8. Kabar Jawaban
Azka menatap semua orang yang berada di ruang tamu, kecuali sosok gadis yang berpakaian serba hitam lengkap dengan secebis kain di wajahnya. Ia tak berani menatapnya sedikit pun. Kemudian, Azka menghela napas berat. Berat seperti keputusan apa yang harus dirinya ambil.
Tangan lelaki berlesung pipit itu menaikan lengan kemeja biru muda yang ia pakai hingga seperempat, lalu mengembuskan napas perlahan. “Azka ... Azka minta waktu, Bah. Boleh?” pinta Azka kemudian menatap lelaki paruh baya di seberang tempat duduknya.
Pria paruh baya yang rambut dan kumisnya mulai memutih itu tampak tenang, cahaya wibawa dari wajahnya bisa membuat siapa pun damai ketika melihat. Kemudian, netra yang berselimut kelopak mata mulai mengerut itu menatap muridnya seraya tersenyum.
“Baiklah. Abah paham, tidak mudah mengambil keputusan. Apalagi ini menyangkut ibadah seumur hidup. Abah kasih kamu waktu, Nak,” ujar pria paruh baya itu kemudian menaikan ujung sorbanya yang terjatuh setelah membenarkan posisi duduk tadi.
“Baik, Bah. Terima kasih. Azka janji akan segera memberikan jawaban,” ucap Azka membalas senyuman.
“Kalau begitu, saya dan keluarga mohon undur diri,” ujar pria paruh baya yang biasa di panggil ‘Abah’ sembari meletakan cangkir yang telah ia minum setengah kopinya.
“Terima kasih atas kedatangannya, Bah, Umi,” ucap wanita bergamis cokelat lengkap dengan jilbab syar'i berwarna senada.
“Sama-sama. Azka ...,” Abah menatap muridnya itu dengan teduh. Senyum di bibirnya tak pernah pudar. “Kalau kamu sudah mempunyai jawaban, Abah tunggu di pondok, ya.”
“Baik, Abah. Insyaa Allah,” ucap Azka kemudian menyalami tangan Abah.
“Assalamualaikum ...,” pamit Abah setelah bersalaman dengan Amir-abinya Azka.
“Waalaikumsalam warohmatullah wabaraakaatuh!” jawab
Azka serta kedua orang tuanya serempak.
Gadis bernama Azrani itu tersenyum simpul di balik cadar yaman yang ia kenakan saat melintasi tubuh Azka. Semerbak harum khas lelaki yang ia sukai membuat imannya sedikit goyah. Buru-buru ia beristighfar seraya menundukkan pandangan dan segera mengikuti langkah Abah dan uminya.
***
Sepanjang koridor gadis bermata sayu itu dikejutkan dengan berita hangat yang menggemparkan seantero kampus. Bagaimana tidak? Dosen tampan yang menjadi idaman para kaum hawa, terdengar telah di pinang oleh gurunya untuk putri bungsu dari mereka.
Azkia menghiraukan semua bisik-bisik perihal dosen menyebalkan itu. Toh, tidak ada hubungan dengannya sama sekali.
Semilir angin membuat rambut hitam sepinggang yang sengaja ia uraikan beterbangan hingga sebagian menutupi wajahnya. Aksi itu membuat semua orang yang melihat Azkia semakin berdecak kagum.
Gaun biru tua dengan aksen beberapa mutiara di sekitar dada berlengan pendek itu ikut terbang ke samping, tangan Azkia terulur menyelipkan rambut ke daun telinga kananya.
“Hai!” sapa seseorang dari belakang kemudian berlari kecil menghampiri sahabatnya.
Azkia menoleh, lalu tersenyum mendapati sahabatnya. “Lah, Rani mana?” tanya gadis bermata sayu itu melihat ke belakang gadis berkulit putih, Kesya. Tampak koridor yang mulai padat di penuhi mahasiswa, tetapi tidak ada tanda-tanda sahabatnya berkulit langsat itu.
“Hah? Rani belum ke kampus? Tadi katanya ... ish!” ujar Kesya menatap sahabatnya dengan raut tak percaya.
“Enggak tau, sih, kalo di kelas. Coba gue telepon dulu,” ucap Azkia kemudian mengambil benda pipih itu dari tas ranselnya.
Gadis yang memakai dress mini berwarna hitam itu mengangguk, lalu memperhatikan Azkia yang tengah mengobrol dengan seseorang di seberang telepon. Rani.
“Rani katanya izin, ada acara keluarga dan lo tau, apa acaranya?” tanya Azkia menatap sahabatnya dengan raut wajah yang susah di artikan.
Kesya menggeleng. “Apa?”
“Rani mau di jodohin!” ucapan Azkia berhasil membuat gadis di hadapanya menutup mulut tak percaya.
“What! Kok, bisa, sih?” tanya Kesya. Matanya yang sipit semakin tidak terlihat saat menatap Azkia meminta jawaban.
“Gue juga enggak tau. Tapi nanti abis kelas kita ke rumahnya, yuk?” ajak Azkia yang langsung disetujui gadis bermata sipit itu.
Dosen muda yang tampan, selalu berhasil membuat para siswanya salah fokus ketika memperhatikan mata pelajaran yang ia jelaskan. Terlebih, bagi para kaum hawa seperti suatu keberuntungan bisa melihat pangeran. Sebagian ada yang memperhatikan dengan tangan memangku dagu. Sebagian lagi sibuk mencatat, itu tipe siswa yang rajin.
“Kia!” panggil seseorang dengan tegas.
Lamunan gadis bermata sayu itu buyar, saat mendengar namanya di panggil. Azkia menatap datar lelaki yang berdiri di depan kelas, lalu mengangkat alis kananya tanpa merasa bersalah.
“Selesai kelas, kamu tidak boleh pulang dulu!” tutur dosen berkemeja hitam dengan celana dan peci berwarna senada.
“Hah? Lah, kenapa, Pak?” tanya Azkia heran. Pasalnya, ia tidak melakukan hal apa pun yang membuat rugi kampus atau dosen menyebalkan itu.
“Kamu pikir saya tidak tau, tadi kamu melamun dan tidak memperhatikan penjelasan saya?” ucapan Azka berhasil membuat gadis bermata sayu itu bergeming membenarkan pernyataan tersebut dalam hatinya.
Tak ada pilihan lain, Azkia menghela napas kasar. Rencananya ke rumah Rani sang sahabat akan gagal. Mata sayu itu melirik ke belakang meminta bantuan Kesya, setidaknya sahabatnya yang satu itu bisa membelanya.
“Sabar,” ucap Kesya pelan sembari mengelus tangan sahabatnya yang berada di atas meja miliknya.
Lantas, Azkia segera mengalihkan pandangan saat mendengar dosen menyebalkan itu menutup kelas dengan salam. Semua siswa yang beragama islam menjawabnya, berbeda dengan non muslim yang hanya bisa menanggapinya dengan senyuman.
Kelas telah usai beberapa menit yang lalu, menyisakan dua gadis dan satu dosen. Lelaki berkemeja hitam itu sejenak melirik dua gadis yang berada di jajaran kedua selurus dengan kursi yang ia duduki. Tampak gadis bergaun biru masih setia duduk dan gadis yang memakai mini dress hitam itu tengah berdiri di sampingnya.
“Kamu ... ngapain masih di sini?” tanya Azka tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku siswa yang tengah ia periksa tugasnya.
“Katanya tadi jangan pulang setelah jam kelas usai, gimana, sih!” jawab Azkia ketus.
“Bukan kamu, tapi gadis di samping kamu itu. Ngapain di masih di sini?” Azka memperjelas pertaannya.
“Ouh ... em, anu ... itu, Pak.” Kesya bingung harus menjawab apa.
“Dia nemenin saya,” ucap Azkia singkat, mulai mengganti ‘Gue’ menjadi ‘Saya’. Agak terasa aneh mungkin, tapi entah kenapa hatinya enggan berkata tidak sopan lagi dengan sosok dosen itu.
“Saya hanya minta kamu, bukan dia. Keluar, atau saya kasih hukuman lebih berat buat kamu!” tutur Azka beranjak dari kursi kemudian berdiri dengan tangan menutup buku tugas siswanya, lalu meletakkan benda persegi berwarna merah bergaris hitam itu ke atas meja bersama buku-buku lainya.
Kesya yang tak ingin mendapatkan hukuman, segera berpamitan pada Azkia. Bukan tidak solidaritas, tetapi perihal ini seorang sahabat pun tidak ingin mengambil resiko. Apalagi, dosen muda itu tidak pernah main-main dengan ucapannya.
“Gue tunggu di parkiran aja ya, Az,” bisik Kesya kemudian melenggang pergi meninggalkan Azkia dan dosen muda tersebut.
Azkia menatap dosen berkemeja hitam dengan celana dan peci senada itu sembari terus menggerutu. Tampak sosok dosen menyebalkan itu berjalan ke arah meja di depannya dan meletakan sebuah buku berwarna biru tua.
“Salin halaman sepuluh sampai sebelas ke dalam buku kamu, jangan pulang sampai selesai!" titah Azka setelah meletakan buku tersebut ke atas meja paling depan, tepat satu meja sebelum tempat duduk gadis bermata sayu itu.
Lantas, ia langsung kembali ke tempat duduknya dan mulai membereskan beberapa buku dan memasukanya ke dalam tas ransel hitam.
“Mau kemana?” tanya Azkia saat melihat dosen tersebut akan pergi.
“Kamu pikir saya akan tinggal di ruangan ini berduaan dengan kamu? Tidak. Dalam islam dilarang berkhalwat. Saya tunggu di luar,” ujar Azka kemudian mulai melangkah.
“Tunggu!” pinta Azkia, lalu beranjak dari tempat duduknya. Dosen muda itu menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu.
Azkia menatap tas ransel hitam yang tersemat di punggung lelaki di hadapannya, lalu menarik napas dalam. Pertanyaan ini sangat mengganggu pikiranya hingga membuatnya melamun saat kelas tadi.
“Saya mau bertanya,” ucap Azkia dengan nada lembut dan membuat dosen muda itu heran. Tak biasanya gadis di belakangnya itu berbicara pelan.
“Apa artinya gadhul bashar dan khalwat?” tanya Azkia kemudian menunduk dalam. Debar jantungnya mulai tak karuan, tetapi ia menikmatinya saat berdekatan dengan dosen muda di hadapannya.
Azka menatap langit-langit koridor berwarna putih, lalu mulai membuka suara setelah menghela napas. “Gadhul Bashar artinya menundukan pandangan dan Khalwat arti singkatnya berduaan dengan yang bukan mahrom. Seperti dalam salah satu hadist Rasulullah : Janganlah ada di antara kalian yang berkhalwat dengan seorang wanita kecuali dengan mahramnya,” jelas Azka panjang lebar.
“Seperti halnya kemarin kamu berpelukan dengan lawan jenis yang bukan mahrom, itu juga dilarang,” ujar Azka.
“Itu tidak sengaja!” ketus gadis bermata sayu kemudian memalingkan wajah. “Kok bisa ya, putri dari pemilik pondok itu suka sama Tuan Angin seperti dia!” gerutu Azkia, tetapi masih dapat di dengar oleh Azka.
“Jangan percaya berita yang tersebar tanpa menanyakan langsung ke sumbernya,” nasehat Azka pelan, meski dalam hatinya bertanya-tanya siapa yang dimaksud ‘Tuan Angin' itu, apakah dirinya atau lelaki lain.
“Kalau begitu, apa benar kamu akan menikah dengan putri pemilik pondok?” tanya Azkia dengan raut yang susah di artikan. Nada bicaranya berubah menjadi pelan dengan memanggil dosen mudanya itu dengan sebutan ‘Kamu’. Entah mengapa kata tersebut ke luar begitu saja dari bibir tipisnya.
“Itu bukan urusan kamu, mau saya menikah dengan siapa pun,” ucap Azka dengan nada dingin kemudian melangkah ke luar dan duduk di kursi depan kelas.
“Dasar Tuan Angin menyebalkan! Tadi bicara yang membuat hati sejuk, lalu kembali pada hakikatnya, menyebalkan!” gerutu Azkia kemudian kembali ke tempat duduknya dengan bibir yang terus saja menggerutu.
“Aaaa!” jerit gadis bermata sayu itu seraya menutup kedua telinganya saat mendengar suara petir tiba-tiba bergemuruh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top