15. Antara Suka dan Duka

Gadis bermata sayu itu menatap pantulannya di depan cermin, lalu menarik bibirnya ke samping. Balutan gamis syar'i berwarna peach dengan jilbab senada membuatnya tampak lebih anggun.

Sesuai janjinya pada Azrani, ia akan datang ke acara lamaran wanita tersebut. Wanita yang sudah mengubahnya menjadi seperti ini dalam waktu dekat. Wanita yang sudah mengajarinya banyak hal, meski responnya terkadang dingin.

Azkia bersyukur, bisa mempunyai sahabat seperti Azrani. Darinya, ia tahu bahwa hidup bukanlah hanya tentang kenikmatan semata. Bukan tentang percintaan atau persahabatan semata, tetapi hidup yang sesungguhnya adalah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan hal yang bisa menambah pahala. Hidup yang sebetulnya adalah setelah kematian, bukan sebelum.

“MaaSyaa Allah, putri Papah sudah cantik aja. Mau kemana, Sayang?” tanya Irwan saat memasuki kamar putri semata wayangnya.

Pria paruh baya yang mulai tampak kerutan di wajah tampannya itu menghampiri Azkia. Irwan tersenyum tatkala putrinya menoleh.

“Eh, Papah. Ini ... mau ke acara khitbahnya teman, Pah. Boleh, ya?” ucap Azkia setelah menghadap papahnya.

“Teman yang sudah membuatmu seperti ini?” Azkia mengangguk. “Tentu boleh. Jangan lupa bawakan hadiah, ya,” peringat Irwan sembari mengusap pucuk kepala gadis di depannya yang terbalut jilbab.

Azkia mengangguk. “Iya, Pah.”

“Nanti Lara akan ikut sama kamu dan tidak ada penolakan,” ujar Irwan tegas.

“Hum ... iyaiya. Ya udah, Pah. Takut telat, aku berangkat, ya. Assalamualaikum!” ucap Azkia sambil menyalami papahnya.

Lantas, gadis itu segera memasuki mobil setelah Lara sang bodyguard membukakan pintu untuknya. Ia sangat beruntung, memiliki Papah yang selalu mendukungnya. Apalagi, saat mengetahui dirinya hijrah. Irwan tak tanggung-tanggung membeli puluhan setelan gamis syar'i dengan merek ternama.

Hati orang tua mana yang tidak bahagia, jika putrinya hijrah dan lebih taat? Jikalau pun ada yang tidak bahagia, mereka patut dipertanyakan keadaan nurani dan hidayah dalam hatinya.

“Non terlihat sangat cantik,” puji Lara melihat nona mudanya dari kaca spion dalam mobil.

“Terima kasih. Kamu juga cantik, meski agak aneh, sih. Karena biasanya pake setelan celana dan kemeja serba hitam. Sekarang pake gamis,” ucap Azkia jujur apa adanya, lalu terkekeh.

Wanita yang tengah mengemudi itu ikut terkekeh mendengar penuturan dari nona mudanya. Memang benar, gamis polos hitam serta jilbab pashmina berwarna senada membuatnya sedikit aneh. Meski begitu, warna hitam tetap menjadi ciri khasnya sebagai bodyguard.

Sesekali netra gadis memakai gamis peach itu melirik ke arah benda pipih yang di pegangnya. Tertera jalur lokasi dari aplikasi penunjuk arah membantunya ke rumah Azrani. Sebelumnya, wanita itu mengirim alamatnya lewat aplikasi tersebut.

Azkia terus menunjukan arah dengan Lara sebagai pengemudi. Meski sempat bertanya pada orang-orang, akhrinya keduanya berhasil sampai di depan gerbang.

“Silakan, Non!” ucap Lara sembari membukakan pintu.

Bibir tipis Azkia berdecak kagum saat melihat gerbang menjulang tinggi, lalu netranya menangkap satu benda pesegi bertuliskan nama tempat tersebut berwarna hijau.

“Pondok Pesantren Miftahul Muta'allimiin!” ucap Azkia membaca nama tempat yang tertera.

Azkia menutup mulut tak percaya. “Jadi, selama ini ....”

Selama ini ia mengira Azrani hanya orang biasa. Ternyata salah, wanita itu adalah salah satu orang yang tinggal di tempat mulia ini. Betapa malunya dia, mengingat perlakuannya dulu sangat tidak sopan.

Dengan keadaan jantung yang sudah memompa lebih cepat, Azkia melangkah perlahan memasuki gerbang yang sudah terbuka setengahnya.

Lagi dan lagi ia dibuat kagum dengan bangunan yang disuguhkan. Bangunan berlantai dua berwarna hijau dengan puluhan pintu membuatnya terpesona. Beberapa saung yang terbuat dari bambu berjejer rapi di samping kirinya, lalu di samping kanan bangunan tersebut terdapat beberapa rumah yang dipastikan itu adalah rumah pemilik pondok pesantren.

“Assalamualaikum,” ucap seorang gadis menghampiri Azkia.

Lara yang berdiri di belakang nona mudanya itu, segera menatap tajam gadis tersebut pertanda ia sudah waspada jika ada yang akan menyakiti Azkia.

Azkia menoleh. “Waalaikumsalam.”

“Maaf, Mbak Azkia bukan?”  tanya gadis memakai gamis merah muda. Dari wajah dan postur tubuhnya terlihat lebih tua dari Azkia.

“Iya. Kok, tau?” ujar Azkia heran. Dia baru datang ke tempat ini, tetapi sudah ada yang mengenal namanya.

“itu ... Ning Azrani sudah menunggu,” ucapnya menunjuk ke arah rumah tepat di samping bangunan pondok.

Azkia mengikuti arah yang di tunjukan gadis tersebut. Tampak sosok berpakaian serba hitam melambaikan tangan dari kaca jendela.

Azrani tersenyum di balik kain yang ia kenakan. Saat dirinya tengah bersiap di kamar, netranya tak sengaja menangkap sosok Azkia yang baru saja memasuki area pondok. Buru-buru ia meminta santri putri yang tengah mempersiapkan acara di ruang tamu untuk memanggil gadis tersebut.

“Ning?” tanya Azkia.

“Iya. Ning itu untuk sematan putri pemiliki pondok, Mbak. Jika laki-laki, maka biasa disebut Gus,” tuturnya panjang lebar.

Azkia tampak terkejut. Ternyata tebakannya barusan salah. Ia kira, Azrani hanya orang yang tinggal di sini sebagai santri, tetapi itu salah. Wanita itu adalah putri dari pemilik pondok pesantren.

Lantas, Azkia segera mengikuti langkah gadis tersebut. Lalu-lalang santri putri membuatnya tersenyum miris, mengingat ia baru saja hijrah dan mendalami ilmu agama. Sementara mereka pasti sudah mengantongi banyak ilmu.

Mata Azkia memicing saat langkahnya hampir mendekati rumah berwarna cream tersebut. Fokusnya teralihkan pada dinding yang menjulang tinggi tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Hei, itu apa?” tanya Azkia sambil menunjuk ke arah dinding yang tak jauh berdiri kokoh di samping kiri rumah.

Gadis itu menoleh. “Oh, itu pembatas antara asrama putra dan putri, Mbak. Bangunan besar berwarna hijau berlantai dua itu asrama putra. Sementara di dekat dinding itu, bangunan berwarna biru itu asrama putri. Jadi, kami antara perempuan dan laki-laki tidak akan bisa bertemu, Mbak,” jelasnya sembari menunjuk bangunan yang dimaksud.

“Mari, Mbak. Masuk,” ajaknya kemudian Azkia mengangguk dan mengikuti gadis tersebut.

Lara hanya menyimak obrolan keduanya. Tugasnya hanya menjaga Azkia dari bahaya yang mengancam. Selebihnya, ia seperti patung berjalan. Mengikuti ke mana arah nona mudanya pergi.

Semua orang berdecak kagum saat melihat sosok Azkia memasuki rumah gurunya. Gadis cantik bergamis peach itu berhasil menarik perhatian santri putri yang tengah menyusun beberapa makanan di ruang tamu yang akan dipakai untuk acara.

“MaaSyaa Allah, Azkia. Akhirnya, kamu datang juga,” ucap Azrani menyambut kedatangan Azkia dengan memeluk gadis tersebut.

“Iya, alhamdulillah. Gimana, deg-degan, Gak?” tanya Azkia kemudian keduanya terkekeh.

Para santri putri yang melihat adegan langka ini saling pandang dengan teman di sampingnya. Dalam hati mereka bertanya, ‘Siapa wanita cantik yang tengah mengobrol dengan Ning mereka?’

“Ayok, duduk. Sebentar lagi acara dimulai,” ucap Azrani mempersilakan Azkia duduk.

“Sri, Umi mana?” tanyanya pada gadis yang tadi bersama Azkia.

Azkia menyimak pembicaraan tersebut. Ternyata gadis tadi yang membawanya ke sini bernama Sri.

“Nak, siapa?” tanya wanita paruh baya memakai abaya bercorak bunga-bunga lengkap dengan jilbab berwarna senada.

“Umi ...,” ucap Azrani kemudian menyalami wanita yang sudah melahirkannya itu.

Azkia yang melihat pemandangan tersebut bergeming. Ternyata sosok Azrani sangat sopan pada orang tuanya, hingga saat bertemu masih satu rumah pun, ia menyalaminya. Kemudian, wanita yang di panggil ‘Umi’ itu duduk tepat di samping Azrani.

“Kenalkan, Mi. Ini Azkia, sahabat Azrani yang pernah diceritakan kemarin,” ujarnya seraya melirik ke arah Azkia.

Azkia segera menyalami wanita paruh baya yang masih terlihat segar itu. Wajahnya ayu, tatapannya sendu, juga senyum yang tak pernah pudar. Betapa beruntungnya Azrani, masih memiliki seorang Ibu.

“Azkia,” ucapnya memperkenalkan diri.

“Cantik,” pujinya. “Hanifah, uminya Azrani,” ujarnya melirik ke arah sang putri.

Riuh piuh terdengar dari luar. Azkia yang tengah mengedarkan pandangan, mendadak menangkap sosok tak asing baginya. Sarung hitam, kemeja putih, serta peci hitam yang selalu setia tersemat di kepalanya.

“Pak Azka ...,” gumam Azkia hampir tak bersuara, lalu melirik ke arah Azrani yang tengah menunduk.

“Jadi ....” Azkia berdesis saat merasakan nyeri di ulu hatinya.

Seperti tertusuk ribuan duri, perih seketika menjalar hingga air mata hampir keluar jika tak segera ia cegah.

Azka yang di papah sang abi, mendadak senyumnya hilang saat melihat sosok gadis yang menatapnya datar. Sementara itu, ia juga melirik ke arah samping di mana gadis itu duduk. Terdapat sosok gadis berpakaian serba hitam, lengkap dengan secebis kain di wajahnya tengah menunduk.

“Ayok, Nak. Masuk,” ajak Amir mengusap bahu putranya pelan.

“Iya, ayok, Nak!” imbuh Yasmin seraya tersenyum.

Hanifah dan Apip yang melihat kedatangan calon menantu dan besannya segera berdiri dan menyambut kedatangan mereka.

“Ahlan wasahlan, Amir, Yasmin, Azka. Silakan duduk,” ujar Apip memakai jubah putih lengkap dengan sorban dan peci berwarna senada.

Azkia bergeming menatap ketiga orang yang baru saja duduk di seberangnya. Dengan sekuat tenaga ia menahan air agar tak keluar dari telaga.

Lara yang melihat air mata berlinang di pelupuk noda mudanya khawatir. “Non, tidak apa-apa?” tanyanya melirik ke arah Azkia.

“Enggak,” kilah Azkia kemudian menyeka air di sudut
matanya.

Acara berlangsung sangat khidmat. Acara pembukaan dari Apip selaku Abah dari Azrani sudah selesai. Kini, masuk pada acara inti. Penyerahan cincin dari pihak pria sebagai simbol khitbah.

Yasmin tersenyum, lalu mengeluarkan kotak kecil berbentuk hati, lalu melangkah ke arah Azrani dan membuat gadis yang sedari tadi menunduk itu mendongak. Azrani segera menyalami wanita yang akan menjadi Ibu mertuanya. Sementara itu, Azkia yang menyaksikan hal tersebut tepat di sampingnya semakin merasa sesak.

“Sini, Nak. Jari kamu,” pinta Yasmin kemudian Azrani mengangkat tangannya yang memakai sarung hitam.

Benda berbentuk bulat itu sudah melingkar di jari manis Azrani dan terdengar semua orang mengucapkan hamdalah sebagai tanda rasa syukur, karena acara inti sudah selesai dilaksanakan dengan lancar.

Azkia menatap Azrani, binar bahagia hadir di mata wanita tersebut. Kemudian beralih menatap Azka, lelaki itu tampak biasa saja. Namun, saat melihat gadis di seberangnya, ia memalingkan wajah.

Azkia meremas tangannya sendiri di balik jilbab syari yang ia kenakan, lalu menunduk pasrah dan sekuat tenaga menahan sesak di hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top