17. Karena Hati

Azka menatap mata sayu yang sudah tertutup berada dalam pelukannya. Ia yang semula akan masuk ke ruang dosen, mendadak mendengar  pertengkaran dari suara yang tak asing lagi baginya tepat dari samping ruangan. Saat dirinya tengah melangkah, terdengar ringisan seseorang setelah suara hentakan pada dinding.

Beruntung dirinya cepat menangkap tubuh Azkia, sebelum gadis itu terjatuh ke lantai. Kemudia, netranya beralih menatap kedua gadis yang telah mendorong Azkia, lalu kobaran api tiba-tiba saja menyala dalam tatapan tajamnya. Seakan apa yang telah dilakukan Kesya dan Rani adalah kesalahan yang sangat fatal.

“Azkia ... Az!” panggil Azka pelan sembari menepuk-nepuk pipi gadis tersebut.

Kesya dan Rani terkejut, saat melihat dosen muda mereka yang menolong Azkia. Tak disangka, gadis yang mereka dorong tadi ternyata benar-benar pingsan. Bagaimana jika Azkia mengadu pada papahnya? Bisa-bisa, tamat riwayat mereka. Mengingat Papah dari gadis tersebut adalah salah satu orang yang cukup berpengaruh di dunia bisnis, bagaimana jika perusahaan Ayah mereka yang terkena imbasnya?

“Apa yang kalian liat, cepat bantu saya mengangkat Azkia ke UKS!” ucap Azka dengan nada tinggi.

Kedua gadis tersebut mengangguk, lalu segera membantu dosennya mengangkat tubuh Azkia dan membawanya ke ruang kesehatan.

***

Seorang gadis mengerjap-ngerjapkan matanya secara perlahan. Mata sayu yang semula berbinar, kini telah berubah menjadi sendu. Bias cahaya membuatnya sedikit terusik, lalu netranya menangkap ruangan serba putih setelah berhasil menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam pupil. Kedua gadis yang berada di ruangan tersebut segera memanggil seseorang, saat melihat Azkia sudah sadar.

“Pak ... Azkia sudah sadar, Pak!” panggil Kesya dari ambang pintu.

Azka yang tengah menunggu di depan ruangan, segera menoleh saat suara Kesya memanggil namanya. “Sebentar, saya tengah menunggu ayahnya. Kasih dia air putih,” ucap lelaki berkemeja hitam itu, lalu merapikan pecinya.

Azkia mengedarkan pandangan dengan tangan memegang kepala yang masih terasa berdenyut, lalu meringis beberapa kali dan mendapati dua sosok yang tadi pagi sempat bertengkar kecil dengannya.

“Az ... minum dulu,” ujar Rani menyodorkan segelas air putih.

Gadis bermata sayu itu mengangguk, lalu tersenyum dengan bibir yang sudah pucat. Kemudian berusaha duduk dibantu oleh Kesya.

Lantas, Azkia segera meminum air yang di sodorkan Rani dibantu oleh gadis tersebut dengan hati-hati. Netranya sesekali melirik ke arah dua gadis yang berdiri di sampingnya secara bergantian.

“Kenapa aku bisa ada di sini?” tanya Azkia dengan suara yang masih lemah.

“Lo tadi pingsan. Terus Pak Azka dan kita yang bawa lo ke sini,” ujar Rani sambil meletakan kembali gelas ke atas meja tak jauh dari brankar tempat Azkia duduk.

“Az ...,” panggil Rani pelan, lalu mendekat ke arah Azkia dan berdiri di sampingnya.

“Gue sama Kesya ....”

“Azkia! Kamu enggak papa kan, Nak? Ada yang sakit, Sayang? Kita ke rumah sakit aja, ya?” tanya Pria paruh baya memakai pakaian formal yang baru saja masuk ke dalam ruangan.

“Papah ... kok, Papah ada di sini?” bukannya menjawab, Azkia malah balik bertanya. Ia heran, mengapa papahnya ada di kampus.

“Nak Azka yang telepon Papah. Katanya kamu pingsan dan demam,” tutur Irwan seraya melirik ke belakang.

Azkia mengikuti arah tatapan papahnya. Tampak lelaki yang dimaksud sudah berdiri di ambang pintu menatapnya dengan raut yang susah diartikan seraya memasukan kedua tangannya ke saku celana.

“Aku enggak papa kok, Pah. Hanya sedikit pusing,” ucapnya menatap sang papah yang sudah tampak khawatir.

“Papah sudah bilang, jangan ke kampus dulu. Kamu kan semalam demam dan belum sehat betul.”

“Iya. Maaf, Pah,” ucap Azkia kemudian memeluk papahnya.

“Pulang ya, jangan bandel lagi. Biar cepet sehat. Boleh kan, Pak dosen Azka?” ujar Irwan, lalu melirik ke arah Azka dengan tangan mengelus pucuk kepala putrinya.

“Boleh, Pak!” Azka mengangguk seraya tersenyum tipis. Raut wajahnya tak lagi dingin atau datar.

Azkia turun dari brankar dibantu sang papah. Melihat sang sahabat sedikit kesusahan dan terlihat lemas, Kesya dan Rani berniat untuk membantu. Namun, niat mereka ditolak gadis itu. Azkia menepis tangan kedua sahabatnya, lalu memalingkan wajah ke sembarang arah.

“Pah, aku mau sama Papah aja. Enggak mau sama yang lain,” ujar Azkia menatap papahnya dengan raut sendu.

Irwan mengangguk. “Iya, Sayang. Ayok,” ajaknya kemudian memapah sang putri.

Kesya dan Rani saling pandang, lalu keduanya menghela napas berat. Ada rasa sesal yang menyelinap ke lubung hati. Sikap mereka pagi tadi pasti sangat melukai sang sahabat, hingga membuatnya pingsan sampai beberapa jam.

Azkia terus menunduk saat melintasi tubuh dosen mudanya, aroma khas Azka menyeruak memasuki rongga penciuman. Sejenak ia memejamkan mata, rasa sesak kembali hadir memenuhi atma.

“Azkia ....”

Azkia yang baru saja ke luar dari ruangan, menoleh ke belakang saat suara seseorang memanggilnya.

“Jangan bandel, jaga kesehatan. Istirahat yang cukup dan minum obat,” ucap Azka dengan nada datar. Tak terdengar khawatir atau tegas seperti saat mengajar. Namun, tatapannya tak sepenuhnya menatap Azkia. Ia tetap ingat akan syareat, meski dalam hati ingin memastikan bahwa pemilik mata sayu itu baik-baik saja dari raut wajahnya.

Gadis itu bergeming, lalu menatap papahnya. “Ayok, Pah!” ucapnya kemudian melanjutkan langkah tanpa merespon perkataan Azka.

Tangannya terulur merapikan peci, lalu menghela napas dan tersenyum menatap kepergian gadis tersebut beserta ayahnya. Kemudian, netranya menatap tajam ke dalam ruangan.

“Masuk kelas! Saya tidak ingin kejadian ini terulang lagi. Saya sengaja tidak mengatakan kronologis itu pada Papah Azkia, karena saya tidak ingin kalian terkena masalah. Saya kasih kesempatan kalian untuk berubah!” ujar Azka saat mendengar suar sepatu Kesya dan Rani telah berada di belakangnya. Netranya menatap lurus ke depan, suaranya tegas dan tidak ada nada ragu sama sekali.

“Baik, Pak,” ucap Kesya dan Rani serempak, lalu menunduk dalam.

Dosen muda itu kembali menghela napas, lalu melafalkan istigfar beberapa kali dan bergegas melanjutkan langkah menuju kelas.

Azkia terisak di dalam mobil, saat mengingat kejadian semalam dan membuatnya seakan mati rasa. Demamnya bisa hilang, sakit kepalanya bisa sembuh. Namun, jika untuk luka di hati, ia masih belum bisa mengobatinya. Sakitnya terlalu dalam karena telah berani mengharapkan seseorang yang takkan pernah menjadi miliknya.

Irwan yang tengah mengemudi, melirik ke arah samping di mana putrinya duduk. Hatinya teriris melihat air mata Azkia. Ayah mana yang tidak terluka, saat melihat putrinya menangis?

Mulutnya terbuka ingin bertanya, tetapi segera ia urungkan. Biarlah untuk saat ini Azkia menumpahkan segala sedihnya dahulu. Setelah itu, ia akan mencoba bertanya baik-baik setelah keadaan fisik Azkia juga membaik.

Azkia bergeming saat ke luar dari mobil, netranya menangkap sosok wanita berpakaian serba hitam tengah mengobrol dengan bodyguardnya, di kursi teras rumah. Hatinya semakin terasa sesak.

“Ayok, Nak. Kita masuk,” ajak Irwan kemudian memapah sang putri dengan perlahan.

Lara yang tengah mengobrol dengan tamu pun, segera berdiri saat melihat kedua majikannya datang. Kemudian bergegas menghampiri Azkia.

“Non ... Non Azkia kenapa?” tanya Lara cemas. Harusnya menurut jadwal, nona mudanya itu dijemput sekitar satu jam lagi.

“Azkia tadi pingsan di kampus. Kamu segera panggilkan dokter, ya," ujar Irwan pada Lara.

“Baik, Tuan.” Lara segera undur diri untuk melaksanakan perintah tuannya.

“Loh, Az ... kamu kenapa?” Azrani yang melihat Azkia tampak lemas dan di papah oleh Irwan, segera beranjak dan menghampiri.

Azkia bergeming menatap sosok wanita di depannya. “Ayok, Pah. Masuk,” ucapnya pada sang papah.

Azrani menatap gadis itu heran. Tak biasanya Azkia bersikap seperti itu padanya. Netranya terus mengamati langkah gadis tersebut hingga hilang di balik pintu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top