2. Tuan Menyebalkan
Kegaduhan mulai terdengar di jalanan malam ini. Warga bebrondong-bondong menghampiri korban tabrak lari. Beberapa saksi mata menyatakan, bahwa truk yang telah menabrak gadis malam itu telah kabur.
Alan dan semua orang yang berada di taman segera menghampiri kegaduhan yang tercipta. Terdengar suara teriakan seorang gadis menggelegar hingga ke penjuru taman. Tak ingin menunggu lagi, Alan dan semua orang yang hadir di taman malam ini segera menerobos warga untuk melihat siapa korban tabrak lari.
Betapa terkejutnya Alan, saat mendapati Azkia telah tergeletak lemah dengan pelipis bersimbah darah. Ada rasa sesal yang menyelimuti hatinya. Mengapa ia biarkan Azkia pergi tadi?
Tanpa babibu lagi, Alan segera menggendong Azkia. Kemeja putihnya berubah warna menjadi merah pada bagian dada bidangnya, akibat pelipis Azkia yang terus saja mengeluarkan darah.
"Cepat, siapkan mobil!" pinta Alan dengan lantang, lalu salah satu temannya langsung berlari untuk mengambil mobil.
Mobil BMW putih melesat pergi meninggalkan tempat kegaduhan dengan kepala Azkia yang sudah berada di paha Alan.
"Kia ... bertahan, kamu jangan menyerah. Bertahan ... please," pinta Alan setengah berbisik dengan suara getir sembari menatap raut wajah Azkia yang sudah pucat.
Gelisah, panik, Alan terus saja merapalkan doa sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak terasa, air mata luruh begitu saja membanjiri pipinya tanpa diminta. Bukan ini yang ia inginkan.
Mata Alan terus menatap kesana-kemari. Sejenak menatap Azkia, lalu menatap kembali jalanan dengan perasaan gelisah tak tentu arah. Hatinya tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. Ia khawatir, terjadi apa-apa dengan gadis yang berada di pangkuannya.
***
Mata sayu itu berkedip beberapa kali, berusaha menyesuaikan bias cahaya yang masuk ke dalamnya. Kemudian, ruangan serba biru pucat yang pertama kali masuk ke indera penglihatannya. Lalu aroma obat-obatan khas rumah sakit menerobos ke rongga hidungnya.
Tangannya terulur memegang pelipis yang sudah diperban. Kepalanya terasa sakit saat mengingat kembali momen dimana ia putus dengan sang kekasih.
Azkia kembali menangis dengan raut wajah yang pucat. Meski begitu, ia tetap terlihat cantik.
"Nak, sayang ... kamu sudah sadar?" tanya pria paruh baya setelah menutup pintu, kemudian berjalan ke arah di mana tubuh putrinya terbaring lemah.
"Siapa yang bawa aku ke sini, Pah?"
Bukannya menjawab, Azkia malah balik bertanya pada sosok paruh baya berpakaian formal yang tengah menarik kursi di samping dimana ia berbaring.
"Alan," jawab Irwan singkat, lalu mengusap pipi putrinya lembut dan penuh kasih sayang.
"Jangan pernah tinggalkan Papah, ya?" ujar Irwan kemudian menggenggam tangan putrinya yang sedang diinfus.
"Kamu tau? Papah enggak bisa tidur, karena takut terjadi apa-apa sama kamu," tutur pria paruh baya itu sembari menatap Azkia sendu.
Gadis bermata sayu itu tersenyum kemudian mengangguk. "Iya, Pah."
"Kamu tenang aja, truk yang menabrak kamu sedang Papah cari lewat anak buah Papah," ucap Irwan memberitahu bahwasanya dirinya tengah mencari pelaku tabrak lari. Enak saja dia mau lari setelah menabrak putrinya, sambung Irwan dalam hati.
Suara ketukan pintu terdengar, lalu lelaki berpakaian kemeja hitam dan celana senada menyembul dari balik pintu. Azkia menatapnya penuh kekecewaan.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Azkia ketus, kemudian membuang pandangannya saat sosok tersebut berdiri di seberang sang papah.
Tangan kekar Irwan menyetuh bahu putrinya pelan. Kemudian menggeleng, seolah berkata 'Jangan begitu, Nak'.
Lantas, dehaman Alan berhasil membuat Azkia kembali ke posisi semula. Bukan menatap sosok yang sudah menghancurkan hatinya semalam, tetapi dinding bercat biru pucat lebih menarik perhatiannya.
"Hai, gimana, udah enakan?" tanya Alan basa-basi setelah berdeham.
"Baik," jawab Azkia singkat tanpa ingin memandang sosok yang menjadi lawan bicaranya barang sedikit pun.
Hati Alan seperti tertusuk jarum pentul. Meski kecil, tetapi rasa perih menjalar sekujur tubuh. Memang salahnya juga, karena telah membuat sosok gadis di depannya kecewa.
"Kia ... aku mau minta maaf," tutur Alan setelah menghela napas dalam.
Irwan yang merasa ini masalah anak remaja, berniat meninggalkan keduanya. Ia percaya, putrinya sudah dewasa dan bisa mengatasi masalah ini.
"Pah, jangan pergi!" pinta Azkia saat menyadari papahnya akan berdiri dan meninggalkan tempat ini.
Irwan menghela napas, lalu tersenyum sembari mengangguk. Kemudian, ia kembali duduk dan mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Pah, aku mau Alan pergi!" ucap Azkia pada sang papah seraya menatapnya penuh harap.
Hati Ayah mana yang tega melihat putrinya sakit hati? Hati Ayah mana yang tega membiarkan putrinya tidak nyaman? Tentulah, Irwan melakukan apa yang putrinya inginkan. Ia mengajak Alan berbicara di luar, lalu memintanya pergi dan memintanya memberikan waktu untuk Azkia menenangkan diri.
Ia tahu, Azkia dan Alan putus semalam. Kemudian putrinya berlari sampai tertabrak truk yang tidak bertanggung jawab. Tentulah dirinya tahu, beberapa anak buahnya ia kerahkan untuk selalu memantau putri semata wayangnya. Bukan terlalu lebay atau posesif, melainkan agar saat Azkia dalam bahaya dirinya tidak perlu risau karena anak buahnyalah yang akan menanganinya.
"Pah ... aku mau berlibur," ujar Azkia setelah papahnya kembali dan duduk di kursi semula.
"Anak Papah mau berlibur ke mana, Sayang?" ujar Irwan sambil mengusap rambut putrinya penuh kasih sayang.
Apapun yang Azkia inginkan, pasti akan Irwan berikan selama ia mampu. Jikalau pun tidak, dirinya akan mengusahakan meski sampai titik darah penghabisan. Sesuai janjinya saat mendiang istri tercinta tiada, ia akan memberikan kasih sayangnya sebagai Ayah dan Ibu untuk Azkia. Ia tidak ingin, putri semata wayangnya kekurangan apa pun.
"Kebun teh," ucap Azkia pelan. Entah kenapa, ia ingin menikmati udara segar dari perkebunan. Mungkin dengan cara itu ia bisa mendapatkan ketenangan dan melupakan sejenak luka hatinya. Bisa dibilang, dirinya juga menghindar dari Alan.
"Baik. Setelah kamu sehat, Papah akan antar kamu ke Kota Angin." Irwan berjanji akan memambawa putrinya ke sana. Demi kebahagiaan Azkia, ia rela meninggalkan pekerjaannya.
"Tapi aku maunya besok, Pah ...," rengek Azkia.
"Iyaiya, besok." Irwan tidak bisa menolak permintaan putrinya.
"Tapi sama Rani dan Kesya ya, Pah?" pinta Azkia dengan raut memelas.
Irwan mengangguk. "Boleh, Sayang," ujarnya kemudian tersenyum.
"Tapi, Pah ... Kota Angin dimana?" tanya Azkia dengan raut polos.
Irwan menahan tawa saat melihat putrinya menampakan raut wajah tersebut. Ia pikir, putrinya sudah mengetahui kota yang ia sebutkan tadi.
"Kota Angin itu Kota Majalengka," ujar Irwan mulai memberi penjelasan.
Kota Majalengka dinamakan Kota Angin karena letaknya yang terdapat di daerah pegunungan. Lebih tepatnya, Gunung Ciremai. Udaranya yang sejuk, lalu angin yang sering hilir-mudik membuat kota tersebut dijuluki Kota Angin.
Azkia mengangguk paham saat menyimak penjelasan sang papah. Ia penasaran, pasti tempat tersebut sangat sejuk dan menyenangkan. Apalagi, suasana di kebun teh pasti tepat untuknya menangkan pikiran. Selain udaranya yang sejuk, juga pesona perkebunan yang hijau pasti memanjakan matanya.
"Kebetulan, Papah punya pekerjaan di sana beberapa hari. Jadi sambil Papah kerja, kamu bisa berlibur ke kebun teh," ucap Irwan kemudian mengecup dahi putrinya singkat.
Meski umur Azkia sudah menginjak delapan belas tahun, tetapi sifat manjanya masih saja melekat dan membuat Irwan semakin menyayangi putri semata wayangnya itu.
"Cepat sembuh, Sayang," ucap Irwan setelah mendaratkan bokongnya di kursi.
***
Sesuai perkiraan. Angin sejuk dan pemandangan hijau dari kebun teh membuat pemilik mata sayu itu terus berdecak kagum.
Sang papah memang tak pernah ingkar janji. Sesuai yang diinginkannya, hari ini Azkia sudah berada di Kota Angin dan tengah menikmati sejuknya udara pagi di perkebunan teh.
Azkia membiarkan angin menerpa rambutnya yang terurai dan membuat sebagian menutupi wajah ayunya. Ia menghirup napas dalam, lalu mengembusakannya pelan. Hamparan luas perkebunan teh membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan barang sedetik pun.
Kaki jenjang putih nan mulusnya ia biarkan berpijak tanpa alas kaki dengan gaun hitam polos di bawah lutut, serta berlengan panjang.
Fashion yang kekinian, membuatnya menjadi sorotan warga sejak pertama kali menginjakkan kaki di Kota Majalengka. Namun, Azkia menghiraukan tatapan mereka. Karena style yang ia kenakan di Jakarta sudah lumrah. Ia termasuk salah satu gadis kekinian dengan segala barang brandid yang bisa dibilang harganya cukup pantastis.
Mendadak dirinya merasa haus, Azkia segera beranjak dari kebun teh meski hatinya masih ingin menikmati. Namun, apa boleh buat? Tenggorokannya membutuhkan air. Beruntung, vila yang ia tempati tak jauh dari kebun teh sehingga membuatnya tak perlu berjalan lama.
"Aww!" ringis Azkia saat merasa pantatnya menyentuh aspal.
"Maaf, Mbak. Maaf," ucap seorang lelaki tanpa berniat mau membantu gadis di depannya berdiri.
"Maaf ya, Mbak. Saya harus pergi," ujarnya kemudian berniat meninggalkan Azkia.
"Tunggu!" pinta gadis bermata sayu itu setelah berdiri, lalu menatap lelaki di depannya dengan tatapan kesal.
"Bukannya bantuin, malah main pergi aja!" sungut Azkia tak terima dirinya akan ditinggalkan begitu saja.
"Maaf, Mbak. Tidak ada maksud apa-apa. Saya sudah minta maaf, bukan?" ujarnya dengan posisi membelakangi Azkia, tanpa berniat berbalik badan.
"Eh, kalo ngomong sambil menghadap orangnya dong! Enggak sopan banget, sih!" cibir Azkia menatap lekaki berpakaian kemeja putih dan sarung hitam lengkap peci hitam tersemat di kepalanya.
"Pakaian aja agamis, tapi kelakuannya miris!" sambung Azkia dengan emosi yang masih menggebu, lalu menyilangkan dada menunggu lelaki di hadapannya berbalik badan menghadap ke arahnya.
Benar, setelah Azkia mengatakan hal tersebut, sosok di hadapannya berbalik badan.
"Maaf, Mbak. Saya buru-buru," ujarnya dengan posisi menundukkan pandangan, tanpa menatap Azkia sedikit pun.
Heran, biasanya semua kaum Adam yang Azkia temui pasti akan menatapnya dalam. Menikmati kecantikannya. Apa mata lelaki di hadapnnya sudah tidak normal? Batin Azkia bermonolog.
"Oh ya, Mbak. Pakailah pakaian sesuai syareat. Jika Mbak muslim, pakailah pakaian sesuai yang Rasulullah ajarkan. Jika Mbak non muslim, maka saya meminta maaf," ujarnya membelakangi Azkia lalu melangkah pergi.
Kata-kata tersebut berhasil menyentil bagian rongga dada Azkia. Hatinya terenyuh, ada rasa sesak yang tak dapat di gambarkan.
"Hufft! Awas aja kamu!" ucap Azkia dengan nada kesal sambil menatap punggung lelaki tersebut.
Sayangnya, ia tak bisa mengetahui dengan jelas seperti apa sosok pemuda tadi.
"Kia!" teriak seseorang dari belakang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top