22. Hujan Angin
“Hujan itu seperti takdir lainnya. Dipinta atau pun tidak, tetap akan turun dan mengalir.” (Muhammad Azka Al-Hanan).
***
Tatapan lelaki berlesung pipi itu lurus, rautnya datar tanpa ekspresi sedikit pun. Membuat Azkia yang berada dalam gendongannya bergeming tak mampu berkutik, ditambah kampus yang sudah sepi membuat mereka tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Jantung Azkia berdebar semakin cepat tatkala kepalanya sejenak terbentur dada bidang Azka. Benar, cinta itu semakin kuat. Cinta itu semakin tumbuh, tetapi entah bagaimana cara ia mengungkapkannya. Sepanjang dosen itu membawanya, ia memejamkan mata. Tak ingin setan berhasil menggodanya untuk menatap Azka.
Dosen muda itu berniat membawa Azkia ke rumah sakit, tetapi saat sampai di koridor utama mendadak air mengguyur dengan deras. Hujan seakan ingin keduanya tetap berada di kampus.
Azka menatap nanar air yang turun, lalu menurunkan gadis tersebut dan membantunya duduk di kursi depan kelas. Sejurus kemudian Azka menjauh dari Azkia dan bersandar pada tiang tepat di seberang gadis itu duduk.
“Siapa yang buat kamu terkilir?” tanya Azka sembari menatap hujan turun.
Azkia yang semula menunduk, segera mendongak saat mendengar dosen mudanya membuka suara. “Kesya,” cicitnya kemudian menunduk kembali.
Azka menghela napas, lalu memasukan kedua tangannya ke saku celana. Rautnya masih sama, datar tanpa ekspresi.
Berbeda dengan Azkia, gadis itu meremas tangannya sendiri. Takut jika ada yang melihat mereka berduaan di tempat sepi seperti ini. Pun, detak jantungnya semakin tak karuan mengingat momen tadi. Di mana Azka menggendongnya dengan keadaan dirinya sadar. Berbeda saat tempo hari, pertama kali Azka menyentuhnya tengah pingsan. Itu pun, dibantu oleh bodyguardnya. Lara.
Azkia tersenyum tipis, aroma khas dosen muda itu masih ada. Seakan membawanya pada beberapa menit masa di mana ia memeluk Azka dalam gendongan lelaki tersebut.
“Astaghfirullah ...,” gumamnya pelan. Azkia segera menepis pikiran tersebut. Jangan sampai ia terlena dengan hasutan setan.
Beberapa kali gadis itu melafalkan istigfar, berharap segera bisa lupa akan momen tadi. Meski manis, itu hanya kebetulan. Azka hanya kasian padanya, bukan berarti memiliki rasa. Pun, karena terpaksa tidak ada orang lagi selain dirinya. Azkia harus sadar akan itu. Ia harus ingat, lelaki yang ia cintai sudah resmi menjadi calon suami Azrani.
Azkia terlonjak saat merasakan beberapa tetes air mengenai kepalanya, lalu mendongak dan mendapati langit-langit yang sudah basah.
Mendadak air yang ke luar dari langit-langit semakin deras, ia berusaha berdiri meski kakinya terasa semakin sakit. Namun, ia terus memaksakan agar pakaiannya tidak basah.
Azkia berhasil berdiri, ia tersenyum gembira. Kemudian, ia mencoba melangkah. Bisa, meski pelan-pelan sambil tertatih-tatih. Namun, baru beberapa langkah ia merasakan lantai yang kakinya pijak terasa licin hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Pak Azka!” panggil Azkia dengan keras saat merasakan tubuhnya akan terjatuh.
Azkia merasa jantungnya akan ke luar saat ia kehilangan keseimbangan sepenuhnya sembari menutup mata. Namun, ia tak merasakan lantai yang basah atau dinginnya marmer, melainkan ia jatuh pada pelukan seseorang.
Perlahan gadis itu membuka matanya, lalu mendapati sosok tampan berpeci hitam tengah menatapnya dengan raut yang sulit diartikan. Ditemani hujan dan angin yang menerpa membersamai keduanya.
“Astaghfirullah ....” Azka memejamkan mata seraya melafalkan kata-kata tersebut beberapa kali. Meminta ampunan.
Lantas, ia membantu gadis itu berdiri. “Mau ke mana sih? Kalau jatuh bagaimana!” ketusnya kemudian mengalihkan pandangan ke sembarang arah.
“Itu, bocor, Pak.” Azkia menunjuk kursi yang sudah basah.
Tangan kekar dosen itu masih memegang kedua bahu gadis tersebut. Jantung Azkia semakin berdebar, merasakan getaran hebat pada hatinya. Seperti banyak kupu-kupu yang beterbangan dalam perut, serta bunga-bunga bermekaran dalam hatinya.
“Awww!” ringis Azkia.
Kedua insan berbeda jenis kelamin itu refleks melihat ke
bawah, tampak lebam biru semakin menjalar di kaki sang gadis.
“Aduh!” keluh Azka saat kepalanya terbentur dengan kepala gadis di sampingnya pasca mendongak kembali.
Azka menghela napas berat. “Ayok, duduk di sana,” ajaknya menunjuk ke arah kursi tak jauh dari posisinya berdiri.
Hujan semakin lebat dengan angin kencang terus menerpa. Beruntung tidak ada suara gemuruh dari petir, hingga membuat Azkia masih merasa tenang.
“Duduk,” ujar Azka setelah sampai di kursi yang di tuju.
Lelaki itu berjongkok, lalu menarik kaki sang gadis hingga menimbulkan suara yang membuat hati ngilu. Azkia menjerit kesakitan, meski setelah itu merasa lebih baik.
“Awww ... sakit, Pak,” keluhnya.
“Manja, deh!” ketus Azka kemudian berdiri dengan pandangan ke sembarang arah.
“Terima kasih,” gumam gadis itu pelan, tetapi masih bisa di dengar oleh dosen muda di depannya.
Azka segera melangkah ke arah tiang, kembali menjauh dari posisi Azkia. Ia tak ingin setan berhasil menghasutnya hingga melupakan syareat. Lebih baik mencegah, dari pada mengobati. Lebih baik menjauh, sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.
“Makannya, kalo jalan itu liat-liat. Biar enggak jatuh dan pake acara ke sandung segala,” ketus Azka setelah membelakangi gadis tersebut.
“Namanya juga musibah, siapa juga yang mau.” Azkia ikut ketus, kesal dengan perkataan dosen mudanya. “Kenapa juga harus ditolongin sama Tuan yang menyebalkan seperti angin. Huh, dasar Tuan Angin!” sambungnya memelankan kalimat terakhir.
“Kenapa juga harus hujan dan membuat aku terjebak dengan si Tuan menyebalkan seperti dia,” gumam Azkia.
““Hujan itu seperti takdir lainnya. Dipinta atau pun tidak, tetap akan turun dan mengalir,” ucap Azka menanggapi keluhan mahasiswanya.
“Yaa, tapikan—“
“Non Azkia!” panggil seseorang dengan pakaian hitam lengkap dengan payung berwarna senada.
Akan tetapi, wanita itu tidak sendiri. Ia datang bersama seorang lelaki memakai jaket denim dipadu dengan kaus hitam dan celana jeans berwarna senada.
Azkia menoleh, lalu tersenyum. Bersyukur, sebelum insiden bocor langit-langit tadi, ia sempat menghubungi bodyguardnya. Beruntung, tak ada petir hingga membuat
Lara bisa secepatnya menjemput sang nona muda. Ia juga bahagia, akhirnya tak berdua lagi dengan Tuan Angin menyebalkan itu.
“Non enggak papa?” tanya Lara dengan nada khawatir saat
melihat kaki nona mudanya lebam dan terlihat membiru.
“Terkilir. Alhamdulillah tadi ....”
“Alan!” pekik Azkia saat melihat lelaki itu meninju dosen mudanya.
Azka mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, lalu melafalkan istigfar beberapa kali. Ia tidak boleh tersulut emosi, hingga membuat setan tertawa. Tidak, ia harus ingat nasehat Rasulullah bahwa diam saat emosi itu sangat dianjurkan agar tidak semakin memperkeruh suasana.
“Lo kan yang udah buat Azkia seperti itu, hah!” ucap Alan dengan lantang sembari menunjuk ke arah gadis itu duduk.
“Astaghfirullah, kamu salah paham.” Azka mencoba bersikap tenang.
“Alah ....” Alan berniat meninju kembali Azka, tetapi tangannya mengudara. Lelaki berpeci itu berhasil menahannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top