1. Pertunjukan Sore

◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌

Sebagai informasi, cerita ini murni fiksi. Semua karakter, nama tempat, dan yang lainnya adalah murni berasal dari imajinasi. Jadi semoga kalian menikmati :*

◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌

Avika Bhanurasmi memejamkan mata secara spontan ketika lembaran kertas itu dihempaskan tepat ke depan mukanya. Dicobanya untuk bersabar walau geraman sudah menggetarkan dada.

"Kamu ada duit? Bisa kamu bayar semua tagihan ini hah?!"

Agaknya menampar Vika dengan lembaran kertas itu tak cukup memuaskan sehingga wanita paruh baya berambut keriting halus itu menamparnya pula dengan kata-kata merendahkan di hadapan semua orang. Penuh dengan kesengajaan, dibiarkannya para tetangga yang mulai keluar dari rumah masing-masing menjadi penonton pada sore itu.

"Aku bakal berusaha untuk membayar semuanya, Bu. Tenang saja."

Bernama Rustina, wanita berlipstik merah terang itu mendengkus. Tangannya bersedekap dengan gestur mencemooh. Ditatapnya Vika dengan sorot merendahkan, menilai sebelah mata pada penampilannya.

"Kamu pikir tagihan rumah sakit untuk anak aku itu murah? Hah! Kamu mau bayar pake apa?"

Vika menarik napas dalam-dalam. Tak lagi dipedulikannya malu karena menjadi tontonan tetangga lantaran hal tersebut sudah sering terjadi berulang kali, seperti rutinitas yang tak terelakkan. Selain itu hanya ada satu hal yang lebih menjadi prioritasnya sekarang, yaitu mencoba untuk menaha sabarnya selama mungkin.

"Aku bakal segera membayar semuanya. Ibu nggak perlu khawatir. Aku cuma butuh waktu. Beberapa hari lagi aku bakal bayar tanpa ada yang kurang."

Perkataan Vika yang terkesan tenang justru membuat Rustina memelotot. Agaknya ia tak terima dengan sikap tenang yang ditunjukkan oleh gadis berusia 27 tahun itu. "Hah?! Apa kamu bilang? Aku nggak perlu khawatir? Wah wah wah! Kamu butuh berapa hari? Memangnya kamu sanggup ngumpulin duit segini banyaknya untuk bayar biaya rumah sakit anak aku?"

Rustina tertawa dan diedarkannya pandangan ke sekitar. Dilihatnya para tetangga yang semakin ramai menonto mereka. Ia mengangkat tangan dan mengacung pada Vika yang memutar bola mata sambil merapikan sedikit rambutnya yang berantakan karena angin yang berembus.

"Kalian lihat kan? Udah miskin, eh soknya gede juga. Mungkin dia pikir biaya rumah sakit Ari itu murah ya?" Rustina terkekeh, lalu geleng-geleng. "Kalian mungkin nggak tau, jadi karena itu akan aku kasih tau. Biaya rumah sakit Ari itu mahal. Dia harus dirawat di ruang VVIP."

Tak ada yang membalas perkataan Rustina. Semua orang di sana hanya diam saja sehingga membuatnya mendengkus. Jadilah ia kembali beralih pada Vika dan didapatinya cewek itu yang justru abai dengan kemarahannya. Tentulah ia merasa tak terima.

Rustina menggeram dan tangannya bergerak tanpa peringatan sama sekali. Diraupnya rambut Vika dengan cepat.

Vika kaget, sama sekali tidak mengira bila Rustina akan menjambak rambutnya. Jadilah ia memekik dan merasakan sakit ketika kepalanya tertarik hingga ke bawah. Ia meringis dan berusaha menahan tangan Rustina.

"Lepasin, Bu!"

Rustina tidak melepaskannya, melainkan memperkuat jambakannya. Dibuatnya Vika semakin meringis. "Nggak bakal! Aku nggak bakal lepasin rambut kamu sebelum kami minta maaf sama aku. Adik kamu yang gila itu sudah ngebuat anak aku harus masuk rumah sakit!"

Vika memejamkan mata demi menghindari silau cahaya matahari sore. "Ibu mau duit atau maaf aku? Pilih salah satu. Kalau mau maaf, itu artinya aku nggak bayar tagihan rumah sakit. Kalau mau aku bayar tagihan rumah sakit, itu artinya aku nggak minta maaf."

"Apa kamu bilang?" tanya Rustina memelotot. "Dasar cewek nggak tau sopan santun!"

Vika meradang. Kulit kepalanya terasa amat sakit dan jadilah ia menjerit. "Ibu juga nggak tau sopan santun!"

Jeritan Vika tak ubah petir di siang bolong. Berkatnya jadilah para tetangga yang menonton mereka sontak memejamkan mata sambil menutup telinga.

"Aku bilang, lepasin!"

Tuntas menjerit sekali lagi, Vika pun mengangkat kedua tangan. Diraihnya tangan Rustina dan ditariknya dengan sekuat tenaga.

Mata Rustina membesar. Tangannya dihempaskan begitu saja oleh Vika. "Eh eh eh?"

Vika membuang napas kesal. Dirapikannya kembali rambutnya yang berantakan lagi tanpa peduli dengan pelototan mata Rustina.

"Ka-kamu berani sama aku? Kamu pikir kamu siapa?!"

Vika balas memelotot. Bahkan kedua tangannya pun berkacak di pinggang. "Loh? Bukannya tadi Ibu sendiri yang ngomong kalau aku adalah kakak dari seorang adik yang gila? Puas?!"

Rustina tersentak. Agaknya ia tak mengira bila Vika akan membentaknya seperti itu, terlebih lagi di hadapan banyak orang. "O-oh. Kamu berani balas membentak aku ya? Berani?!"

"Memangnya kenapa kalau aku berani? Mau laporin ke polisi juga? Iya? Memangnya rela duit rumah sakit anaknya nggak aku bayar?" tanya Vika seraya melangkah maju sekali. Dihadapinya Rustina tanpa gentar sama sekali. "Kalau memang iya, ya udah. Laporin aja. Aku juga mau kok masuk penjara sebulan dua bulan. Biar aku bisa makan gratis."

"Ka-kamu."

"Apa?" tantang Vika lagi. "Nggak cukup laporin aku ke polisi? Masih kurang? Kalau iya, sekalian aja adik gila aku itu dilaporin juga biar kami bisa masuk penjara bareng. Silakan. Kami dengan senang hati masuk penjara sekeluarga. Seenggaknya makan kami terjamin."

Mulut Rustina membuka, tetapi tak ada satu kata pun yang terucap darinya. Ia sepertinya kehilangan kemampuan bicara.

"Wa-wah! Kamu—"

"Aku tunggu, Bu. Laporin saja kami sekeluarga ke polisi. Biar kami sekeluarga masuk penjara."

Sepertinya seumur hidup Rustina tinggal di bumi, baru kali ini ia bertemu dengan orang yang justru ingin masuk penjara. Dengan alasan apa? Biar bisa makan gratis.

Oh, astaga. Rustina benar-benar tidak percaya bahwa ada orang yang berpikir demikian.

"Aku udah ngomong baik-baik dari tadi, Bu. Berikan aku waktu dan uang tagihan rumah sakit anak Ibu di ruang VVIP itu bakal aku lunasin. Nggak usah ngotot seolah-olah Ibu nggak bisa bayar tagihan itu pake duit sendiri."

Rustina syok. Ditunjuknya hidung Vika sembari berdecih. "Kamu mau ngatain kalau aku miskin? Dasar cewek gila. Aku itu kaya!"

Vika meraih jari telunjuk Rustina, lalu menurunkannya. "Kalau kaya, buktikan dong. Sanggup nggak bayar sendiri tagihan rumah sakit di ruang VVIP itu? Kalau nggak sanggup, ya wajar aja sih kalau sampe ngotot ke sini buat minta pertanggungjawaban."

"Hah! Kamu pikir kamu bisa ngibulin aku?" sentak Rustina seraya menarik jari telunjuknya dari genggaman Vika. "Biar bisa lepas dari tanggung jawab? Kamu pikir aku bodoh?!"

"Bu, kalau sekadar mau tanggung jawab, aku bisa nyuruh adik aku yang gila itu untuk berlutut minta maaf sama Ari, tetapi lain cerita kalau tujuan Ibu cuma duit."

Rustina geram. "Ka-kamu! Kamu dan adik kamu itu sama-sama gila!"

Dibentak demikian membuat Vika mengatupkan mulut kuat-kuat. Tangannya mengepal dan barulah ia balas membentak.

"Kalau adiknya gila, ya udah pasti kakaknya lebih gila!"

Sudahlah. Sekarang Vika tersadar akan sesuatu, yaitu ia dan sabar memang tidak ditakdirkan untuk bersama.

*

bersambung ....

Buat yang mau pesan, silakan langsung chat aja ya. Aku tunggu 🤗

◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top