10. Fakta Baru

Petir bergemuruh membuat tubuh gadis bermata sayu itu langsung bergetar. Bukan karena tersambar, melainkan karena trauma di masa lalu yang membuatnya sangat enggan mendengar suara tersebut.

Secepat mungkin Azka berlari ke tengah lapangan untuk menghampiri gadis memakai dress biru yang sudah dalam keadaan skot jam dan menutup telinga serta mata terpejam. Lelaki berlesung pipi itu menghiraukan kemeja hitamnya yang mulai basah terkena guyuran hujan.

Tampak raut khawatir terbit di wajah tampannya. Azka tak tega melihat Azkia ketakutan sampai tidak menggerakan tubuhnya sedikit pun. Segera ia pacu kakinya agar lebih cepat menerobos hujan menuju gadis tersebut.

“Non Azkia! Non enggak papa?” tanya wanita berpakaian serba hitam, mendadak ia datang dari arah kanan sebelum Azka sampai ke tempat di mana Azkia duduk.

Azka menghentikan langkahnya dengan hujan yang terus saja mengguyur. Sejenak ia berhenti dan memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh bodyguard itu, lalu kembali melangkah seperti biasa ke arah di mana Azkia berada.

Tampak bodyguard bernama Lara itu tengah menyadarkan Azkia dari ketakutannya. Namun, gadis itu masih enggan membuka mata dengan tangan yang masih setia menutupi telinga. Bahunya bergetar hebat, pertanda nona muda itu sangat ketakutan.

“Non ...,” panggil Lara seraya menyelipkan rambut hitam Azkia ke daun telinga.

Azkia membuka matanya perlahan, dalam pikirannya sekarang bayang-bayang masa lalu sudah terngiang kembali seperti kaset yang terus saja diputar berulang kali. Kemudian, ia berteriak histeris dan kembali menutup telinga serta memalingkan wajah.

“Mamah ... Papah ... Huah! Mamah! Papah!” dari mulai nada rendah, sampai jeritan histeris. Azkia terus saja mengucapkan kata-kata yang sama, memanggil kedua orang tuanya.

Tangan Azkia beralih menutupi wajah, lalu menangis tersedu-sedu. Bahunya bergetar sangat hebat. Suara tangis serta sesenggukannya menyatu dengan suara lebatnya hujan.

Lara bingung, ia harus berbuat apa. Menenangkan pun, tidak bisa. Nona mudanya terlihat sangat ketakutan. Entah trauma apa yang dialami olehnya di masa lalu. Yang pasti, ia harus bisa menenangkan gadis itu saat ini.

Azka mematung. Ia tak menyangka gadis di depannya adalah Azkia. Gadis yang selama ini ceria, arogan, kasar, percaya diri, angkuh, sekarang terlihat begitu rapuh dan histeris.

“Azkia ...,” panggil Azka pelan, lalu berjongkok berusaha menyejajarkan posisinya dengan kedua wanita tersebut.

Bodyguard bernama Lara itu mendongak, tampak lelaki berwajah tampan dan berpeci hitam menghampiri posisinya. Ia ingat, lelaki itu adalah salah satu dosen di kampus ini.

Dalam guyuran hujan yang lebat, Azka dan Lara rela pakaian serba hitam mereka basah demi menenangkan Azkia. Mereka tidak menyangka, gadis tersebut bisa serapuh itu hanya karena mendengar suara petir.

Mendadak suara tangisan histeris Azkia mereda, lalu tangannya terbuka secara perlahan. Kemudian, ia segera memeluk Lara dengan tangis yang kembali histeris.

Wanita yang bertugas menjaga gadis itu segera membalas pelukan nona mudanya, lalu mengusap kepala Azkia perlahan meski guyuran hujan tak kunjung berhenti. Namun, tiba-tiba merasa pelukan dari gadis tersebut sedikit demi sedikit terlepas.

“Non ...,”

Hening, tidak ada jawaban dari panggilan Lara. Juga tidak terdengar lagi suara tangis dari Azkia.

“Azkia!” pekik lelaki berlesung pipi itu kemudian segera menahan tubuh Azkia yang hampir menyentuh lapangan. Dengan sigap, Azka langsung menangkap tubuh gadis tersebut.

Lara terkejut bukan main. “Non ...,” panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi Azkia, lalu menatap lelaki di hadapannya yang menahan kepala gadis tersebut di pahanya.

“Angkat!” ajak Lara sembari mengangguk pelan.

Lantas, Azka langsung mengangkat tubuh Azkia serta Lara yang ikut mengangkat kaki nona mudanya itu. Kemudian, mereka segera membawa gadis bermata sayu itu ke dalam mobil.

Dengan kecepatan sedang dan kehati-hatian, Azka membawa mobil putih itu ke rumah sakit terdekat. Sesekali netranya melirik ke arah kaca spion di depannya, untuk mencari tahu keadaan Azkia. Namun, hasilnya nihil dan malah membuat mendung bukan hanya menyelimuti langit, tetapi juga hatinya.

“Dokter! Suster!” teriak wanita dengan pakaian serba hitamnya yang sudah basah kuyup memanggil tenaga kesehatan dari ambang pintu rumah sakit.

Dua orang wanita berseragam serba putih datang menghampiri bersama satu lelaki paruh baya dengan jas kebanggaannya.

“Dokter, tolong bantu dia!” pinta Lara menunjuk ke arah mobil di mana Azkia berada.

Lantas, dua suster itu segera mengambil brankar dan memindahkan Azkia dari mobil ke atas ranjang hitam beroda itu dibantu Azka dan Lara.

***

Lara terus saja berjalan ke sana kemari. Ia khawatir terjadi apa-apa dengan majikan mudanya. Apa yang akan dia katakan pada Ayah gadis tersebut, merasa tidak becus dalam bekerja.

Berbeda dengan bodyguard wanita itu, Azka justru duduk tenang di kursi tunggu. Meski sesekali ia melirik ke arah ruang pemeriksaan bernuansa putih di sampingnya.

“Lara! Azkia kenapa? Kamu kok bisa lalai seperti ini? Kenapa anak saya bisa masuk ke rumah sakit?” tanya lelaki dewasa berturut-turut yang baru saja sampai. Pakaiannya yang formal mengenakan setelan jas hitam, membuat wibawanya semakin terlihat.

Azka menoleh, tampak lelaki dewasa seusia abinya tengah mengobrol dengan bodyguard itu tak jauh dari tempatnya duduk. Ia segera beranjak dan menghampiri keduanya.

“Assalamualaikum, Pak,” ucap Azka sopan kemudian menyalami tangan lelaki tersebut.

'Sepertinya ia adalah Ayah dari Azkia' tebaknya dalam hati.

“Wa’alaikumsalaam warohmatullah wabaraakaatuh. Maaf, siapa kamu, Nak?” tanya Irwan heran. Pasalnya, pemuda di hadapannya sangat tampan dan tersemat peci hitam di kepalanya. Pakaiannya sama seperti Lara sang bodyguard, basah.

“Azka, Pak.”

“Ohh ... iya-iya. Saya Irwan, Ayah Azkia,” tutur lelaki paruh baya itu membalas senyuman pemuda di hadapannya.

“Kalian kok, basah bajunya. Kenapa?” tanya Irwan bergantian menatap Lara dan Azka.

“Tadi ....” Lara mulai menceritakan kronologisnya.

Sewaktu ia akan menjemput, mendadak hujan turun dan petir yang saling bersahutan. Akhirnya, ia berteduh di salah satu trotoar menuju kampus Azkia.

Saat petir mulai mereda, meski hujan masih lebat ia kembali melanjutkan perjalanan untuk menjemput nona mudanya. Ia khawatir, terjadi apa-apa dengan Azkia.

Akan tetapi, diluar dugaan. Saat Lara memasuki area parkiran kampus, ia melihat Azkia tengah ketakutan. Segera dirinya berlari dan menerobos hujan yang lebat. Tak lupa ia juga menceritakan bahwa Azka lelaki di sampingnya adalah orang yang membantunya membawa Azkia ke rumah sakit.

Azka bergeming. Ia ingat, wanita yang berdiri tak jauh darinya adalah bodyguard Azkia. Ia tahu saat insiden hujan di trotoar beberapa hari yang lalu. Pantas saja mendadak wanita itu datang, ternyata memang sudah kewajibannya untuk menjaga Azkia.

Irwan mengangguk paham dengan tangan yang sudah
masuk ke dalam saku celana, menyimak cerita Lara sang bodyguard. Ia juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, karena itu mutlak takdir Sang Kuasa.

“Apa saat kamu sampai di area kampus mendengar petir?”

“Iya, Pak. Saat saya memasuki gerbang kampus ada petir bergemuruh,” ujar Lara kemudian menunduk pasrah. Pasrah dengan keadaan. Entah dirinya masih akan bertahan sebagai bodyguard atau diempaskan.

“Maaf, Pak. Kalo boleh tau, apa Azkia punya trauma dengan petir? Soalnya saat di kelas tadi, dia juga ketakutan, Pak.”

Azka menatap pria dewasa di depannya. Berharap pertanyaan yang sedari tadi mengganggunya segera terjawab.

“Iya. Dulu ....” Irwan mulai menceritakan bagaimana putrinya itu bisa sangat takut dengan petir sembari menatap pintu ruang periksa di mana putrinya berada, lalu ingatanya kembali menerawang kejadian di masa lalu.

Azkia sedari kecil sering ditinggalkan oleh Irwan ke kantor. Ibunya tiada saaat melahirkannya. Namun, Irwan hanya bisa mencari penjaga untuk putri semata wayangnya. Azkia kecil di titipkan pada asisten rumah tangga.

Kronologisnya ia tidak terlalu tahu. Menurut pengakuan Bi Sami, pengasuh sekaligus asisten rumah tangga yang dulu; Saat turun hujan lebat putrinya itu tengah bermain di kamar. Sementara Bi Sami sibuk mempersiapkan makan malam.

Tanpa di duga, petir menyambar berkali-kali membuat Bi Sami semakin bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Namun, saat asisten rumah tangga itu ke kamar Azkia, gadis bermata sayu itu tengah ketakutan memeluk lututnya di sudut kamar dengan mulut dan bahu yang sudah bergetar seraya memanggil Mamah dan papahnya.

“Saya juga salah, karena membiarkan Azkia yang masih berumur empat tahun sendirian,” ujar Irwan kemudian menghela napas berat.

Suara ponsel berhasil mengalihkan perhatian, membuat semuanya menatap ke arah Azka. Dosen muda itu segera merogoh saku celananya.

“Maaf, Pak. Saya permisi dulu,” pamit Azka saat melihat nama abinya tertera di layar ponsel.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top