13. Pertemuan Kedua

“Saya mau minta maaf, Pak. Untuk sikap saya kemarin dan terima kasih,” ucap Azkia pelan.

“Terus, apa hubungannya minta maaf, terima kasih, dan pertanyaan kamu barusan?” tanya Azka dengan nada dingin, seolah tak ingin menjawab pertanyaan dari gadis di belakangnya.

“Tidak ada. Saya hanya ingin tau, apa Bapak sudah punya calon atau belum,” jujur Azkia.

Semua orang yang masih berada di kelas tampak terkejut mendengar percakapan antara murid dan dosen itu. Keduanya memang cocok menjadi sepasang kekasih, cantik dan tampan. Namun, sikap antara Azkia dan Azka sangat jauh berbeda. Azka yang agamis, sementara Azkia gadis kekinian.

Bukannya menjawab, dosen muda itu justru pergi begitu saja dari hadapan Azkia yang masih menunggu jawaban dan membuat gadis tersebut kesal.

Azkia melirik ke arah teman-temannya. “Apa liat-liat!” ketusnya kemudian melangkah ke luar.

Mahasiswa yang masih berada di kelas hanya menggeleng melihat sikap gadis cantik bermata sayu itu. Cantik, pintar, kaya, tetapi sikapnya tak secantik wajahnya. Azkia selalu bersikap tak ramah bila orang tersebut bukan orang terdekatnya.

Sepanjang ia berjalan ke arah parkiran, bibirnya terus saja menggerutu. Ia masih kesal dengan dosen muda menyebalkan itu. Apa salahnya jika ia bertanya? Apa susahnya menjawab ‘Iya atau Tidak!’

Azkia mendengkus kesal, lalu mengentakkan kaki beberapa kali setelah sampai di parkiran. “Dasar Tuan Angin menyebalkan!" gerutunya.

“Woy!” ucap seseorang dari belakang mengejutkan Azkia.

Akan tetapi, Azkia menoleh memasang raut datar. Tak ada
ekspresi terkejut sama sekali. Kesal membuatnya tidak bisa mengekspresikan apa pun.

Rani dan Kesya cengengesan, mereka telah salah tempat untuk mengajak sahabatnya bergurau. Keduanya kompak menggaruk tengkuk yang tak gatal, lalu saling pandang satu sama lain.

“Lo kenapa, sih?” tanya Kesya disertai kekehan, berusaha mencairkan suasana.

“Gue lagi kesel!” jawab Azkia kesal, lalu menyilangkan tangan di dada dan memalingkan wajah dari Rani dan Kesya.

Kedua sahabatnya itu sudah ke luar kelas terlebih dahulu, sebelum ia berbicara dengan dosen menyebalkan. Namun, ada bagusnya juga. Mereka takkan mempertanyakan perasaannya pada Azka. Jika mereka tahu Azkia sempat bertanya hal tersebut, bisa-bisa Rani dan Kesya bertanya ‘Ada perasaan apa?’

“Az, ke kafe, yuk? Udah lama kita enggak main,” ujar Kesya yang langsung di angguki Rani.

Azkia menoleh. “Emm ... ay—“

“Bentar,” ucap Azkia saat mendengar teleponnya berbunyi. Buru-buru ia mengambil benda pipih tersebut dari dalam tas.

“Hallo! Sekarang? Oke.” Azkia tersenyum saat sambungan telepon terputus, lalu menatap kedua sahabatnya secara bergantian.

“Siapa?” tanya Rani, ia heran dengan perubahan sikap Azkia.

Beberapa menit lalu terlihat sangat kesal, tetapi setelah menerima telepon dari seseorang mendadak raut wajahnya menjadi bahagia.

“Temen, ngajak ketemu. Kalian berdua aja, ya. Sorry ... gue enggak ikut dulu. Lain kali deh, gue ikut. Bye!” tutur Azkia, lalu berpamitan kemudian berlari kecil dengan tangan melambai.

***

Dua wanita berpakaian tolak belakang saling pandang dengan posisi berhadapan. Hanya saja, terdapat meja bundar yang menjadi sekat di anataranya.

Azkia menatap wanita berpakaian serba hitam di depannya. “Katakan, kenapa mengajak bertemu?”

“Seperti yang pernah aku katakan, kita akan mengobrol dan menjalin pertemanan,” tutur Azrani dengan nada pelan, tetapi masih bisa di dengar oleh gadis berpakaian kekinian.
Dress armi selutut dengan ikat pinggang keemasan. Wajah ayunya semakin terpancar meski dengan make up natural.

Azkia mengangguk. Awalnya ia ingin menolak, tetapi mengingat jawaban dosen muda itu membuatnya mengurungkan niat dan menerima ajakan pertemuan dari Azrani.

Ia ingat, Azka lebih suka dengan wanita yang tertutup dan berpakaian tidak mencolok. Apakah wanita di depannya termasuk kategori dosen muda itu? Azrani sama persis dengan apa yang di gambarkan oleh Azka. Berpakaian serba hitam tanpa ada hiasan apa pun. Baik pakaian, atau pun matanya.

“Ngomong-ngomong, nama kamu siapa? Aku belum tau loh, nama kamu,” ujar Azrani disertai kekehan. Meski tak terlihat, tetapi gadis di depannya tahu dari bahunya yang sedikit bergetar.

“Azkia,” jawab gadis bermata sayu itu singkat, lalu tersenyum tipis.

“Wah, cantik. Selain wajahmu cantik, namamu juga begitu,” puji Azrani.

“Terima kasih.”

“Oh, ya. Kamu ... masih kuliah, atau menikah?” tanya Azrani, berusaha masuk ke dalam kehidupan gadis di depannya. Meski Azkia masih merespon kaku, tetapi ia sangat ingin dekat dengan gadis tersebut. Entah mengapa, hatinya mengatakan ia harus bisa berteman dengannya.

“Kuliah. Kalo nikah, belum ada calon. Kalo Mbaknya sendiri?” ujar Azkia. Ia mulai terbiasa merespon Azrani dengan baik, meski masih terdengar kaku.

“Jangan panggil ‘Mbak’, panggil saja Azrani,” pintanya.

“Oke,” putus Azkia kemudian mengangguk paham.

“Kalo menikah, alhamdulillah baru ada calon. Doakan semoga lancar sampai pelaminan,” ucap Azrani serius.

“Aamiin. Udah sampe proses mana?”

“Insya Allah besok lamaran.”

Tak terasa, lama mengobrol membuat Azkia merasa nyaman dengan sosok di depannya. Ternyata tak selamanya yang berpakaian tertutup seperti Azrani itu sombong dan merasa lebih baik dari orang lain. Sekarang ia tahu, Azrani adalah sosok yang sangat ke ibuan, humble, ceria, serta ramah dan cepat akrab.

Keduanya banyak bertukar informasi. Baik dari segi pendidikan, silsilah keluarga, serta alamat rumah. Azkia dan Azrani seperti dua sahabat yang sudah lama tak bertemu dan disatukan kembali. Mereka tampak begitu sangat menikmati obrolan, hingga beberapa kali terdengar kekehan di antara keduanya.

“Mungkin kita lanjut besok, aku harus pulang sekarang,” ucap Azrani sambil memasukan benda pipih ke dalam tas selempangnya.

“Naik apa?”

“Angkutan umum atau ojek, mungkin.”

“Rumah kita kan searah, hanya berbeda jalur saat di pertigaan saja. Kenapa enggak bareng aku?” usul Azkia menatap wanita di hadapannya.

“Enggak ngerepotin?”

Azkia menggeleng, lalu tersenyum. “Enggak. Yuk, pulang!” ajak Azkia yang langsung di angguki Azrani. Kemudian, keduanya langsung beranjak dari kafe.

Sepanjang perjalanan, mereka tak henti-hentinya saling melempar pertanyaan seputar kehidupan masing-masing. Namun, Azkia tidak tahu, bahwa sosok yang duduk di sampingnya adalah putri dari pemilik pondok pesantren.

“Bentar, Az. Kita berhenti dulu di mesjid sana, aku mau salat. Ashar udah lewat beberapa menit yang lalu,” ujar Azrani.

Azkia mengangguk, lalu berhenti di halaman mesjid yang cukup luas. Bangunan berlantai dua dengan nuansa hijau muda dipadu dengan putih, membuat rumah para muslim itu menjadi semakin terlihat damai.

“Kamu muslim?” tanya Azrani hati-hati. Takut, jika gadis di depannya bukan seorang muslim.

“Iya, aku muslim. Tapi ... aku lupa dengan bacaan salat,” jujur Azkia kemudian menunduk pasrah.

“Enggak papa, nanti aku pimpin salatnya!” ujar Azrani, lalu melangkah lebih dulu.

Azrani tahu, jika waktu salat telah terlewat, maka pasti sudah tidak ada jamaah lagi.

“Azra ... a-aku, minta maaf soal pertemuan pertama kita,” ucap Azkia saat berada di parkiran. Hatinya terasa lebih tenang setelah melaksanakan empat rakaat tersebut. Selama ini, ia tak pernah mendapatkan ketenangan seperti ini. Mungkin karena dirinya telah jauh dari Sang Pencipta.

“Enggak papa, aku maafkan.”

“Aku boleh minta satu hal?” tanya Azkia menatap wanita di hadapannya yang hanya menampakan kedua bola mata penuh harap.

“Silakan, jika aku mampu,” ujar Azrani.

Posisi mereka yang berada di samping mobil, membuat keduanya menjadi sorotan lalu-lalang orang-orang yang ke luar masuk dari mesjid karena pakaian keduanya yang bertolak belakang. Azrani yang berpakaian serba hitam dan tertutup menyisakan bola matanya saja, sementara Azkia memakai dress selutut dengan rambut terurai. Jelas sekali perbedaan keduanya, seperti langit dan bumi.

“Aku ... mau hijrah. Tolong bimbing aku,” ucap Azkia pelan.

“Alhamdulillah!” syukur Azrani. Ia bersyukur, baru satu hari bertemu dengan Azkia, tetapi gadis di depannya itu sudah ingin memperbaiki diri.

“Insyaa Allah, aku bantu. Nanti kita bicarakan lagi di chatt, ya.”

Azkia mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya.

Tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap berhenti tepat di depan tempat parkir dan membuat seseorang menarik bibirnya ke samping saat melihat kendaraan beroda empat tersebut.

“Aku udah dijemput. Duluan, ya! Assalamualaikum!” ucap Azrani, lalu berjalan dengan perasaan gembira ke arah mobil yang baru saja datang. Kemudian masuk ke dalamnya.

Azkia tersenyum saat melihat wanita itu menurunkan kaca mobilnya dan melambaikan tangan.

“Bye!” ucap Azkia.

“Azkia?” panggil seseorang dari belakang.

Azkia menoleh. “Loh ...”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top