19. Memori Kota Angin
Netra sayu seorang gadis menangkap lalu lalang kendaraan dari kaca jendela, bibir tipisnya tersenyum. Hatinya sedikit terhibur meski kondisi fisik belum sepenuhnya pulih. Gadis bergamis biru muda lengkap dengan jilbab syar'i berwarna senada itu teringat akan masa di mana ia pertama kali akan mengunjungi tempat yang tengah di tuju.
Azkia tersenyum kecut. Ini kali kedua ia seakan menghindar dari masalah, ia memang pengecut. Pertama ia ke Kota Angin saat asmaranya dengan Alan kandas dan sekarang, saat harapannya tuk bisa bersatu telah pupus.
Entah alasan apa yang membuat dirinya begitu menaruh rasa pada sosok dosen muda itu. Ia sendiri pun, tidak tahu. Teringat masa di mana dirinya bertemu dengan Azka, sosok agamis yang berhasil membuatnya jatuh hati.
Lelaki pemilik lesung pipi itu telah menyentuh hatinya dengan kata-kata yang sering ia lontarkan. Azkia ingat, saat pertama kali Azka menegurnya karena berpakaian mini. Ia yang pada masa itu belum hijrah, marah saat lelaki tersebut berkomentar tentang pakaiannya.
Tak terasa air mata Azkia menetes, tangannya segera terulur mengusap jejak itu pelan. Hatinya sesak karena telah salah menaruh harap pada seseorang yang jelas-jelas takkan pernah bisa menjadi miliknya, lelaki itu telah resmi menjadi calon suami dari sahabatnya.
Ucapan dosen muda itu selalu berhasil menyentil hatinya dan mengingatkan Azkia akan dosa-dosa. Mungkin karena itu, hatinya mengagumi sosok tersebut. Selain itu, ia juga ingin mempunyai kekasih yang bisa membimbingnya menjadi lebih baik.
Ia ingat, sikapnya yang sering tidak sopan terhadap Azka. Ia juga ingat, ucapannya sering kasar dan melukai hati lelaki itu. Kini semuanya telah berbanding terbalik. Seiring berjalannya waktu, setiap kata-kata Azka telah mengubahnya sampai seperti ini hingga benih rasa itu tumbuh dan menghancurkan diri sendiri saat kenyataan pahit itu hadir di depan mata.
Azkia terisak pelan dan membuat pria dewasa di sampingnya menoleh. Hatinya sudah tak kuasa menahan sesak yang terus mendera.
“Sayang ... kamu kenapa, Nak?” Irwan yang sedari tadi memandangi laptop mengerjakan beberapa pekerjaan, fokusnya teralihkan saat suara isak terdengar.
Azkia menggeleng. “Enggak papa kok, Pah,” kilah gadis tersebut dengan suara yang sudah parau, lalu menyeka air di sudut mata.
Tangan kekar Irwan mengelus kepala putrinya. “Kalau kamu belum mau cerita, Papah ngerti. Tapi, Papah minta jangan terlalu di pikirkan apapun masalahnya,” nasehatnya seraya tersenyum.
“Iya, Pah.” Azkia kembali menatap lalu lalang kendaraan.
Seperti keinginan Azkia, siang ini ia akan berkunjung ke Kota Angin. Masalah membuatnya ingin kembali ke kota tersebut dan menikmati sejuknya udara di kebun teh. Tak peduli meski kondisi fisiknya masih lemah, ia hanya ingin mendapatkan ketenangan.
Sesekali netra Azkia menatap ke depan, sopirnya begitu tenang mengemudi. Kemudian ia melirik sang papah, tampak Irwan begitu sibuk dengan laptop putihnya.
***
“Aaaaaa! Aaaaaaa! Aaaaaaaaaa!”
Azkia menghela napas setelah berteriak beberapa kali, hingga suasana hatinya membaik. Ia berdecak kagum menatap hamparan luas kebun teh. Panorama alam serba hijau, serta udara pagi yang sejuk membuatnya sedikit melupakan semua luka.
Akan tetapi, memorinya kembali membawa pada momen di mana hubungannya dengan Alan putus. Sampai saat ini, ia belum mengetahui apa alasan lelaki tersebut memutuskannya.
Azkia tersenyum miris, hatinya teriris mengingat kedua sosok lelaki yang pernah hadir mengisi relung hatinya. Air mata mengalir dengan pelan dengan isak yang ia tahan.
Lantas, Azkia segera melangkah ke arah saung di tepi kebun teh. Sesekali tangannya terulur menghapus jejak air mata, lalu duduk di tempat yang terbuat dari bambu tersebut.
Azkia menatap tas selempang hitamnya, lalu mengambil benda pipih dari benda tersebut. Ibu jarinya menekan ikon bunga kuning dengan baground biru, galeri tempat di mana ia menyimpan beberapa momen yang diabadikan.
Lagi dan lagi memorinya memaksa ia tersenyum miris. Tampak beberapa foto ia dan kedua sahabatnya tengah tersenyum ceria. Masa di mana rambutnya masih terurai bebas, dressnya masih menjadi pilihan. Namun, kini semuanya telah berubah, termasuk persahabatan dan asmaranya.
Azkia menghela napas kasar, lalu menatap nanar hamparan hijau di depannya. Sepi, tidak ada seorang pun yang berkunjung ke tempat ini. Mungkin dirinya terlalu bersemangat pergi ke kebun teh, hingga pukul tujuh sudah berada di tempat.
“Kesya, Rani ... andai kalian ada di sini,” gumam Azkia kemudian air matanya kembali menetes.
Azkia menunduk, menatap layar benda lima koma lima inci itu dengan sendu. Tampak ia dan kedua sahabatnya tengah tersenyum dengan kebun teh sebagai baground.
“Non ...”
Azkia menoleh dan mendapati wanita berpakaian serba hitam berjalan ke arahnya dari samping kanan. Kemudian bodyguard itu duduk di sampingnya dan menatap lurus ke depan.
“Non Azkia lagi ada masalah, ya?” ujar Lara kemudian melirik nona mudanya itu.
Azkia menghela napas, lalu tersenyum. “Bukankah setiap orang pasti mempunyai masalah?”
Lara bergeming, menunggu kata-kata Azkia selanjutnya. Tatapannya tetap lurus ke depan, tetapi indera pendengaran ia pertajam.
"Takdir itu indah, ya. Semula aku yang enggan, tetapi waktu telah mengubah rasa ini sebaliknya,” ujar Azkia dengan tatapan lurus ke depan.
Lara tersenyum, nona mudanya sudah mulai bisa terbuka dengan dirinya. Gadis itu menyembunyikan sesuatu, tetapi enggan bercerita pada siapa pun. Bahkan dengan papahnya sendiri.
Atas permintaan sang tuan, bodyguard itu juga ikut ke Kota Angin. Katanya, Irwan ingin Lara menemani Azkia agar putri semata wayangnya itu tidak kesepian. Pun, ia juga khawatir, terjadi apa-apa jika Azkia sendirian pergi ke mana-mana.
Azkia meringis saat merasakan kepalanya kembali sakit, tangannya segera terulur memijit pelipis yang terasa berdenyut dan membuat Lara menoleh.
“Non! Non Azkia kenapa? Kepalanya sakit, ya?” ujar Lara dengan nada khawatir.
Ia tahu, nona mudanya itu belum sepenuhnya pulih pasca terkena guyuran hujan deras malam hari kemarin lusa. Tangannya segera menyambar tas selempang Azkia dan memapah gadis tersebut.
“Non mau saya antar ke rumah sakit?” tanya Lara sembari terus memapah gadis bergamis biru muda tersebut. Rambutnya yang kucir kuda, ikut terayun ke samping.
Azkia menggeleng. “Ke penginapan aja, istirahat juga nanti membaik.”
Lara mengangguk paham dan segera membantu Azkia masuk ke dalam mobil, lalu melesat ke penginapan. Beruntung ia segera menyusul nona mudanya itu menggunakan roda empat. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi dengan Azkia.
“Azkia!” panggil seseorang saat melihat seorang gadis ke luar dari mobil di papah bodyguardnya.
Azkia yang sibuk memijit pelipis, menoleh ke belakang dan membuat Lara juga ikut melakukan hal serupa. Tampak sosok berpakaian serba hitam lengkap dengan kain di wajahnya.
“Azrani ...,” gumamnya pelan.
Azrani tersenyum di balik kain yang ia kenakan, lalu melangkah dengan cepat ke arah di mana gadis itu berdiri.
“Loh, kamu ke sini juga?” ujar Azrani setelah berdiri di hadapan Azkia. Cadar yaman yang ia kenakan, terbawa angin dan membuat kain belakang benda tersebut terayun.
“Kamu sendiri kenapa ada di sini?” bukannya menjawab, Azkia malah balik bertanya.
“Aku ada keperluan. Kamu?”
“Ayok, Ra. Masuk,” ajaknya pada sang bodyguard.
Azrani tersenyum menatap kepergian gadis tersebut. Ia harus paham bahwa Azkia masih enggan bersua kembali dengannya. Biarlah waktu yang menjawab apa masalah gadis itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top