24. Berita

Lelaki berlesung pipi itu menghela napas, lalu melangkah menghampiri sosok yang tengah berlutut dan menunduk pasrah. Ia merasa iba pada Alan, tetapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Karena hati, tak bisa dipaksa harus pada siapa berlabuh.

Azka menepuk pundak lelaki itu dengan pelan, hingga membuat Alan mendongak dan menatapnya. Helaan napas berat terdengar saat pemuda di hadapannya kembali menunduk pasrah.

“Yang sabar. Ini masalah hati, tidak bisa dipaksa,” nasehatnya setelah menyejajarkan posisi dengan Alan.

Lantas, ia segera pamit pada pemuda tersebut. Mengingat Abah sang guru sudah memanggilnya untuk ke suatu tempat. Ia harus segera tiba di sana sebelum azan magrib berkumandang.

“Lo suka sama Azkia?” ujar Alan dengan nada datar dan membuat Azka berhenti melangkah.

Alan segera berdiri, lalu menghampiri lelaki berpeci hitam itu. Kemudian, berdiri di depan Azka dan menatap pemilik lesung pipi itu dengan serius.

“Lo suka sama Azkia?” ucap Alan mengulang pertanyaan yang sama.

Hening. Azka bergeming menatap Alan tanpa ekspresi apa pun. Setelah itu, ia melangkah dan melintasi tubuh pemuda di depannya.

“Kalau lo suka sama Azkia, perjuangkan. Gue dukung lo, tapi dengan satu syarat!” ucap Alan saat Azka sudah berada di belakangnya, lalu ia berbalik badan.

“Maksud kamu?” Azka menatap Alan heran, antara tidak paham atau paham, tetapi pura-pura tidak paham.

“Gue minta, lo jaga Azkia dengan baik. Buat dia bahagia. Dia gadis baik, gue enggak mau liat dia nangis lagi. Cukup gue dan jangan orang lain.” Alan menjeda ucapannya, sejenak menghela napas berat kemudian menunduk.

Alan menatap Azka dengan tatapan serius. “Kalau lo sampe nyakitin Azkia, lo bakal berurusan sama gue! Ingat, lo harus buat Azkia terus tersenyum!” ucapnya sembari menunjuk wajah Azka.

“Gue akan ke Eropa, buat memulai bisnis baru Papah gue dan memulai hidup baru,” tuturnya setelah menurunkan jari telunjuk dari hadapan dosen muda tersebut.

“Mungkin Azkia bener, gue enggak seharusnya pisah sama istri gue. Gue bakal memulai semuanya dari awal lagi, tapi! Kalau gue denger Azkia disakitin, gue akan segera balik ke sini lagi!” sambungnya.

“Saya ada urusan, permisi!” pamit Azka tanpa merespon apa pun dari perkataan Alan.

Azka melangkah dengan cepat ke arah parkiran, lalu masuk ke dalam kendaraan beroda empat dan melesat pergi meninggalkan Alan seorang diri dengan pertanyaan tanpa jawaban.

Sepanjang jalan, Azka terus saja melafalkan istigfar. Hatinya tengah dilanda gelisah, entah apa alasannya. Pun, berita yang ia dengar dari Abah Apip membuatnya semakin tak karuan.

Azka menatap gedung menjulang tinggi di depannya. Bangunan berlantai lima itu menjadi tempat para orang sakit. Seseorang yang berharga tengah terbaring di brankar salah satu ruangan yang ada di dalam.

Ia segera melangkah masuk setelah menutup pintu mobil. Langkahnya tergesa-gesa, melihat nama-nama ruangan. Ia tengah mencari ruang melati seperti informasi yang di dapatkan dari resepsionis di ruang lobi tadi.

Netranya menangkap sosok pria paruh baya berjubah putih, sorban biru lengkap dengan peci putih tengah berdiri di depan ruangan. Azka segera menghampiri orang yang telah mendidik ruhnya itu, tak lupa senyum ia pancarkan meski hati tengah berkecamuk tak karuan.

“Abah ...,” ucap Azka kemudian menyalami sang guru dengan takzim.

Pria yang dipanggil ‘Abah’ itu tersenyum, lalu mempersilakan muridnya untuk duduk di kursi panjang berwarna cokelat yang terbuat dari kayu, tepat di depan ruangan.

“Nak ....” Abah melirik ke arah Azka dengan suara yang rendah.

Azka segera menghadap sang guru, saat mendengar panggilan dari Abah Apip. Posisinya kini berhadapan langsung dengan pemilik pondok tempat di mana ia memperdalam ilmu agama.

“Labaik, Bah. Nggih?” ujarnya memenuhi panggilan dari sang guru.

“Kamu bersedia jika harus menikah dengan Azrani sekarang?” tanya pria yang kumis dan jenggotnya mulai memutih itu tanpa basa-basi.

Azka bergeming. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Saat khitbah beberapa hari yang lalu, ia dan Azrani akan menikah tepat satu bulan yang akan datang. Namun, mengapa harus secepat ini?

“Jika itu yang terbaik, menurut kehendak Allah dan sesuai keinginan Abah, insyaa Allah aku siap, Bah!” ujar Azka dengan mantap tanpa keraguan sedikit pun.

“Alhamdulillah! Abah akan segera siapkan semuanya. Terima kasih, Nak,” ucapnya sembari mengusap bahu sang murid pelan dengan senyum yang sudah terbit di wajahnya.

“Sama-sama, Bah. Terima kasih juga karena sudah mempercayai Azka untuk menjadi imam putri Abah.” Azka tersenyum setelah mengatakan itu.

"Tapi, Bah ... kalau boleh tau, apa alasan semua ini?” akhirnya, pertanyaan itu terlontar juga.

Azka tak ingin menentang keinginan gurunya. Karena ridho Allah, ada pada ridho guru. Ia tak bisa menolak permintaan Abah. Selagi ia bisa, akan ia usahakan untuk memenuhinya. Namun, ia juga tak ingin menikah dengan penuh tanda tanya.

“Jadi, Azrani itu ....”

“Permisi, pasien atas nama Azrani sudah sadar. Pihak keluarga bisa menjenguknya sekarang,” tutur seorang suster yang baru saja ke luar dari ruang pasien.

Azka yang menunggu jawaban dari sang guru, mendongak bersamaan dengan Abah. Kemudian ucapan hamdalah terucap pelan dari kedua bibir masing-masing sembari mengusap wajah dengan penuh rasa syukur.

“Baik, Sus. Saya tunggu uminya Azrani dulu,” ucap Abah kemudian suster itu menangguk dan meminta izin undur diri untuk kembali ke ruangannya.

Netra seseorang terbuka secara perlahan, lalu menangkap dua sosok yang sangat dikenalinya. Bibir pucatnya tertarik ke samping saat obyek tersebut sudah semakin jelas, lalu tangannya terulur memegang kepala yang terasa nyeri.

“Abah ... Umi ...,” gumamnya kemudian meringis beberapa kali sambil terus memegang kepalanya.

“Iya, Sayang ... ini Umi dan Abah,” ucap wanita paruh baya memakai gamis abaya hitam.

Abah Apip menatap putrinya dengan sendu, hatinya pilu tatkala melihat kondisi gadis tersebut. Selama ini, Azrani telah menyembunyikan hal sebesar itu darinya dan sang istri. Namun, hal itu tak membuatnya marah. Abah Apip tahu, putrinya itu tak pernah berbohong dan pasti memiliki alasan yang kuat kenapa gadis itu menyembunyikannya.

Tangannya terulur mengusap kepala Azrani pelan, lalu menarik kursi dan duduk di samping tubuh putrinya.

“Katakan, Nak. Kenapa kamu menyembunyikan ini semua dari kami?” ujarnya kemudian melirik ke arah sang istri.

Azrani menunduk, lalu sejenak memainkan jari jemarinya. “Maaf, Bah. Azrani hanya tidak ingin membuat Abah dan Umi khawatir,” ucapnya pelan.

“Enggak papa, Nak. Abah sama Umi paham. Tapi, Abah enggak suka kamu enggak jujur begini,” tutur Abah Apip menatap putrinya dengan serius dengan suara yang tetap lemah lembut.

Sejak kecil, Azrani memang sangat dididik untuk selalu mengikuti sifat dan prilaku Rasulullah. Selalu berkata jujur dan amanah. Tak pernah sekali pun, seorang Azrani berbohong meski hal kecil.

Didikikan kedua orang tuanya yang sering bercerita dosa dan siksaan, membuat Azrani ketakutan dan enggan berkata tidak jujur. Sebisa mungkin, ia selalu berkata apa adanya. Karena itulah, ia dikirim ke Yaman pada saat lulus sekolah dasar agar bisa lebih mendalami ilmu agama di kota para wali tersebut.

Enam tahun berada di sana, membuat Azrani semakin menjadi sosok gadis idaman. Bercadar, tawadhu, sering menunduk, berkata lemah lembut, dan tak pernah sedikit pun ia membentak kedua orang tuanya atau berbicara dengan nada tinggi.

Mungkin karena hal itu, Allah memberikan ujian sebagai tanda kasih sayang. Namun, manusia tak ada yang sempurna. Begitu juga dengan Azrani, dalam hal ini ia tak dapat berkata jujur.

“Iya, Bah. Azrani minta maaf,” pintanya kemudian meneteskan air mata.

Wajah ayunya terpampang jelas tanpa sehelai kain yang biasa ia kenakan, membuat raut pucat pasi dengan pipi yang sudah tirusnya bisa di lihat leluasa. Entah sejak kapan gadis itu menyembunyikan penyakitnya.

“Abah sudah meminta Azka untuk menikahi kamu sekarang, Nak!” pernyataan Abah Apip membuat Azrani menggeleng tak percaya.

Azrani segera memegang tangan abahnya berniat ingin protes. “Abah ....”

“Tidak ada penolakan, Nak. Sayang, Abah hanya ingin yang terbaik untuk kamu,” potong Hanifah memberikan nasehat pada putrinya, lalu mengusap kepala Azrani pelan seraya tersenyum tulus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top