7. Luka dan Cinta
Ada masanya harus terlihat tulus dan ikhlas, meski hati tengah rapuh dan perih. Ada masanya harus terlihat bahagia dan suka cita, meski hati tengah luka nan lara. Ada masanya harus terlihat begitu kuat nan kokoh, meski sejatinya sudah begitu usang dan hampir roboh. (Muhammad Azka Al-Hanan).
***
Semua orang yang masih berada di kampus karena menunggu hujan reda, tiba-tiba di suguhkan pemandangan yang membuat hati para jomlo meronta-ronta.
Seorang gadis bergaun biru muda dengan aksen brokat dari pinggang hingga di bawah lutut tengah berada dalam pelukan pemuda berjaket kulit hitam dan celana jenas berwarna senada.
Gadis bermata sayu itu mencoba membuka matanya perlahan, tampak sosok pemuda tampan dengan hidung mancung, bibir tipis serta kulitnya yang putih mirip artis timur tetapi lokal.
“Lo ...,” ucap Azkia tak percaya. Kemudian, melepaskan pegangan tangannya dan kembali berdiri tegak.
“Enggak usah sok baik nolongin gue!” ucap Azkia ketus dengan pandangan lurus ke depan.
“Kalau enggak di tolongin, kamu bisa jatuh,” tutur lelaki di sampingnya dengan nada lembut.
Alan menatap gadis di hadapannya dengan raut sendu. Ada sesak dan rasa sesal yang menyelimuti hatinya saat ini. Andai ia bisa memilih, mungkin semuanya takkan seperti ini.
“Non! Non enggak apa-apa?” tanya perempuan berseragam serba hitam. Lara menghampiri Nona mudanya setelah memarkirkan mobil mendekat ke arah gerbang. Namun, saat ia menjalankan mobil terdengar jeritan dari Azkia, buru-buru dirinya ke luar dari mobil.
“Enggak,” jawab Azkia ketus sembari menyilangkan tangannya di dada.
“Kalau mau pacaran, jangan di sini. Ini tempat belajar. Cari tempat di mana Allah tidak tau hubungan kalian,” nasehat lelaki yang melintasi tubuh gadis bermata sayu itu.
“Maksudnya!” tanya Azkia dengan suara lantang hingga membuat dosen muda itu menghentikan langkahnya.
“Aktivitas pacaran itu haram. Menatap yang bukan mahrom saja dilarang dalam islam, apalagi sampai menyentuh dan memeluknya!” ujar lelaki berkemeja biru muda sama seperti warna baju Azkia dengan posisi membelakangi murid perempuannya itu.
“Kami enggak pacaran!” ucap Azkia tegas dan lantang.
“Asal lo tau! Dia itu man ...,” ucap Azkia sambil menunjuk ke arah Alan yang berada di sampingnya.
Kenapa ia harus menjelaskan hubungannya dengan Alan pada dosen menyebalkan itu? Mengapa ia merasa, hatinya tak terima dan enggan dosen itu salah paham akan hubungannya dengan Alan?
“Man? Teman maksud kamu? Teman tapi mesra?” ujar Azka kemudian melenggang pergi meninggalkan parkiran.
Azkia mendengkus kesal. Bisa-bisanya dia punya dosen menyebalkan seperti itu. Jika ada dosen lain yang bisa menggantikannya, tentu ia akan belajar dengan dosen tersebut meski tegas.
“Lo enggak usah deket-deket gue lagi! Kita udah enggak ada hubungan apa-apa lagi!” ucap Azkia lalu berniat melangkah.
“Kia ...,” panggil Alan menahan pergelangan tangan gadis bermata sayu itu.
Azkia mengurungkan niatnya, lalu berbalik arah dan menatap pergelangan tangannya yang di pegang oleh Alan. Kemudian, ia menatap lelaki di hadapannya itu dengan raut datar.
Seakan mengerti dengan tatapan gadis di depannya, Alan segera melepaskan pegangan tersebut. “Maaf,” pintanya.
“A-aku enggak ada maksud nyakitin kamu, Kia ...,” ucapan itu berhasil ke luar dari bibir tipisnya. Sungguh, sangat berat mengucapkan kata-kata tersebut.
Azkia menatap lelaki berhidung mancung bak artis timur itu dengan raut yang susah di artikan. “Lo enggak ada maksud nyakitin gue?” tanya gadis bermata sayu itu dan membuat Alan mengangguk.
“Lo enggak ada niat nyakitin gue, tapi lo mutusin gue di depan orang banyak! Dan lo tau, sakitnya seperti apa? Enggak!” tutur Azkia. Tak terasa, air matanya luruh tanpa diminta.
Lara yang berdiri tak jauh dari keduanya, membiarkan Nona mudanya itu mengeluarkan unek-uneknya. Jika ada masalah, baru ia akan turun tangan membelanya. Sekarang, ia tahu, permasalahan yang membuat Azkia menjadi gadis yang ketus dan arogan.
Luka cinta yang di torehkan pemuda itu pasti sangat dalam. Cinta yang terjalin di atas hubungan haram, hanya akan berakhir dengan dua kepastian. Pertama, cinta itu akan memberikan luka yang dalam. Kedua, cinta itu akan bersatu. Namun, bersatunya takkan pernah merasakan kenikmatan cinta halal, meski hubungan mereka telah berubah menjadi halal.
“Buat apa lo kasih gue kejutan, tapi pada akhirnya lo mutusin gue, hah!” ucap Azkia dengan emosi yang sudah menggebu-gebu, lalu mengusap air matanya kasar. Kemudian, ia melangkah meninggalkan Alan yang sudah menunduk pasrah.
“Ayok, jalan!” titah Azkia saat melintasi tubuh bodyguardnya dan memasuki mobil dengan Lara yang membukakan pintu, lalu menutupnya seraya membungkukan tubuh bak menyambut putri raja.
Semua orang yang menyaksikan insiden di parkiran itu menutup mulut tak percaya. Pasalnya, Azkia dan Alan adalah sepasang kekasih yang sangat cocok. Keduanya terlihat sangat romantis dan tidak pernah ada masalah. Lantas, apa yang membuat Alan memutuskan gadisnya?
***
Pemilik alis tebal dan lesung pipit itu menatap kosong jalanan. Namun, tangan kekarnya tetap setia mengemudikan mobil sedan hitam yang ia tumpangi. Pikiran dan hatinya tengah di terpa gundah gulana.
Sepanjang perjalanan Azka terus saja memikirkan insiden di mana gadis bermata sayu itu akan terjatuh. Ia berniat menolongnya, tetapi seorang pemuda berjaket kulit hitam sudah lebih dulu datang dan membuat Azkia jatuh ke dalam pelukannya.
Entah apa yang ia rasakan. Ia merasa hatinya bagai di himpit bebatuan besar. Sesak, perih, tetapi ia berusaha segera menepisnya.
“Astaghfirullah ...,” gumamnya seraya mengusap wajah.
Tidak, ia tidak boleh memikirkan lawan jenis yang bukan mahromnya. Itu tidak baik. Kenapa ia harus memikirkan gadis tak beretika itu?
Suara dering ponsel berhasil mengalihkan fokusnya, Azka segera menepikan mobil dan mengambil benda pipih itu dari saku celananya.
Tertera sebuah nama berisi tiga huruf. “Abi ...,” gumam Azka kemudian menggeser tombol hijau dan menempelkan benda lima koma lima inci itu ke daun telinga kanan.
“Assalamualaikum, Bi?”
“Abi kenapa telepon?”
“Aku di jalan, Bi. Kenapa?”
“Oh, iya, Bi. Sebentar lagi nyampe,” ucap Azka kemudian telepon terputus setelah mengucapkan salam.
Lantas, Azka segera kembali menyalakan mobil dan menancap gas menuju rumahnya. Abinya berpesan agar ia segera pulang. Namun, ia belum mengetahui apa sebabnya.
Lelaki berlesung pipit itu menatap bangunan dua lantai di hadapannya. Rumah bernuansa kecokelatan itu di padukan dengan nuansa islami yang selalu berhasil membuat setiap orang yang berkunjung merasa enggan untuk pulang.
Azka melangkah memasuki rumahnya. Tanganya terulur membuka pintu cokelat seraya mengucapkan salam. Tampak Abinya tengah berbincang dengan sepasang orang tua dan terdapat satu gadis berpakaian syar'i serba hitam tengah menunduk memperhatikan obrolan.
“Assalamualaikum!” salam Azka kemudian menyalami Abinya dan beralih menatap sepasang kedua orang tua tersebut, lalu mencium tangan keduanya dengan takdzim.
“Wa’alaikumsalaam warohmatullah,” jawab semua orang yang berada di ruangan tersebut serempak.
Ruangan serba cokelat dengan beberapa lukisan kaligrafi asma Allah itu terpampang rapi di segala penjuru, serta terdapat satu lukisan yang menjadi obyek utama berada di tengah-tengah tepat satu jalur dengan pintu utama. Yakni lukisan ka'bah. Dimana saat membuka pintu, obyek pertama yang akan masuk ke indera penglihatan adalah lukisan tersebut.
“Azka sudah pulang, Nak. Duduk,” pinta lelaki paruh baya berpakaian jubah putih. Sorban hijau tersemat di lehernya, lengkap dengan peci putih di kepala.
“Umi mana, Bi?” tanya Azka kemudian duduk di samping abinya seraya mengedarkan pandangan.
“Ada, lagi bikin kopi.”
Azka ber-oh ria. Kemudian, lelaki paruh baya di sampingnya itu mulai menjelaskan maksud kedatangan kedua orang tua di hadapannya.
Mereka bermaksud mengajukan pinangan untuk putri mereka, Azrani. Katanya, Azrani sudah lama tertarik pada Azka saat dirinya mondok di pesantren milik abahnya.
Azka terkejut bukan main. Pasalnya, ini pinangan kelima dari pihak pesantren yang sering ia kunjungi. Namun, untuk pinangan kelima ini ia belum tahu jawaban apa yang akan ia utarakan. Pasalnya, orang tua dari putri yang ingin dinikahinya adalah guru Azka.
“Jadi ... gimana, Nak Azka? Apa kamu bersedia menjadi suami Azrani?” tanya sosok pria paruh baya seraya melirik ke arah putrinya yang tengah menunduk, sosok tersebut berpakaian seperti abinya. Bedanya, rambut dan kumisnya mulai memutih.
Sejenak Azka melirik ke arah abinya, lalu menatap uminya yang tengah menyodorkan cangkir berisi kopi dan teh pada semua orang.
“Em, Abah ... Azka ....”
Hening. Semua orang yang hadir menunggu apa jawaban Azka. Terlebih, sosok gadis berpakaian serba hitam yang setia menunduk tetapi mendengarkan dan menunggu jawaban dari lelaki yang ia sukai sejak lama. Namun, semuanya ia pasrahkan pada Sang Pencipta jika memang jawaban lelaki yang di dambakannya tidak sesuai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top