14. Berubah or Hijrah

Azkia terbelalak saat melihat sosok lelaki bertubuh kekar dengan posisi membelakanginya. Ia tahu, siapa orang di depannya meski hanya dari punggungnya saja. Karena hanya ada satu orang yang selalu membelakanginya ketika berbicara.

“Loh, kok Pak Azka ada di sini?” tanya Azkia sembari menatap punggung lelaki memakai kemeja putih, sarung hitam lengkap dengan peci berwarna senada.

“Rumah saya di sekitar sini,” jawab Azka singkat kemudian segera berlalu dari hadapan Azkia.

Ia hanya ingin memastikan bahwa gadis yang di lihatnya adalah Azkia. Benar, saat gadis tersebut menoleh, buru-buru ia berbalik badan. Tak ingin netranya menatap hal yang Sang Kuasa tak halalkan.

Azkia mendengkus kesal. Dosen muda itu memang pantas di juluki ‘Tuan Angin'. Seperti layaknya angin, datang tak di undang, pun pergi tanpa pamit. Terlebih, sering membuat sejuk tetapi juga membawa badai.

“Dasar Tuan Angin!” gerutu Azkia, lalu masuk ke mobil.

***

Mentari telah kembali menyapa dengan semburat cahaya di angkasa. Menyambut para manusia dengan keceriaan untuk kembali beraktivitas.

Bibir tipis seseorang tertarik ke samping hingga seperti bulan sabit. Pesona kecantikannya tak bisa dipungkiri, Azkia terlihat sangat cantik dengan balutan baju cokelat tua berlengan panjang yang ia kenakan.

Semua orang yang ia lintasi, berdecak kagum melihat perubahan penampilan gadis bermata sayu itu. Aura kecantikan yang ia pancarkan, mampu membuat seseorang teralihkan fokusnya.

“Woy! Kalau jalan liat-liat, dong!” bentak seseorang.

“Eh, sorry-sorry!” pinta seorang mahasiswa saat tak sengaja menabrak gadis di depannya.

Azkia menoleh ke arah sumber suara, tampak tiga pria tengah memperhatikannya hingga menabrak gadis. Ia terkekeh, lalu kembali menyusuri koridor menuju kelasnya di lantai dua.

Pujian demi pujian terdengar saat melihat Azkia. Beberapa di antaranya menyapa sembari mengulum senyum ke arahnya.

“Pagi, Azkia ...,” sapa seorang gadis berambut sebahu yang ia lintasi.

Azkia hanya tersenyum menanggapinya dengan kaki yang terus melangkah dan menghiraukan tatapan dari semua orang. Entah itu kagum, atau sebaliknya.

Perubahan Azkia langsung tersebar ke seluruh penjuru kampus. Seperti artis, perubahan penampilannya menundang banyak perhatian. Parasnya yang cantik, serta putri salah satu konglomerat ternama, tentulah membuatnya mudah dikenali mahasiswa lain.

Akan tetapi, bukan hidup jika selalu lurus nan mulus. Pasti ada baik dan buruknya dalam diri seseorang, kurang dan lebihnya. Maka dari itu, hargai sesama dan jangan saling menjatuhkan apa pun keadaannya.

“Wuih, ada ukhti baru nih!” celetuk seorang lelaki berpakaian casual.

“Ukhti baru lahir!” tambah teman di sampingnya.

Azkia hanya tersenyum menanggapi beberapa cibiran dan pujian. Ia terus melangkah dengan percaya diri, meski tatapan para netizen mengalahkan cabai yang paling pedas di dunia.

“Az!” teriak seseorang dari belakang.

Azkia yang hampir masuk ke dalam kelas, berhenti di ambang pintu dan menoleh ke sumber suara. Tampak dua gadis memakai dress mini berwarna hitam, salah satunya terdapat aksen broket di dada dan berlengan pendek. Sementara satunya lagi, berlengan panjang.

“What! Ini serius lo, Az?” tanya Kesya, gadis yang memakai dress hitam berlengan pendek.

“Kesambet apa, lo?” imbuh Rani.

Kedua gadis tersebut memperhatikan style sang sahabat dari bawah sampai atas. Tampak sepatu warna putih, gamis cokelat tua polos, serta jilbab syar'i berwarna senada.

“Lo kenapa, Az?” tanya Kesya setelah mengamati penampilan Azkia yang bertolak belakang dengan busana sebelumnya.

“Enggak papa, aku mau memperbaiki diri aja. Dimulai dari menutup aurat,” tutur Azkia, lalu tersenyum menatap kedua sahabatnya secara bergantian.

Azkia memang sudah ada niat untuk merubah diri mulai dari penampilan. Sejak bertemu dengan Azrani, membuatnya banyak berpikir dengan hidupnya selama ini. Apalagi, setelah melakukan salat empat rakaat bersama wanita itu di mesjid, membuatnya semakin sadar bahwa ia telah jauh melangkah dari Sang Pencipta.

Saat perjalanan pulang kemarin sore, Azkia sengaja mampir ke mall dan membeli beberapa set gamis syari. Mulai hari ini, ia akan mengenakan style tersebut.

“T-tapi ... penampilan lo!” ujar Rani masih tak percaya dengan perubahan sahabatnya.

“Ada yang salah?” tanya Azkia dengan nada ramah.

“Iya! Gara-gara lo gue sama Rani di ketawain teman-teman karena sahabatan sama ukhti! Udahlah, kita enggak usah sahabatan lagi! Ayok Rani, masuk!” ketus Kesya, lalu menarik tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam kelas menerobos tubuh Azkia.

Seketika mata sayu itu berlinang air mata. Hati Azkia teriris mendengar ungkapan sahabatnya. Apa ada yang salah dengan pakaiannya? Ia rasa, tidak. Bukankah pakaian yang ia kenakan adalah pakaian para muslimah? Lantas, mengapa banyak orang yang mengatakan buruk tentang pakaian tersebut?

Azkia menunduk pasrah, lalu segera menghapus jejak air dan ikut masuk ke dalam kelas. Karena jam pelajaran akan segera dimulai beberapa menit lagi.

Selama kelas berlangsung, Azkia terus saja menunduk dengan rasa sesak di hati. Perkataan Kesya masih terngiang di telinga. Ia tidak menyangka, bahwa sahabatnya akan mempermasalahkan penampilannya.

“Kalau saya sedang menjelaskan, baiknya lihat ke depan, bukan terus menunduk!” ucap seseorang.

Azkia segera menghapus air matanya kasar, lalu mendongak. Tampak dosen muda berkemeja biru tua berdiri di depan kelas. Pasti ucapan tadi di tujukan untuknya.Mau tidak mau, ia menyimak dengan menatap lurus ke depan.

“Baik, mungkin sekian materi hari ini. Kelas selesai, saya akhiri. Assalamualaikum!” ucap Azka kemudian duduk di kursi kebesarannya sebagai dosen.

Semua mahasiswa segera ke luar kelas, menikmati kebebasam setelah jam kelas telah usai. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Azkia. Kedua sahabatnya melenggang pergi tanpa sepatah kata pun. Ia menunduk pasrah dengan tatapan sendu mengamati lantai putih.

“Kamu terlihat lebih cantik dengan pakaian itu, tidak perlu bersedih jika ada orang yang berkomentar ini dan itu. Hiraukan,” ucap seseorang.

Azkia mendongak. Rupanya dosen muda itu belum ke luar, ia tengah berdiri di ambang pintu dengan memasukan kedua tangannya ke saku celana. Tas ransel hitam sudah berada di punggungya.

“Terima kasih,” hanya satu kalimat itu yang Azkia ucapkan, lalu menatap kepergian dosen muda tersebut.

Hatinya menghangat, pertanda Azka mendukung perubahannya. Ia harus semangat, pantang mundur sampai berhasil istiqomah.

***

“MaaSyaa Allah, baru kemarin bilang mau berubah, hari ini sudah benar-benar di lakukan,” ujar wanita berpakaian serba hitam. Hanya saja, terdapat renda putih di bagian mata kaki dan pergelangan tangannya.

Azkia tersenyum. “Iya, alhamdulillah. Semoga bisa
istiqomah,” ucapnya menatap Azrani.

Sesuai janji, kini kedua gadis tersebut kembali bertemu di kafe yang sama seperti sebelumnya. Azrani menjelaskan banyak hal seputar syareat islam. Bagaimana wanita harus berbicara ketika di luar rumah, di dalam rumah. Dalam islam pun, wanita ketika berbicara harus bisa memposisikan sesuai keadaan.

Azkia menyimak semua penjelasan Azrani dengan saksama. Bagaimana ketika berbicara dengan lawan jenis yang bukan mahrom sesuai syareat, serta beberapa hal lainnya yang sering dianggap lumrah padahal itu dosa.

“Jadi, ketika kita berbicara dengan laki-laki yang bukan mahrom, maka harus dalam keadaan menunduk. Suara tegas dan tidak di lembut-lembutkan, serta tidak bertele-tele.” Azrani menatap gadis di depannya.

“Apa kamu sudah bisa membedakan mana yang hanya berubah dan yang benar-benar hijrah?” tanya Azrani di sela penjelasannya.

Azkia menggeleng. “Enggak. Jelaskan,” pintanya, lalu tersenyum manis dan kembali menyimak penjelasan Azrani. Sesekali ia meminum jus alpukat kesukaannya.

Azrani menjelaskan dengan antusias, bahwasanya ‘Berubah dan Hijrah' adalah kedua hal yang berbeda. Berubah artinya merubah diri, hanya sebatas merubah. Dengan kata lain, hanya merubah penampilannya saja.

Berbeda dengan hijrah. Hijrah artinya berpindah. Berpindah dari yang buruk ke hal yang lebih baik. Bukan hanya penampilan, tetapi juga memperbaiki amal ibadah, kembali menata hati agar selalu terpaut pada Allah.

“Emm ... berarti beda, ya.” Azkia mengangguk paham.

“Kamu sudah paham, ya. Masalah ini. Kalau begitu ... aku pamit pulang, ya?” ujar Azrani kemudian berdiri.

“Loh, kenapa?”

Azrani bergeming dengan mata menyipit, pertanda ia tengah tersenyum ke arah gadis yang masih duduk di depannya.

“Malam ini insya Allah aku di khtibah, lamaran. Doakan yang terbaik, ya,” tutur Azrani.

Azkia menutup mulut tak percaya. Ia ingat, kemarin Azrani mengatakan akan di lamar hari ini. “Waaah, selamat, ya! Aku ikut bahagia,” ucap Azkia kemudian berdiri dan memeluk Azrani dari samping dan menyandarkan kepalanya pada bahu wanita tersebut.

“Terima kasih. Kamu enggak mau dateng, gitu?”

“Emang boleh?” tanya Azkia melerai pelukannya.

“Yaa boleh, dong! Nanti aku share lokasinya, ya!”

Azkia mengangguk, lalu menatap kepergian wanita yang telah berhasil membuatnya berubah. Hijrah lebih tepatnya.

“Hum ... kira-kira, siapa ya calon Azrani? Pasti lelaki itu sangat beruntung,” gumam Azkia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top