20. Azkia atau Azrani?

“Paaah ... Pa-pah!” Azkia tersenyum, lalu berdiri di samping papahnya yang tengah sarapan.

“Paah ...,” panggil Azkia sembari memijit bahu Irwan pelan.

Irwan terkekeh. Ia sudah tahu, sifat dan watak putrinya. “Emm ... katakan, kamu mau apa?”

Azkia cengengesan, papahnya itu paling tahu apa yang ia inginkan. “Paah ... boleh, enggak?” ujar Azkia kemudian duduk di samping papahnya.

Irwan menoleh setelah meletakan sendok ke atas piring. “Apa Sayang, katakan?”

Sejenak mata sayu Azkia melirik meja makan transparan di hadapannya. Tampak nasi goreng tersaji dengan beberapa buah-buahan yang masih segar, lalu menatap papahnya dengan senyum setia tercetak di wajah ayunya.

“Aku mau ke pasar,” ucap Azkia pelan.

Ia takut, jika sang papah tidak mengizinkan. Pasalnya, selama ini ia hanya diperbolehkan ke mall atau supermarket saja. Azkia sama sekali belum pernah menginjakan kaki di pasar. Entah mengapa, hari ini ia begitu mengiginkannya.

“Pasar? Pasar yang mana?” ujar Irwan, lalu menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya hingga setengah.

“Itu ... pasar tradisional cigasong, dekat terminal, Pah.”

Irwan menatap langit-langit ruang makan berukuran sedang, sejenak mengingat posisi pasar tersebut. Kemudian memorinya membawa ia ke tempat yang Azkia sebutkan. Sebelum sampai penginapan, memang melewati sebuah pasar dan terminal.

“Pasar tradisional yang sebelum penginapan itu?”

Azkia mengangguk penuh semangat, matanya berbinar penuh harap. “Iya, Pah! Boleh, kan?”

“Emangnya anak Papah ini mau beli apa, sih?”tanya Irwan seraya mengusap kepala putrinya.

“Jalan-jalan aja. Kalau ada barang yang aku suka, yaaa beli!” jawab Azkia kemudian cengengesan.

“Enggak ke mall atau supermarket aja?”

“Ish, Papaaah! Supermarket di sini di mana coba? Aku enggak tahu, apalagi mall.”

“Ya sudah, boleh. Tapi, ajak Lara, ya?”

“Sama sopir aja deh ... Boleh, ya?” rengek Azkia sembari memegang tangan papahnya.

Irwan menghela napas berat. Jika sudah begini, ia tak bisa menolak permintaan putrinya. “Kamu udah sehat? Nanti sakit kepala atau demam lagi, gimana?”

“Enggak kok, Pah. Nih, udah normal kan, suhunya?” ujar Azkia sembari menempelkan tangan kanan papahnya ke kening.

“Iyaiya, boleh. Pulang sebelum dzuhur, ya?”

“Siap, Komandan!” ucap Azkia sembari menempelkan tangannya ke pelipis seperti hormat pada sang bendera merah putih.

***

Azkia tersenyum menatap setiap toko yang ia lintasi. Ternyata, pasar tradisional tidak begitu membosankan. Banyak orang ramai dengan segala barang yang mereka jual. Sesekali ia melirik beberapa barang, berharap ada barang yang berhasil membuatnya jatuh hati dan ia beli.

Cukup jauh Azkia masuk ke dalam pasar. Akhirnya ia bisa bebas berjalan sendiri tanpa harus di temani bodyguard atau siapa pun. Sopir ia pinta untuk menunggu di parkiran, tentu saja agar dirinya leluasa ke sana kemari.

Akan tetapi, langkahnya terhenti saat melihat sosok tak asing baginya. Tampak wanita berpakaian serba hitam tengah berdiri di depan toko. Ia berniat pergi, tetapi panggilan seseorang membuat langkahnya berhenti.

Azrani tersenyum saat mendapati gadis bergamis army. Ia yang berniat memilih beberapa gamis serta jilbab, menangkap Azkia yang sedang mengedarkan pandangan. Buru-buru dirinya segera menghampiri gadis tersebut.

“Azkia ....”

Azkia bergeming, lalu memalingkan wajah dari wanita di depannya. “Emmm.”

“Kamu mau belanja juga?”

“Enggak, mau renang!”

Azrani terkekeh. “Kamu yakin, mau terus seperti ini? Enggak mau ngobrol lagi sama aku?”

Terdengar Azkia menghela napas, lalu menatap Azrani. Hatinya masih sesak, tetapi jika harus kehilangan sahabat lagi rasanya tidak bisa. Ia membutuhkan gadis itu untuk terus mengingatkannya agar tak kembali pada masa kelam.

“Maaf,” gumam Azkia.

Azrani meraih tangan gadis di depannya. “Enggak papa. Ayok, ikut aku. Kita belanja bareng hari ini,” ujarnya kemudian menarik Azkia masuk ke dalam toko.

Tak bisa di pungkiri, Azrani memang sosok yang sangat ramah, humble, juga ceria. Sedikit pun ia tak pernah melihat wanita itu marah padanya, atau minimal berkata kasar.

Azkia menatap Azrani yang tengah sibuk memilih gamis dan memperlihatkan beberapa model padanya, meminta pendapat mana yang bagus untuk ia kenakan.

Ia merasa bersalah, karena telah bersikap seperti itu kemarin. Padahal, bukan salah Azrani. Melainkan takdir sudah menggariskan lelaki tersebut untuk menjadi imamnya. Jika di sandingkan, memang keduanya sangat cocok. Sama-sama agamis dan paham akan syareat. Sementara dirinya? Seperti langit dan bumi.

“Kia!”

“Eh, iya?” Azkia tersadar dari lamunannya.

“Kamu melamun? Dari tadi aku panggil, loh.”

“Iya, maaf.” Azkia terkekeh. “Gimana-gimana?”

“Ini, kalau kita beli gamis couple, mau? Kebetulan ada gamis yang aku sukai dan hanya ada dua di sini,” tutur Azrani memperlihatkan dua gamis di tangannya.

Azkia menatap kedua gamis berbeda warna tetapi satu model yang berada di tangan Azrani. Biru navy dan merah hati, berbeda warna satu motif.

“Boleh. Kamu mau yang mana?”

“Merah hati. Kamu biru navy, gimana?”

Azkia mengangguk. “Mau. Kebetulan aku suka warna biru.”

“Oh, ya? Calon suamiku juga sangat suka warna biru,” ujar Azrani.

Ia tahu, Azka sangat menyukai warna tersebut. Mengingat lelaki itu sering memakai koko atau kemeja berwarna langit, atau sedikit tua dari itu.

Azkia tersenyum. Hatinya bergemuruh tatkala mendengar Azrani memanggil dosen muda itu ‘Calon Suami'.

Kedua wanita itu segera melangkah ke arah kasir. Namun, mendadak netra salah seorang darinya menangkap sosok tengah berdiri di samping mobil tak jauh di depan toko.

“Loh, itukan ....”

“Semuanya lima ratus ribu, Mbak!” ujar seorang wanita berjilbab hitam instan sembari menyodorkan plastik hitam ke arah wanita bergamis army.

Azkia mengangguk, lalu segera memberikan lima lembar uang merah. “Terima kasih.”

“Ini, Azran ....” Azkia bergeming saat mendapati Azrani tengah menatap seseorang, lalu menunduk.

Lantas, ia segera mengikuti arah pandang Azrani dan mendapati lelaki berkemeja biru muda, sarung putih lengkap dengan peci putih tersemat di kepalanya tengah berdiri di samping mobil.

“Itukan calon suami kamu?” ucapnya dan membuat Azrani mendongak, lalu mengangguk pelan.

Hatinya seperti tertusuk ribuan duri, saat mengucapkan kalimat tersebut. Harapan kalimat tersebut di tujukan untuknya, tetapi takdir telah membuatnya menjadi debu dan terbawa angin entah ke mana.

"Ayok, ke sana!" ajak Azrani kemudian Azkia mengikutinya.

Azka yang menyadari kedua gadis berjalan ke arahnya, segera membelakangi mereka. “Abah suruh saya untuk menjemput kamu bersama santri putra,” tuturnya membuka suara sembari menunjuk ke belakang mobil.

Tampak seorang pemuda berpakaian sama seperti Azka tengah tersenyum saat ia di sebut. Ia memang di minta oleh sang guru untuk menemani calon suami Ningnya menjemput agar tidak ada fitnah di antara mereka.

“Emm, Azkia, kamu ikut sama kita, ya?” pinta Azrani memegang tangan Azkia.

Azkia terlonjak kaget. “A-anu itu, emm ... maaf, aku enggak bisa.”

“Kamu tega, biarin aku sendiri sama dua lelaki di dalam mobil?”

Azkia menghela napas kasar. “Baiklah, aku telpon sopir dulu. Biar pulang duluan,” ujarnya kemudian mengeluarkan benda pipih dari tas selempangnya dan menghubungi seseorang.

“Udah?”

“Udah,” ucap Azkia setelah menutup panggilan telepon, lalu memasukan kembali benda persegi itu ke dalam tas.

Suasana dalam mobil begitu terasa canggung. Dua lelaki di depan dan dua perempuan di belakang. Sama-sama berpakaian agamis, tetapi sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Pak Azka ....”

“Mas Azka ....” panggil Azkia dan Azrani secara bersamaan.

Azka yang tengah fokus mengemudi, sejenak melirik ke samping. “Iya?”

Azkia dan Azrani bergeming. Keduanya canggung untuk mengutarakan maksudnya masing-masing.

Merasa tidak ada respon, Azka menepikan mobilnya. “Azrani, kenapa? Ada yang bisa saya bantu?” ujarnya setelah mobil berhenti. Dari pada ambil risiko, lebih baik berhenti sejenak.

“Em ... Azkia, pulang ke penginapan dekat pertigaan di depan,” ujar Azrani dengan suara lemah lembut.

“Oh, baiklah. Kamu, tidak ada yang ingin di beli lagi? Atau butuh sesuatu? Karena Abah, mengajak kita akan pulang sore ini.”

“Enggak ada. Alhamdulillah ... insyaa Allah sudah semua,” tutur Azrani dengan posisi masih menunduk. Bukannya ia enggan menatap calon suami, tetapi syareat memerintahkannya untuk menundukan pandangan dan tidak menatap lawan jenis yang tidak halal baginya.

Hening. Azka kembali melajukan mobilnya. Sementara itu, ada hati seseorang yang remuk, sesak, perih. Karena hanya wanita di sampingnya yang lelaki itu tanyakan, tetapi tidak dengannya. Padahal ia juga memanggil nama dosen muda tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top