21. Tak Terduga
Azkia mengalihkan pandangan. Netranya menatap nanar jalanan dengan hati yang sudah berkecamuk. Entah ia harus bahagia atau sedih. Bahagia karena lelaki itu akan menjadi imam dari orang yang sudah mengubahnya menjadi seperti ini, tetapi ... ia tak ingin munafik. Hatinya sakit saat melihat lelaki itu sangat perhatian terhadap Azrani.
Azrani melirik ke arah gadis di sampingnya saat mendengar isakan kecil. Tampak Azkia mengusap butiran bening yang mengalir di pipi. Ia segera menggeser posisinya agar lebih dekat dengan gadis itu.
“Kia ... kamu kenapa?” ucapnya sembari mengusap bahu Azkia pelan.
“Eh ... enggak, kok. Enggak papa,” kilah Azkia dengan suara yang sudah parau akibat menahan isak, lalu tersenyum.
“Bener?” tanya Azrani memastikan dan langsung direspon anggukan dari gadis di sampingnya.
Azkia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia tidak boleh terlihat rapuh atau menangis. Biarlah keduanya bahagia, meski hatinya yang akan menjadi korban.
***
Bibir tipisnya tersenyum saat mendapati sosok pria dewasa di ruang makan tengah memakan roti tawar, lalu ia segera menghampiri sang papa setelah merapikan jilbab hitamnya.
“Enggak akan terkejut,” tutur pria dewasa itu membuat putrinya memajukan bibir, sebab niatnya akan membuat sang papa terkejut malah lebih dahulu mendapat pernyataan.
“Ish, Papah! Aku kan belum buat Papah kaget,” keluh Azkia kemudian duduk di samping papahnya.
“Yaa, lagian, enggak ada kerjaan.” Irwan kembali memakan roti tawar yang tinggal sepotong.
“Becanda kali, Pah. Biar moodboster.”
“Tumben.”
“Tumben?” tanya Azkia heran sembari melirik ke arah Irwan. Kemudian kembali mengoleskan selai nanas ke atas roti.
“Kamu cantik!”
Azkia yang berniat memasukan roti ke dalam mulut, terhenti mendengar ucapan dari papahnya. “Apa? Jadi kemarin-kemarin aku enggak cantik?” ketusnya, lalu meletakan roti ke atas piring.
Irwan terkekeh. “Kemarin cantik, pagi ini lebih cantik,” ucapnya dengan tulus kemudian mengusap kepalan sang putri penuh kasih sayang.
“Hari ini kamu kuliah?”
“Iya, Pah. Satu jam lagi,” ujar Azkia, lalu memakan roti yang sempat ia tunda.
Sang papah mengangguk paham. “Enggak mau izin dulu? Di luar cuacanya mendung, loh. Kamu kan baru sembuh, nanti kehujanan lagi gimana?”
“Insyaa Allah enggak, Pah.”
“Ya sudah, hati-hati. Papah berangkat dulu ya, Sayang,” pamitnya kemudian mengecup kening Azkia, lalu mengusap kepala gadis itu pelan.
***
Semua mata tertuju pada sosok tampan di depan kelas. Tangan mereka bergerak menyusuri garis-garis kertas, serta huruf-huruf yang mulai di tuliskan mengikuti penjelasan dari dosen muda mereka.
Azka menjelaskan dengan lantang beberapa materi seputar manajemen. Baik itu fungsi, perencanaan, serta program perencanaan. Netranya menatap ke sana kemari. Sejenak ke arah white board di mana tertera tulisan dari proyektor LCD yang disambungkan pada laptop putihnya, lalu menatap para mahasiswa ketika tengah menjelaskan dengan tangan menyentuh pada bagian-bagian tulisan yang dimaksudkan.
Setidaknya ada empat fungsi manajemen yang paling dikenal dan banyak digunakan di organisasi. Fungsi ini disebut dengan POAC atau Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating (pengarahan), serta Controling (pengendalian).
Fungsi pengendalian terdiri dari koordinasi, pelaporan, dan penganggaran, dan karenanya fungsi pengendalian dapat dibagi ke dalam tiga fungsi terpisah ini.
Luther Gulick menciptakan kata POSDCORB, yang secara umum mewakili inisial dari tujuh fungsi manajemen yaitu: P singkatan dari Planning atau perencanaan, O untuk Organizing atau pengorganisasian, S untuk Staf, D untuk Directing atau Mengarahkan, Co untuk Co-ordination atau Koordinasi, R untuk Reporting atau pelaporan, B untuk Budgeting atau Penganggaran.
“Ada yang ingin di tanyakan?” ujar Azka setelah menjelaskan fungsi manajemen.
Hening, semua orang saling pandang. Lelaki yang memakai celana hitam, kemeja biru tua itu tersenyum, lalu mengulang beberapa kali pertanyaan yang sama.
“Pak,” ucap seorang gadis sembari mengangkat tangan.
“Iya?”
“Saya izin ke toilet,” ujarnya.
Azka mengangguk. “Silakan. Yang lain, ada yang mau di tanyakan sebelum saya tutup materinya?”
“Aww!” pekik seseorang dan membuat semua orang yang berada di dalam kelas melirik ke sumber suara.
Tampak Azkia tengah memekik kesakitan sambil memegang kakinya yang terasa berdenyut. Netra sayunya menatap dua gadis yang tengah menahan tawa. Sudah bisa dipastikan, ini ulah mereka.
“Azkia!” Azka yang melihat gadis itu duduk di lantai tengah menunduk dengan beberapa tetes air mata ke luar, segera menghampiri gadis tersebut.
“Kenapa?” ujarnya setelah berdiri tak jauh dari posisi Azkia.
“Kesandung, Pak. Kayaknya terkilir,” lirih Azkia.
Selama kelas berlangsung, ia terus teringat kejadian kemarin di Kota Angin. Ia pikir, dengan sedikit membasuh wajah bisa membuat hatinya sedikit lega. Namun, ia salah.
Saat langkahnya dimulai, seseorang membuatnya terjatuh dengan kaki sengaja ke luar dari area duduk. Alhasil, ia tersungkur ke lantai kemudian kakinya terkilir hingga memekik dan membuat semua orang menatapnya.
“Semuanya, kelas selesai. Kesya, Rani! Cepat papah Azkia ke UKS!” ucap Azka dengan tegas, lalu kembali ke mejanya dan membereskan buku-buku. Kemudian, bergegas ke luar kelas.
Semua siswa sudah ke luar, tersisa tiga gadis yang saling berdiam diri. Kesya dan Rani saling tukar pandang. Sementara itu, Azkia masih memekik kesakitan. Ingin berdiri pun, ia tak kuasa.
“Sini, gue bantu,” ujar seseorang mengulurkan tangannya.
Azkia mendongak, tampak seorang gadis berpakaian mini dress berwarna cokelat gelap tengah berdiri di hadapannya.
“Terima kasih, Kesya,” ujarnya kemudian menerima uluran tangan gadis tersebut.
Akan tetapi, belum sampai Azkia berdiri tegak, tangannya di lepaskan begitu saja oleh Kesya dan membuat ia kembali tersungkur. Kakinya semakin terasa sakit.
“Aww!” ringisnya saat merasakan kaki yang terkilir semakin berdenyut dengan pantat sudah kembali mendarat di lantai dengan keras.
Gelak tawa tedengar memenuhi ruangan. Kesya dan Rani tertawa puas melihat gadis di depannya meringis kesakitan. Hati mereka seakan sudah mati, memori mereka seakan sudah lupa dengan semua kebaikan Azkia.
“Heh! Lo pikir, setelah kejadian di UKS tempo hari, gue dan Rani bakalan mau sahabatan sama lo lagi? Enggak!” bentak Kesya sembari sedikit membungkukan badan menatap Azkia nyalang.
“Ayok, Kesya. Enggak ada gunanya lo bicara sama dia!” ujar Rani kemudian kedua gadis tersebut berlalu meninggalkan Azkia seorang diri.
Isak memenuhi ruang yang sepi. Azkia memeluk lututnya dengan air mata sudah mengalir dengan deras. Ia tak menyangka, kedua gadis yang dulu sangat dekat bahkan sudah seperti keluarga. Kini, bisa berbuat seperti musuh di luaran sana hanya karena pakaiannya yang berubah.
Azkia menatap tas ransel hitam miliknya di atas kursi, ia berusaha menggerakan kaki kanannya yang terasa nyeri demi bisa mengambil benda pipih dan mengubungi seseorang.
Semakin banyak bergerak, semakin terasa sakit. Semakin Azkia meringis saat merasakan denyutan menghantam keras tulang-tulang kakinya sekitar mata kaki.
“Aww ...,” ringisnya beberapa kali.
Di lihatnya kaki yang terasa sakit, tampak lebam biru sudah mewarnai di area mata kaki. Kemudian, ia berusaha kembali menggapai tas ransel dengan susah payah. Namun, usahanya gagal saat merasakan kakinya semakin nyeri.
Air mata terus ke luar bersamaan dengan keringat dingin. Ia tidak tahu lagi, harus berbuat apa. Ingin menghubungi seseorang, tetapi tak kuasa lagi menggerakan kakinya.
Azkia menunduk pasrah dengan tangan terus memijit pelan kaki kanannya yang sudah ia selonjorkan, berharap sedikit mengurangi rasa nyeri. Sesekali tangan kirinya terulur mengusap air mata.
Pagi tadi ia sangat terlihat cantik dengan jilbab hitamnya. Namun, kini semua telah berubah. Matanya menjadi sembab dan merah.
“Azkia!” pekik seseorang.
Azka berniat mengambil buku yang tertinggal di mejanya, tetapi fokusnya teralihkan saat mendengar isakan. Ia melirik ke arah samping dan mendapati seorang gadis bergamis merah muda, serta jilbab hitam tengah menunduk memijit kakinya.
“Ke mana Kesya dan Rani?” ujarnya setelah berdiri beberapa senti dari posisi Azkia.
Azkia menggeleng lemah, lalu kembali terisak dan melanjutkan memijit kakinya tanpa menoleh ke arah dosen mudanya itu.
Azka mengedarkan pandangan, tak ada seorang pun yang melintasi kelas. Ia berharap, ada orang yang bisa membantunya mengangkat Azkia. Karena tidak mungkin jika hanya ia seorang, bagaimana jika timbul fitnah?
Dosen muda itu segera melangkah ke ambang pintu dengan tergesa-gesa, lalu mengedarkan pandangan ke sana kemari. Kampus sudah sepi, sepertinya semua orang sudah pulang. Parkiran juga kosong, selain mobil miliknya.
Azka menghela napas kasar, lalu segera menghampiri gadis yang masih meringis kesakitan. “Bismillah!”
“Loh, Pak! Turunkan!” pinta Azkia saat tubuhnya di gendong oleh dosen muda itu tanpa aba-aba.
Azka bergeming, lalu melangkah ke luar kelas setelah mengambil tas ransel milik gadis tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top