16. Hujan dan Nona
Lara menatap iba nona mudanya dari kaca spion mobil. Gadis yang semula ceria, kini tengah menangis tanpa suara sejak ke luar dari gerbang pondok tersebut. Ia yang hanya sebagai bodyguard tak bisa berbuat apa-apa, hanya doa yang terhaturkan agar Azkia bisa segera mendapatkan bahagianya.
“Non ...,” panggil Lara dan membuat nona mudanya mendongak.
“Iya?” ucap Azkia dengan suara yang sudah serak sembari menghapus jejak air mata di pipi.
Wajah yang semula segar dan ayu, kini berubah menjadi mendung, sendu, serta pucat karena menangis. Mata yang indah nan sayu, berubah menjadi sipit dan memerah.
“Non baik-baik saja?” ujar Lara basa-basi, berharap dengan pertanyaannya ini bisa sedikit mengalihkan Azkia agar tidak menangis kembali.
“Baik,” jawab Azkia singkat.
Lara menghela napas berat, lalu kembali fokus menyetir dengan pikiran yang sudah bercabang ke mana-mana. Sebenarnya ia ingin menjadi tempat bercerita Azkia, tetapi mengingat gadis itu dingin pasti membutuhkan waktu agar bisa terbuka padanya.
“Di depan berhenti,” pinta Azkia dengan suara yang masih serak.
“Kenapa, Non?” tanya Lara sambil menoleh ke belakang.
“Berhenti saja.”
“Baik, Non.”
Sesuai perintah Azkia, Lara menghentikan mobilnya di pinggir trotoar. Entah apa yang akan dilakukan oleh nona muda itu.
“Kamu pulang saja. Aku mau di sini dulu,” ucap Azkia.
“T-tapi, Non ....”
“Sudah, pulang saja. Kalau Papah bertanya, bilang aku masih ada urusan!”
“Baik, Non.” Lara hanya bisa pasrah dengan keadaan, meski hatinya berat meninggalkan Azkia. Khawatir terjadi apa-apa, karena itu sudah menjadi tanggung jawabnya menjaga Azkia.
Azkia menatap langit yang gelap. Malam ini tak ada bintang atau pun bulan yang bertahta di angkasa. Kemudian, terasa beberapa tetes air turun dari langit.
Jalanan yang sepi akan pengendara, gadis begamis peach itu masih setia berdiri di pinggir jalan tanpa berniat duduk di kursi trotoar.
Air semakin lebat turun dari langit. Hujan tak membuat Azkia terusik dari posisinya. Ia masih saja berdiri menikmati guyuran air, dengan tatapan kosong ke arah aspal.
“Aaaaa!” jerit Azkia dengan hujan yang semakin bertambah lebat.
Gadis itu menghiraukan aura dingin yang masuk paksa ke pori-pori dan membiarkan hujan terus mengguyurnya sesuka hati. Gamis peachnya yang terkena hujan, menjadi sedikit keunguan.
Tubuhnya melorot ke aspal, dengan tangis yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Air mata Azkia menyatu dengan air hujan. Tangisnya pecah, ia mengeluarkan semua sesak yang ada.
“Kenapa aku harus mencintai lelaki yang agamis, kenapa! Kenapa aku harus mencintai lelaki yang jelas-jelas takkan pernah cocok bersanding denganku yang awam, kenapaaaaa!” teriak Azkia di tengah hujan lebat kemudian menunduk pasrah.
Cinta itu fitrah. Hal lumrah yang ada pada hati manusia. Cinta itu suci, sesuci itu pula Allah telah menghalalkan hubungan dengan menikah agar bisa menyempurnakan cinta. Jika rasa tersebut hadir sebelum adanya pernikahan, maka hanya ada dua alasan. Ujian iman, atau nafsu dari hasutan setan.
Cinta itu layaknya angin. Hilir sejuknya bisa membuat hati damai, meski hanya dengan mengingat namanya saja. Cinta itu ibarat daun yang terpisah dari ranting, jatuh tanpa bisa memilih di tempat mana ia ingin singgah. Begitu juga dengan cinta, hadir tanpa diminta. Pun, tak bisa memilih pada siapa rasa tersebut bertapa.
Wajah ayu Azkia memucat. Tangis yang pecah, serta hujan yang terus mengguyur membuat bibirnya bergetar kedinginan. Namun, ia masih enggan beranjak dari aspal. Tubuhnya tetap setia duduk, serta tangan memeluk lutut.
Netra seseorang menatap lekat Azkia dari kejauhan. Hatinya ikut teriris saat melihat kerapuhan gadis tersebut. Ia sendiri tidak tahu, apa alasan nona mudanya menangis di tengah guyuran hujan.
Lara tidak pergi sepenuhnya. Ia berhenti tepat di pertigaan dan memperhatikan Azkia dari kejauhan. Meskipun gadis itu sudah memintanya untuk pulang, tetapi ia enggan meninggalkannya begitu saja. Bagaimana jika ada orang jahat yang menyakiti Azkia? Ia tidak bisa ambil resiko apapun.
Bodyguard itu masih setia mengamati Azkia yang tengah memeluk lutut di bawah guyuran hujan dari dalam mobil. Beberapa kali hatinya tergerak ingin ke sana, tetapi segera di tepis oleh logika. Ia membiarkan gadis bermata sayu itu menumpahkan segala isi hatinya terlebih dahulu. Setelah itu, barulah ia akan menghampirinya.
Bibir Azkia bergetar, ia sangat kedinginan. Malam yang sunyi nan sepi, juga hujan lebat. Dua keadaan tersebut seakan mengerti akan hatinya saat ini.
Hatinya sedikit tenang, setelah beberapa kali teriak di bawah derasnya hujan. Suara sekeras apapun, takkan terdengar karena terbawa suara hujan dan pergi entah kemana.
Azkia merasakan kepalanya sakit, lalu pandangannya berkunang-kunang. Bibir pucatnya bergetar menyebut nama seseorang.
“Pa-pah ...,” lirihnya, sebelum pandangan Azkia menjadi gelap sempurna.
“Non Akzia!” pekik Lara saat melihat gadis yang sejak tadi ia perhatikan mendadak jatuh ke aspal.
Ia segera melajukan mobilnya dan bergegas ke luar menghampiri Azkia. “Non ... Non bangun, Non!” ucap Lara sembari menepuk-nepuk pipi Azkia pelan, berharap gadis itu akan bangun. Nihil, tak ada pergerakan. Ia segera membawa gadis itu ke dalam mobil dan melesat pulang.
***
“Azkia ... kamu mau ke kampus?” ujar Irwan saat melihat putrinya menuruni anak tangga memakai setelah gamis syar'i merah hati.
“Iya, Pah,” ucap Azkia seraya tersenyum, lalu berdiri di hadapan papahnya.
“Kamu kan masih sakit, Sayang. Semalam kamu demam loh, masa mau langsung masuk kampus,” tutur Irwan dengan nada cemas. Ia khawatir, putrinya kenapa-kenapa saat di kampus nanti.
“Insyaa Allah enggak, Pah. Aku udah sehat, kok. Beneran.” Azkia menatap papahnya dengan senyum yang masih melekat seraya mengangkat kedua tangan, pertanda ia kuat.
“Ya sudah, Papah izinkan. Kalo ada apa-apa, segera hubungi Papah atau Lara, ya?” ucapnya sembari mengelus pucuk kepala Azkia.
“Iya, Pah. Assalamualaikum!” pamit Azkia setelah menyalami tangan papahnya.
Azkia berdesis, saat merasakan nyeri di kepalanya. Ia masih sedikit pusing dan lemas. Namun ... jika ia absen, pasti akan tertinggal pelajaran dan itu, hal yang sangat dibenci olehnya. Di mana ia akan sendiri mengejar ketertinggalan.
“Non! Non enggak papa?” tanya Lara segera memegang kedua bahu Azkia yang hampir terjatuh.
“Enggak. Hanya pusing sedikit, nanti juga ilang. Ayok, berangkat!”
Lara mengangguk, lalu membukakan pintu untuk Azkia dan membungkukan tubuh.
Hari kemarin terasa sangat begitu lama. Hari di mana semua takdir yang memberikan kebenaran. Fakta bahwa ia memang tidak cocok bersanding dengannya.
Azkia tersenyum saat melintasi beberapa mahasiswa yang sudah memenuhi koridor. Namun, kali ini ia berjalan sendiri tanpa kedua sahabatnya.
Kesya dan Rani, mereka sudah enggan bersahabat dengan Azkia. Bagi keduanya, penampilan Azkia yang sekarang membuat mereka malu karena pakaian tersebut memiliki sebutan ‘Ukhti'.
Akan tetapi, jika di pikir dan diteliti. Sebenarnya apa yang salah dengan pakaian tersebut? Dengan gamis dan jilbab, apakah akan membuat wanita yang memakainya tampak buruk? Jelek? Kotor? Hina? Berdosa? Pembawa sial? Tidak, bukan? Namun, mengapa sering kali dipermasalahkan? Coba tanyakan pada diri sendiri.
“Heh!” ucap seseorang dari belakang.
Azkia yang tengah membalas sapaan orang-orang di koridor, menoleh ke sumber suara. Tampak dua gadis berpakaian casual. Kesya dengan jeans putih, serta baju merah berlengan panjang dan rambut terurai. Sementara Rani si gadis berkulit langsat, memakai jeans hitam, serta baju cream.
“Kesya, Rani!” ucap Azkia dengan mata berbinar. Ia bahagia bisa bertemu dengan dua gadis yang masih ia anggap ‘Sahabat’.
“Kalau lo masih sahabatan sama kita, mending lo ganti style ukhti itu sama busana lo yang dulu!” ujar Kesya dengan tegas seraya menatap Azkia.
Azkia bergeming. Sejenak ia berpikir, antara memilih sahabatnya atau hijrahnya. Jika memilih sahabat, maka perubahannya akan sia-sia. Hijrahnya gagal. Jika ia memilih hijrah, tetapi ia juga ingin bisa bersahabat dengan Kesya dan Rani.
“Apa tidak ada pilihan lain?”
“Enggak!” kini giliran Rani yang berbicara.
“Kalau begitu ... maaf, aku lebih memilih tetap berada di jalan ini. Jika kalian tulus ingin bersahabat denganku, kalian enggak akan mempermasalahkan pakaian ini!” ujar Azkia mantap, dengan tangan memegang jilbab merah hati yang ia kenakan.
“Heh! Sok suci banget sih, lo!” bentak Kesya sambil mendorong bahu Azkia hingga tubuh gadis itu menabrak dinding.
“Aww!” ringis Azkia, lalu ia merasakan kepalanya kembali sakit. Tubuhnya merasa panas dingin, tetapi ia menghiraukannya.
“Kesya ...,” panggil Azkia pelan, lalu melangkah menghadap gadis berkulit putih itu.
“Kenapa kamu jadi seperti ini?”
“Alah! Jangan sok, lo!” bentak Kesya di hadapan sahabatnya, Azkia.
Tangan Azkia terulur memegang kepalanya yang terasa nyeri. Pandangannya semakin kabur, dengan suara Kesya yang terus saja membentak dirinya.
“Eh, lo jangan pura-pura deh!” ucap Kesya, lalu mendorong tubuh gadis di hadapannya.
Azkia yang semakin merasa lemah, tak bisa berbuat apa-apa. Matanya terpejam, ia pasrah jika harus pingsan atau terjatuh ke lantai. Namun, tubuhnya sama sekali tak menyentuh dinginnya lantai. Ia merasa ada yang menahannya.
Gadis itu mencoba membuka matanya perlahan, meski terasa begitu berat karena sakit di kepala yang semakin menjadi.
Samar tampak sosok lelaki tampan dengan peci hitam tersemat di kepalanya. “Pak Azka ...,” gumamnya sebelum pandangan menjadi gelap sempurna.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top