5. Pesona Tuan Angin

Gadis berkulit putih itu menggigit bibir bawahnya, rasa takut menyelimuti hati. Kesya enggan di cap sebagai murid kurang ajar karena membicarakan dosenya sendiri.

Rani si gadis berkulit langsat ia juga mengigit bibir bawahnya, tetapi langsung ia netralkan. Bukan karena takut di cap sebagai murid kurang ajar, ia lebih takut dengan hukuman. Katanya, hukuman dari seorang dosen itu jauh lebih mengerikan dari sapu Emak di rumah. Rumor yang ia dengar dari teman-temannya.

Berbeda dengan sang kedua sahabat, gadis bermata sayu itu justru menatap sosok di hadapannya dengan raut percaya diri. Azkia menyilangkan lengannya di dada saat menatap punggung lelaki berkemeja merah hati tersebut.

"Kenapa, katakan!" ucap Azkia dengan nada penuh penekanan.

"Dompet kamu ... jatuh. Saya taruh di kursi itu," tutur Azka seraya menunjuk kursi di samping kirinya dengan posisi membelakangi ketiga murid perempuannya saat mereka berbalik badan.

Azkia ber-oh ria. Ia ingat, saat mengambil handphone dompetnya ia keluarkan. Namun, ia lupa memasukannya kembali. "Lo enggak buka kan, isinya? Eh, kalo dibuka juga enggak apa-apa, sih!" ujar gadis bermata sayu dengan penuh percaya diri.

Warna baju yang sama membuat mereka terlihat pasangan yang serasi dari bawah. Azkia yang berdiri lebih depan dari kedua sahabatnya, serta Azka yang membelakangi mereka membuat kedua insan berbeda jenis kelamin tersebut seperti dikawal oleh Kesya dan Rani dari belakang.

"Tidak, saya hanya membuka sebentar dan melihat kartu tanda penduduk atas nama kamu," setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Azka langsung berbalik badan dan berjalan melintasi ketiga gadis tersebut.

Kesya dan Rani menghela napas lega. Karena mereka tidak di cap sebagai murid kurang ajar dan tidak mendapatkan hukuman.

Angin menerbangkan rambut kecil di bagian telinga milik Azka, membuatnya semakin terlihat tampan di mata kaum hawa. Terlebih, Rani dan Kesya menatap dosen muda mereka dengan jarak dekat.

"Aduh! Manisnya ...," greget Rani.

"Aaaa meleleh hati ini," jujur Kesya dengan raut wajah menggemaskan dengan kedua tangan memegang bagian dada.

Azkia yang melihat penampakkan tak aneh dari kedua sahabatnya memutar bola mata malas. Mereka itu selalu saja berlebihan dalam memuji ketampanan lelaki.

"Tunggu!" pinta Azkia dan membuat sang dosen muda berhenti melangkah tepat beberapa langkah dari Kesya dan Rani berdiri.

Gadis bermata sayu itu berlari kecil melintasi kedua sahabatnya seraya memegang gaun merah hati yang ia kenakan. Tas ransel mini di punggungnya juga ikut miring sedikit.

"Kenapa setiap berbicara dengan perempuan, lo selalu membelakangi kami?" tanya Azkia sembari membenarkan posisi tas ranselnya.

Gaya bahasa kekinian membuatnya lupa ia tengah berbicara dengan siapa. Kata 'Lo-gue' lebih cocok dengan teman sebaya. Sedangkan Azka adalah dosen yang artinya harus sopan dalam menggunakan bahasa saat berbicara padanya.

Kekinian boleh, ikut zaman silakan. Namun, bijaklah dalam menempatkan. Dimana dan pada siapa kita berbicara, harus tetap menggunakan adab. Karena adab lebih utama daripada ilmu.

"Bisa dirubah gaya bahasanya? Kamu tau sedang berbicara dengan siapa?" tegur Azka dengan nada dingin dan masih dalam posisi yang sama. Membelakangi ketiga murid perempuannya. Bedanya, posisi Azka sudah mendekati tangga.

"Jawab dulu pertanyaan gue!" ujar Azkia penuh penekanan.

"Gadhul bashar!" jawab Azka singkat kemudian melangkah menuruni anak tangga dan meninggalkan ketiga gadis tersebut dengan raut wajah yang kebingungan.

"Apa artinya gadhul bashar?" tanya Azkia sambil melirik ke belakang menatap Kesya dan Rani.

"Mana gue taaaauu ...," ujar Kesya sembari mengangkat bahu, kemudian di angguki oleh si gadis berkulit langsat, Rani.

***

Angin menerpa wajah ayu gadis bermata sayu itu. Lembayung senja di ufuk barat telah menampakkan sinarnya. Azkia tengah berlari sore menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Kakinya terus ia pacu mengelilingi taman dengan tangan setia mengusap keringat di peilipis menggunakan handuk kecil yang mengalung di lehernya.

Kaus hitam selutut dengan lengan seperempat, celana training senada dan rambut kucir kuda yang bergelantungan kesana-kemari akibat sang pemilik tengah berlari.

Azkia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan dengan mata terpejam saat sudah berhenti di kursi taman.

Mendadak pergelangan tangannya seperti ada yang menarik, detik selanjutnya manik hitam mata sayu itu temu pandang dengan mata berwajah bengis.

"Ikut gue!" perintah lelaki berpakaian seperti preman sambil menarik paksa Azkia.

Gadis bermata sayu itu merintih kesakitan, saat merasakan tenaga kuat dari sosok yang menariknya dengan paksa. Rambut kucir kudanya ikut terayun dan membuat handuk di lehernya jatuh ke area rerumputan taman.

Bibir tipis Azkia sebisa mungkin meminta pertolongan, tetapi semua orang yang berada di taman hanya memperhatikannya dengan raut wajah ketakutan. Bukan mereka yang tega, tetapi mereka lebih sayang nyawa ketimbang menolong gadis malang tersebut. Pasalnya, preman yang menarik paksa Azkia membawa senjata tajam berupa pisau.

Mata sayu itu menatap satu persatu orang-orang yang ia lintasi dengan penuh harap meminta pertolongan, saat tubuh idealnya di tarik paksa oleh preman bertenaga di hadapannya.

Lutut Azkia terasa perih saat aspal menggesek menembus celana training dan membuatnya robek. Azkia sudah tak kuat berjalan, hingga membuatnya tersungkur ke aspal meski preman tersebut masih setia menarik paksa dirinya.

"Sialan!" umpat preman tersebut saat genggamanya terlepas dan mendapat satu tinju yang membuatnya tersungkur juga ke aspal.

Azkia mendongakkan kepala. Tampak sosok berkaus oblong putih dengan celana training hitam, lengkap peci hitam yang setia tersemat di kepalanya tengah melawan preman tersebut tak jauh dari posisinya yang berada di parkiran taman.

"Pak Azka ...," gumam Azkia menatap sosok di depannya tak percaya.

Azka tersungkur ke aspal dan membuat gadis bermata sayu itu memekik pelan. Tak bisa dipungkiri, ia khawatir dengan sosok lelaki yang tengah membelanya.

Aksi saling menjatuhkan pun terjadi dan membuat semua orang yang hadir di taman bersorak sorai memberikan semangat untuk Azka. Pemuda tampan berlesung pipit itu sejenak melirik ke arah Azkia dengan tatapan yang susah di artikan.

Lantas, ia berdiri dan membuat peci di kepalanya terjatuh. Namun, ia hiraukan karena serangan dari preman di depannya hampir mengukir sembap di wajah, tetapi dirinya berhasil mengelak dan membuat rambut depannya beterbangan.

Mendadak gelenyar aneh itu kembali hadir di relung bagian dada Azkia saat melihat aksi dosen mudanya. Pesona dari seorang Azka membuat gadis bermata sayu itu diam sejenak dan menghiraukan perih yang masih menjalar di lututnya.

"Neng!" panggilan seseorang berhasil membuyarkan lamunan Azkia. Ia langsung menoleh.

"I-iya, Bu?" ujar Azkia sembari menarik bibir ke samping.

"Itu suaminya udah selesai bela Neng."

Azkia membola. "Su-suami?" tanya Azkia kemudian di angguki oleh ibu-ibu paruh baya bergamis maroon lengkap dengan jilbab instan senada.

Netra Azkia mengikuti arah telunjuk ibu-ibu di sampingnya. Tampak sosok dosen muda itu sudah berdiri di hadapan Azkia.

Gadis bermata sayu itu sedikit mendongakkan kepala. Kemudian kembali terpesona dengan ketampanan dosen muda berkaus oblong putih tersebut, pecinya sudah kembali tersemat di kepala.

"Neng! Ayok atuh, berdiri. Itu suaminya kasian, udah nunggu!" ucapan wanita paruh baya di samping Azkia berhasil membuat kupu-kupu di perutnya beterbangan, lalu bibir tipisnya tersenyum simpul.

Lantas, Azkia berdiri dibantu oleh ibu-ibu tersebut dan berhadapan dengan Azka, hingga membuat jantungnya bedegup lebih kencang. Merasa kedua pasangan halal itu membutuhkan ruang, wanita paruh baya itu segera berpamitan undur diri.

Berbeda dengan Azkia, Azka malah menatap sosok gadis di hadapannya dengan raut datar. "Preman tadi sudah pergi, lain kali hati-hati!" peringat lelaki berlesung pipit itu kemudian melangkah pergi.

"What! Dasar nyebelin! Bukannya nawarin anter pulang kek, atau apa, kek! Dasar nyebelii ... in!" gerutu Azkia, lalu segera menutup mulutnya.

Merasa apa yang di ucapkannya tak seharusnya ke luar dari bibir, ia segera mendengkus kesal. Baru saja di terbangkan bersama kupu-kupu, detik selanjutnya ia harus menerima perlakuan yang tak sesuai harapannya.

"Eh ... tunggu! Kenapa aku malah berharap di anterin sama si Tuan Angin menyebalkan itu!" gumam Azkia kesal, kemudian melangkah meninggalkan taman dengan keadaan tertatih-tatih.

Tuan Angin ia sematkan karena lelaki bernama Azka itu seperti angin. Kadang membuatnya sejuk, kadang resek dan menyebalkan. Terlebih, mereka bertemu di Kota Angin. Jadi ia rasa sematan itu akan mulai ia gunakan untuk dosen muda tersebut.

***

"Azkia!" pekik seseorang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top