3. Hari Pertama
Suara seseorang dari belakang berhasil membuat gadis bermata sayu itu menoleh, kemudian bibirnya tertarik ke samping membentuk lengkungan sabit. Tampak dua gadis bertolak belakang warna kulit itu menghampiri Azkia.
"Kia, lo ke mana aja, sih? Dicariin juga dari tadi," keluh Rani si gadis berkulit langsat.
Bukannya menjawab, Azkia malah terkekeh pelan. "Biasalah, gue tadi ke kebun teh."
"Hilih! Enggak ngajak kami," rajuk Kesya si gadis berkulit putih.
Tiba-tiba Azkia tertawa saat melihat dua sosok sahabatnya menampakkan raut wajah kesal. Entah kenapa, dia paling suka jika kedua sahabatnya itu merajuk. Gelak tawanya mengundang perhatian lalu-lalang kendaraan.
"Hussst!" ucap Rani sembari menutup mulut Azkia agar menghentikan tawanya.
"Ishh, apaan, sih!" gerutu gadis bermata sayu setelah melepaskan tangan gadis bergaun merah muda, Rani.
"Lagian, lo enggak tau malu, Ya! Liat, orang-orang merhatiin kita," sahut Kesya gadis bergaun biru muda sembari menunjuk ke arah lalu-lalang kendaraan, kemudian menunjuk trotoar yang mereka pijak dengan menyebut nama belakang 'Azkia' menjadi 'Ya'.
Bukannya menyesal, Azkia malah cengengesan saat melihat raut kesal di wajah kedua sahabatnya. "Sorry ... vish," ujar gadis bermata sayu sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf 'V'.
Rani dan Kesya memutar bola mata malas, kemudian ketiganya tertawa bersama. Bahkan, lebih keras dan lebih mengundang perhatian orang-orang yang melintasi trotoar di mana ketiga gadis itu berada.
Benar kata orang, sahabat sejati adalah sahabat yang selalu ada dikala suka atau pun duka. Buktinya, ketiga gadis tersebut melupakan keanggunan pakaian mereka dan tertawa bersama di trotoar persis seperti orang gila dan menghiraukan tatapan aneh dari orang-orang. Benar-benar sahabat sejati, gila bersama.
"Udah-udah, perut gue sakit," ucap Rani kemudian ketiganya berhenti tertawa.
"Eh, luka di pelipis lo udah baikan, Az?" itu gadis berkulit putih yang bersuara, Kesya biasa memanggil Azkia dengan sebutan 'Az' atau 'Ya'. Jika tidak kedua huruf depan, pasti dua huruf belakang. Panggilan sahabat, katanya.
Azkia mengangguk. "Udah, kok. Tinggal pemulihan," jawab Azkia seraya menyentuh pelipisnya yang ditempeli plaster cokelat, lalu merapikan rambutnya yang terkena angin.
"Balik, yuk, ke penginapan?" ajak Rani, kemudian diangguki oleh Azkia dan Kesya. Ketiganya berjalan beriringan menyusuri trotoar sambil saling merangkul, indahnya persahabatan.
***
Liburan telah usai, pikiran Azkia pun sudah sedikit tenang. Meski setiap kali membuka akun sosial medianya, ia selalu di suguhkan dengan postingan Alan sang pujaan hati. Ralat, 'Mantan'.
Gadis bermata sayu itu tengah bersiap untuk memulai hari pertama kuliahnya. Hari ini, gadis tersebut memulai masa proses dewasanya. Gaun di bawah lutut berwarna merah hati menjadi pilihan. Tak lupa kalung mutiara serta anting-anting senada ia kenakan.
Satu set kedua perhiasan tersebut adalah pemberian sang ibunda sebelum melahirkannya. Kata Irwan sang papah; saat dirinya masih dalam kandungan, ibunya sudah membelikan perhiasan tersebut khusus untuk Azkia saat ia berusia tujuh belas tahun nanti.
Satu tahun perhiasan mutiara itu sering Azkia kenakan. Terlebih, saat rindu dengan mendiang sang ibunda hampir setiap hari ia mengenakannya.
Azkia menatap pantulannya di depan cermin, lalu merapikan rambutnya yang sengaja ia kuncir kuda agar tidak mengganggu pelajarannya nanti. Kemudian, tangannya terulur memoleskan make up natural. Lipstick merah muda, serta maskara. Hanya itu yang Azkia pakai. Ia memang termasuk kategori gadis kekinian, tetapi dalam hal make up dirinya tidak ingin berlebihan.
"Kia! Udah siap, Sayang?" tanya Irwan dari bawah. Kamar Azkia yang berada di atas membuatnya harus setengah berteriak sepagi ini untuk memanggil putri semata wayangnya.
"Udah, Pah!" ujar Azkia sambil menutup pintu dan menatap pria dewasa yang sudah menunggunya di bawah tangga.
"MaaSyaa Allah, cantiknya anak Papah," puji Irwan dan membuat putrinya tersipu malu.
"Papah bisa aja," ucap Azkia kemudian terkekeh setelah berdiri di samping sang papah.
"Mau sarapan dulu?" tanya Irwan sembari merapikan jas abu-abu yang ia kenakan lengkap dengan celana senada.
Azkia menggeleng. "Nanti aja, di kampus, Pah."
"Oke. Uang bulanan udah Papah transfer, ya."
Lantas, Ayah dan putri tersebut ke luar rumah dengan Azkia yang bergelayut manja di lengan papahnya.
Beberapa hari sebelum Azkia dan Alan putus, pengumuman kelulusan sudah diselenggarakan. Bukan hal yang aneh lagi, Azkia mendapat nilai terbaik sampai pihak sekolah ingin Azkia kuliah ke luar negri. Namun, Irwan sang papah enggan jauh dari putrinya. Alhasil, gadis bermata sayu itu hanya diperbolehkan kuliah di universitas ternama di Jakarta.
Selain cantik, sosok gadis bermata sayu itu memang berprestasi. Cerdasnya keturunan dari Irwan sang papah. Namun, bakat tidak bisa bergantung pada keturunan, melainkan bakat bisa diciptakan dengan rajin mengasah kemampuan. Tentunya, dengan belajar.
Angin menerpa pipi mulus Azkia, mata sayu itu terus menatap lalu-lalang kendaraan. Kemudian, senyum tak pernah pudar tercetak di wajah ayunya.
"Pulang nanti, Pak Rudi yang jemput ya, Sayang ...," ujar Irwan kemudian mencium kening Azkia.
"Baik, Pah." Azkia segera meraih tangan sang papah, kemudian mencium punggung tangannya dengan penuh hormat.
Pak Rudi adalah sopir yang sudah lama bekerja di rumah mereka. Sosok pria paruh baya asal jawa itu selalu sopan dan merendah saat berbicara dengan majikannya.
"Dah, Papah!" ucap Azkia seraya melambaikan tangan menatap kepergian mobil sedan putih.
Azkia melirik arloji hitam yang tersemat di tangan kirinya, tampak jarum jam pendek menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh. Lima menit lagi mata kuliah pertamanya akan dimulai. Ia harus segera sampai sebelum dosen masuk.
Kaki jenjangnya melangkah lebih cepat saat menaiki anak tangga. Kemudian, sosok bertubuh tinggi dari arah dinding kiri muncul saat Azkia menginjakkan kakinya di tangga paling atas.
"Astaghfirullah!" ucap sosok lelaki mengenakan kemeja merah hati dengan celana hitam lengkap dengan peci hitam tersemat di kepalanya.
Azkia terlonjak kaget, kemudian mengelus dadanya pelan, lalu megembuskan napas mencari ketenangan. "Eh, kalo jalan liat-liat, dong!" ujar gadis bemata sayu itu kesal.
"Maaf, Mbak. Saya buru-buru soalnya," tutur lelaki di hadapan Azkia yang langsung menundukkan pandangan.
"Bentar, kayaknya gue pernah liat lo lagi posisi nunduk gini. Tapi ... di mana, ya?" ujar Azkia kemudian menatap langit-langit koridor lantai dua sambil mengetuk-ngetukan telunjuknya ke dagu.
"Ooh, iyaiya. Kemarin ...," belum selesai Azkia berbicara, sosok pemuda di hadapannya sudah berjalan meninggalkan dirinya.
"Eh, tunggu! Lo suka sama gue?" pertanyaan Azkia berhasil membuat lelaki tersebut berhenti melangkah.
"Maksud, Mbak?" tanyanya dengan posisi membelakangi Azkia.
"Warna baju lo sama kayak warna baju gue!" jawab Azkia penuh percaya diri sambil menyilangkan tangannya di dada.
"Maaf, Mbak. Mungkin hanya kebetulan," ujarnya kemudian beranjak pergi.
Azkia terus mengerjarnya sambil meminta sosok pemuda tersebut agar berhenti melangkah. Bukan karena mengejar cinta atau pun kepastian, melainkan ia ingin melihat wajah pemuda tersebut karena kemarin saat pertemuan pertama dirinya belum sempat melihat.
"Eh, tunggu!" ucapan Azkia berhasil menyedot perhatian semua orang yang berada di dalam ruangan.
Azkia yang berada di ambang pintu menatap mereka dengan raut yang sudah tidak bisa diartikan. Malu, lebih tepatnya. Kemudian, netranya beralih menatap sosok pemuda tersebut yang sudah duduk di kursi paling depan menghadap pada semua orang.
Ia baru ingat, ruangan yang ia pijak adalah ruang kelasnya. Sekarang, apa yang harus ia perbuat?
"Jadi ...."
Tolong, siapa pun tolong panggilkan kucing biru dari Jepang itu. Azkia ingin meminjam pintu ke mana saja agar ia bisa menghilang dalam sekejap mata, malu membuatnya seperti terlihat orang bodoh.
Azkia berjalan ke arah kursi kosong sembari menutup wajahnya yang sudah merah karena malu, tepat di barisan ke dua satu jalur dengan kursi dosen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top