh dengan cobaan itu, Vika hanya berharap agar tudingan gila tidak menjadi salah satu penderitaan selanjutnya. Ia sudah teramat lelah.
"Dari ribut dengan Pak Jarot, Mama, dan Papa, eh setelahnya aku malah dikasih siaran langsung dua sejoli yang sedang kasmaran. Terus sekarang? Aku malah dicap orang gila?"
Vika menggeram. Diremasnya rambut dengan kuat dan sekarang ia tak peduli lagi bila memang ada petugas Rumah Sakit Jiwa yang datang ingin menangkapnya, ia sudah pasrah.
"Nggak apa-apa deh. Tinggal di RSJ juga bagus kok. Bisa makan gratis juga. Apalagi katanya makanan di sana enak dan terjamin gizinya."
Anehnya Vika justru refleks meringis pilu setelah bicara seperti itu. Walau tanpa ada air mata, dibenamkannya wajah di atas lutut.
Mirisnya adalah beberapa pejalan kaki yang mendengar gerutuan Vika justru merasa geli. Walau begitu mereka tetap menjaga sikap, tidak sampai benar-benar tertawa karena mereka pun belum yakin sepenuhnya kalau Vika bukan orang gila sungguhan. Agaknya mereka khawatir kalau Vika akan mengamuk.
"Kere atau gila? Nggak ada pilihan yang lebih ngenes apa? Kere gila kan?"
Ringisan Vika semakin menjadi-jadi. Tak terhitung lagi entah berapa kali kata kere dan gila terucap dari bibirnya. Ia terus menggerutu hingga pada satu ketika mendadak saja ia tersentak.
Pejalan kaki yang masih memerhatikan Vika dari kejauhan sontak kaget. Dilihat oleh mereka penampilan Vika yang benar-benar berantakan. Rambut Vika acak-acakan dan wajahnya membeku.
"Kere gila?"
Vika mengerjap berulang kali, lalu meneguk ludah. Satu suara menggema di benaknya dengan tiba-tiba.
"Oke deh, Dek Vika. Pikirkan saja dulu. Nanti kalau kerenya sudah hampir membuat Dek Vika gila, langsung saja hubungi saya di nomor yang ada di sana."
Vika buru-buru menutup mulut, tetapi tak urung juga lirihannya terdengar. "Pak Bobon."
Sialnya, di saat ia dicap sebagai orang gila, adalah Bobon yang terlintas di benaknya. Jadilah ia buru-buru membuka dompet di dalam tas ransel. Namun, kartu nama yang dicarinya tak ada.
"Sialan! Udah aku buang."
Vika menggeram, tetapi tidak putus asa. Ada teknologi yang bisa dipergunakan dan beruntung ingatannya bisa diandalkan.
Segera saja Vika membuka mesin pencarian Google. Diketiknya nama CV ADAD dan tada! Muncul!
Keraguan Vika hilang sudah. Jadilah ia tak berpikir dua kali untuk menambahkan kata Bobon di depan kata CV ADAD dan tak butuh waktu lama, senyum pun mengembang di wajahnya.
Vika bangkit dari duduk. Kedua tangan terkembang di udara dan ia berseru.
"Pak Bobon! I'm comiiing!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top