9. Rintik Nona Hujan
Beberapa kali petir bergemuruh, membuat gadis bermata sayu yang berada di kelas sendirian begitu ketakutan. Ada trauma di masa kecil yang tak pernah orang ketahui antara dirinya dan petir.
Azka yang mendengar jeritan dari dalam kelas, segera masuk ke dalam dan mendapati gadis bergaun biru tengah ketakutan sambil memeluk lututnya di lantai dekat kursi. Wajah ayunya tertutup oleh rambut hitam, gadis tersebut menenggelamkan wajahnya.
Lelaki berkemeja hitam itu menatap sosok yang tengah memeluk lututnya dengan raut yang susah di artikan, wajah tampannya begitu datar. Kemudian, ia melangkah menghampiri Azkia dan berhenti tepat di depannya. Hanya saja, ada jarak di antara keduanya.
Terdengar lirihan serta sesenggukan yang begitu menyayat hati, Azkia menangis dalam gemuruhnya petir. Gadis bermata sayu itu belum menyadari, ada sosok pangeran yang sudah berdiri di hadapannya.
Hujan turun dengan lebat dan petir yang saling bersahutan, membuat Azkia semakin mengeratkan pelukannya pada lutut. Ia ketakutan.
“Mamah ... Papah ...,” lirih Azkia.
Suara dehaman berhasil membuat gadis bermata sayu itu mendongakkan kepala, tampak sosok lelaki tampan berpakaian serba hitam sudah berdiri tak jauh dari tempat duduknya.
Wajah ayu itu begitu ketakutan dengan mata yang sudah sembap. “Pak Azka ...,” gumamnya, lalu segera berdiri.
“Aaaa!” jeritnya kemudian berlari dan memeluk lelaki di hadapannya saat tiba-tiba petir kembali bergemuruh.
Mata Azkia terpejam, ia ketakutan setengah mati. Memorinya di masa lalu kembali terngiang bersamaan dengan suara petir. Pelukannya mengerat saat petir lagi dan lagi menyapa dengan keras.
Kepalanya bersandar pada dada bidang Azka dan membuat jantung lelaki tersebut berdetak abnormal. Tubuhnya tak menolak pelukan dari gadis tersebut, tetapi juga enggan membalas pelukannya.
Suara petir tak lagi terdengar. Azkia membuka matanya pelan, lalu mengusap sudut matanya yang berair. Ia menangis dalam pelukan seseorang. Namun, jantungnya berdetak semakin kencang. Siapa yang ia peluk?
Azkia mendongakkan kepalanya, tampak sosok lelaki berlesung pipit menatapnya dengan raut wajah dingin. Tangannya segera melepaskan pelukan tersebut dan berjalan mundur menjauh dari tubuh dosen mudanya.
“Jangan ngambil kesempatan dalam kesempitan, deh!” ucap Azkia ketus berusaha terlihat tenang, meski sebenarnya ia gugup dan malu.
“Siapa yang meluk duluan?” tanya Azka dengan nada dingin, raut wajahnya tak mengekspresikan apa pun.
Azkia bergeming. “Ya ... ya, tadi kan ... refleks,” kilah gadis bermata sayu itu yang langsung mengalihkan pandangannya ke samping.
“Sama suara petir aja takut,” cibir Azka kemudian berbalik badan berniat melangkah.
“Eh ... tunggu!” cegah Azkia dan membuat lelaki berlesung pipit itu mengurungkan niatnya.
“Please, jangan tinggalin a-aku ...,” ucap Azkia setengah berbisik, tetapi masih dapat di dengar oleh Azka. Bibir tipisnya kaku saat mengucapkan kata terakhir.
“Bawa buku saya dan kerjakan tugas itu di rumah, besok harus sudah selesai,” ujar Azka sembari memasukan tangannya ke dalam saku celana, lalu melangkah ke luar kelas. Ia tak ingin ada kesalah pahaman jika ada yang melihat dirinya berduaan dengan gadis tersebut.
Azkia bergegas memasukan buku-bukunya ke dalam tas ransel, tak lupa buku biru tua milik dosennya juga ia masukan. Syukurlah, dosen menyebalkan itu mempunyai hati nurani juga sehingga membiarkannya pulang.
Gadis pemilik netra sayu itu terus mengedarkan pandangan sembari berusaha menelpon seseorang. Nihil, Kesya sahabatnya tidak bisa di hubungi. Parkiran juga tampak sepi, hanya ada beberapa mobil guru.
“Ck, Kesya ke mana, sih? Apa dia udah pulang?” ucap Azkia bermonolog saat tak mendapati mobil hitam milik sahabatnya.
Hujan semakin lebat, tetapi petir mulai mereda. Tak ada lagi suara yang membuatnya ketakutan seperti saat di kelas tadi. Syukurlah, setidaknya ia bisa menunggu hujan reda tanpa harus khawatir petir tiba-tiba menyapa kembali.
Lantas, gadis bermata sayu itu segera mendaratkan pantatnya di kursi koridor. Entah kelas siapa yang kursinya ia duduki. Kemudian, tas ransel di punggungnya ia lepas sejenak. Berat juga membawa buku banyak, batinya.
Azkia menatap rintik hujan yang sudah lebat, tetesan air turun dari langit begitu terlihat sangat bersemangat berlomba-lomba mendarat ke bumi. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berdiri tepat di dekat rintik hujan yang turun dari atap kampus.
Tangannya terulur menerima tetes demi tetes hujan dengan netra berbinar. Kemudian, Azkia melepas haigheels hitamnya dan berlari ke tengah lapangan tanpa memikirkan ada orang atau tidak yang memperhatikannya.
Azkia berteriak di bawah guyuran hujan, lalu tertawa riang sembari terus melompat-lompat gembira dan membuat air yang ia pijak terciprat ke mana-mana.
Azka yang baru saja akan memasuki ruang dosen, mendadak netranya menangkap sosok tak asing yang tengah bermain hujan. Tampak gadis tersebut sangat menikmati hujan lebat yang mengguyurnya. Baru kali ini, ia melihat Azkia tertawa lepas. Biasanya gadis itu selalu arogan, percaya diri, kasar, dan saat di kelas tadi tampak sangat ketakutan.
“Dasar gadis aneh. Takut petir tapi sangat menyukai hujan,” gumamnya kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan dan menyimpan beberapa berkas yang ada di tangannya, lalu bergegas ke luar.
Sejenak Azka memperhatikan gadis yang masih setia bermain hujan di tengah lapangan. Rambut hitam sepingganya sudah basah. Bahkan, gadis itu menghiraukan gaun mahalnya yang ikut basah. Sesuka itukah ia dengan hujan?
Di tengah bermain hujan, Azkia baru menyadari ternyata dosen muda berpakaian serba hitam itu tengah memperhatikannya dari koridor depan ruang dosen. Ia segera berlari ke arah Azka, di mana dosen muda itu berada.
“Pak, ayok bermain hujan!” ajak Azkia setengah berteriak berdiri tak jauh di mana Azka berdiri.
Azka menggeleng. “Saya bukan anak kecil seperti kamu yang suka bermain hujan,” ujar lelaki berlesung pipit itu dengan tubuh bersandar pada tiang koridor.
Hati Azkia tersentil dengan ucapan dosen menyebalkan itu, lalu menatap air di bawah kakinya dengan senyum jail. Hujan yang lebat membuat lapangan seperti setengah kolam renang, penuh dengan air hingga semata kaki.
“Rasakan ini Tuan Angin!” ujar Azkia sambil berjongkok, tangannya terus menyiram Azka dengan air di bawah kakinya dan membuat kemeja dosennya itu mulai basah.
“E-eh ... Azkia, jangan! Basah, aduh!” pinta Azka, berusaha melindungi tubunya menggunakan tangan. Namun, tetap saja wajah dan kemejanya terkena air.
Akan tetapi, Azkia semakin gencar membasahi tubuh dosen mudanya itu. Siapa suruh mencibirnya dengan kata-kata ‘Anak kecil'. Ia pikir, dirinya akan tinggal diam?
Gelak tawa Azkia terdengar renyah saat menyiram Azka dan membuat lelaki berlesung pipit itu menurunkan tangannya, membuat wajah tampannya terkena air secara langsung dari siraman gadis di hadapannya.
Azka menatap gadis tersebut, Azkia tampak sangat bahagia menikmati hujan. Gadis itu sudah berhenti menyiramnya. Tangannya terulur mengusap wajah yang masih terdapat sisa-sisa air.
“Nona hujan,” gumamnya kemudian menarik bibir ke samping dengan netra yang masih memperhatikan Azkia.
Gadis itu berlari mengitari lapangan dengan gelak tawa yang sangat terdengar gembira. Tawa yang begitu lepas seakan tak ada lagi beban di hidupnya.
“Azkia!” pekik Azka saat melihat langkah gadis bermata sayu itu mendadak berhenti, lalu tubuhnya melorot ke lapangan bersamaan dengan suara petir yang kembali bergemuruh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top