1. Keputusan

Seorang gadis menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gaun merah muda di bawah lutut dengan aksen brokat di dada, serta kalung mutiara dan anting-anting senada.

Tangannya terulur merapikan rambut hitam sepinggang yang sengaja ia biarkan terurai. Kemudian, mengecek kembali make up natural yang ia poleskan sejak tadi.

Malam ini adalah malam anniversary bersama sang kekasih. Ia tidak ingin penampilannya kurang sedikit pun, semuanya harus sempurna.

Akan tetapi, ia lupa bahwasanya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Baik fisik, materi, serta etika pasti tidak akan sempurna pada diri seseorang. Dari beberapa opsi tersebut, pasti ada kekurangan di dalamnya.

Ia berdecak kagum atas ciptaan Sang Kuasa. Bentuk wajah oval, bibir tipis agak lebar, hidung mancung kecil, mata sayu, serta alis yang rapi dan hitam. Ditambah polesan make up natural membuatnya lebih cantik bak bidadari.

Suara klakson mobil terdengar dari bawah. Ia sudah tahu, itu pasti kekasihnya.Tangannya segera menyambar tas selempang yang berada di atas kasur berwarna senada dengan gaun yang ia kenakan malam ini.

Lantas, ia segera mengunci pintu kamar bernuansa serba biru itu dan bergegas menghampiri sang kekasih di luar rumah.

"Kia! Mau kemana, kamu?" suara bariton itu berhasil menghentikan langkah Azkia yang berniat membuka pintu rumah, tetapi segera ia urungkan.

Azkia menoleh, lalu tersenyum kikuk seperti ketahuan maling. "Eh, Papah ...," ujarnya sembari cengengesan.

Pria paruh baya yang dipanggil 'Papah' itu berjalan menghampiri sang putri tunggal. "Kamu mau kemana, Kia?" Irwan sang papah kembali mengulang pertanyaannya setelah berada di hadapan sang putri.

"Anu, Pah. Mau kencan sama Alan," cicitnya kemudian menunduk.

Irwan ber-oh ria, lalu mengusap pucuk kepala sang putri pelan. "Boleh, silakan," ujar Irwan seraya tersenyum.

"Tapi ...."

"Tapi apa, Pah?" tanya Azkia penasaran. Baru saja ia di terbangkan, masa iya akan kembali di empaskan. Pasti sakitnya di dada. Ralat, di hati.

"Asal, pulangnya jangan larut, ya? Jaga diri baik-baik," peringat pria paruh baya yang sudah mengenakan pakaian tidur, lalu memeluk putrinya erat.

"Baik, Pah. Terima kasih," ucap Azkia pelan, lalu melerai pelukannya dan segera berpamitan.

Irwan menatap punggung putrinya dengan raut sendu. Ia sangat menyayangi Azkia. Kasian, ibunya meninggal saat melahirkannya. Sejak saat itu, Irwan sebisa mungkin untuk segera membereskan pekerjaannya di kantor agar bisa cepat bertemu dengan putri semata wayangnya.

Di rumah sebesar ini, hanya terdapat dua orang majikan. Irwan selaku kepala rumah tangga dan Azkia nona muda rumah ini. Sisanya, hanya dua asisten rumah tangga, tukang kebun, satpam, dan sopir.

Bukannya enggan menikah kembali, hanya saja Irwan lebih memilih menjadi duda agar bisa fokus mengurus buah hatinya dengan mendiang istri tercinta. Ia ingin, pernikahannya sekali seumur hidup. Sehidup dan sesurga.

Terlebih, ia takut jika menikah kembali dirinya tidak bisa berlaku adil. Ia tidak ingin melukai putri kesayangannya, hanya karena sebuah nafsu belaka.

"Hai, Lan!" sapa Azkia setelah duduk di kursi samping kursi pengemudi.

Lelaki bermata sipit itu tersenyum. Bibirnya yang galing membuat senyumannya begitu terlihat manis. "Hai," balas Alan kemudian menghidupkan mesin dan melesat pergi.

***

Azkia menutup mulutnya tak percaya, saat melihat pemandangan yang begitu indah di hadapannya. Taman yang dihiasi dengan lampu-lampu tumbler berwarna-warni, serta lilin-lilin berjejeran rapi menghiasi pinggir-pinggir jalan, dan taburan kelopak bunga mawar merah mengiringi setiap langkahnya.

Dua kursi tersedia di tengah-tengah taman tersebut. Alan yang memakai kemeja putih, dipadukan dengan celana hitam serta dasi pita berwarna senada yang ia kenakan membuatnya sangat terlihat tampan malam ini.

Wajar rasanya jika kaum Hawa iri pada Azkia. Namun, lebih tepatnya mereka merasa keduanya cocok. Karena derajat dan paras mereka sama. Sama-sama menjadi idaman lawan jenisnya.

Alan menggandeng kekasihnya menuju kursi. Kemudian, beberapa suara petasan menggelegar dan menyala di angkasa. Azkia melebarkan senyumannya, ia memang sangat suka dengan kembang api.

Riuh piuh tepuk tangan terdengar, lalu sepasang kekasih tersebut berdiri saat mengetahui bukan hanya mereka yang hadir di taman.

Azkia tersipu malu, lalu melirik ke arah Alan yang sudah menahan tawa. Pasti Alan yang memberikan kejutan ini, batinnya.

"Suiit ... suiit!"

"Cie .. makin langgeng, ya."

"Kapan nih, ke pelaminan? Jangan lupa undang kita-kita, ya."

Beberapa candaan teman-teman yang hadir membuat pipi Azkia terlihat seperti tomat. Mengingat hubungannya dengan Alan malam ini sudah genap tiga tahun.

Setelah pesta kembang api, berlanjut pada acara inti. Yakni sambutan dari sepasang kekasih pemilik acara tersebut.

Langit seakan mendukung, bintang menampakkan gemerlapnya dan menghiasi angkasa di gelapnya malam.

Riuh piuh mendadak menjadi hening saat Alan memegang microfon dan memandang kekasihnya lekat.

"Kia ...," panggil Alan dan membuat Azkia menoleh ke arahnya sambil tersenyum, lalu berjalan menghampirinya dan membuat semua orang yang hadir menjadi iri karena keromantisan keduanya.

Alan berjongkok saat sosok pujaan hatinya sudah berdiri tepat di hadapannya. Di depan semua orang, Alan tidak ragu untuk melakukan hal tersebut.

Mata sayu Azkia berbinar, degup jantungnya memompa lebih cepat. Padahal, ini bukan kali pertama Alan melakukan hal tersebut. Saat menembaknya, kekasihnya itu melakukan hal yang serupa. Namun, kali ini entah kenapa rasanya lebih tegang.

Apa Alan akan mengeluarkan cincin dari sakunya dan melamarku? Atau memberikan sebuah cokelat dan buket bunga mawar putih kesukaannya? Batin Azkia terus saja menebak-nebak hal yang akan Alan lakukan dengan irama jantung yang semakin memompa lebih cepat lagi.

"Kia, aku ... aku minta maaf," ucap Alan kemudian menunduk, tangan yang semula menggenggam sang kekasih telah lepas seiring ucapan tersebut keluar dari bibirnya.

Semua orang saling pandang. Bingung dan heran atas ucapan Alan. Harusnya kata-kata romantis seperti 'I Love You' yang ke luar, bukan kata 'Maaf'.

Tiba-tiba suasana mendadak menjadi tegang, canggung, juga hening. Semua orang memperhatikan apa yang akan Alan katakan selanjutnya.

"Lan, please jangan becanda!" pinta Azkia berusaha membangunkan Alan dari posisnya.

Alan menggeleng cepat. "Enggak, ini bukan becanda, Kia." Alan mendongakkan kepala dan menatap kekasihnya dalam.

"Maaf, mulai malam ini kita putus," lirihnya.

Banyak yang masih tidak percaya akan ucapan Alan. Mereka masih menganggap itu candaan belaka yang sering ia lontarkan.

"Jangan becanda, deh. Enggak lucu!" ujar Azkia yang sudah membuang pandangannya ke sembarang arah.

Lantas, Alan berdiri berhadapan dengan Azkia kemudian saling menatap satu sama lain.

"Mulai sekarang ... kita PU-TUS!" ucap Alan kembali mengulang perkataannya dengan mengeja kata-kata terakhir penuh penekanan.

Sosok gadis di hadapannya menatap Alan tak percaya, lalu air mata berlomba-lomba ke luar dari telaga dan membentuk jalan sungai di pipi mulusnya.

Azkia menggeleng cepat, lalu sebuah tamparan mendarat di pipi sang kekasih. Ralat, mantan kekasih lebih tepatnya. Karena beberapa detik yang lalu Alan sudah mengatakan putus.

"Lalu, untuk apa semua ini!" teriak Azkia sambil menunjuk ke arah kursi dan sekitar taman.

Semua orang yang menyaksikan drama cinta dua remaja tersebut, tak bisa berbuat apa-apa. Karena masalah hati, tidak bisa dipaksa.

"Maaf," lirih Alan kemudian menunduk pasrah.

"Bulshit!" umpat Azkia sembari mendorong Alan hingga tersungkur, lalu berlari dan meninggalkan taman serta kepahitan realita yang ia terima.

Harusnya, malam ini menjadi malam paling bahagia. Harusnya, malam ini menjadi malam penuh cinta. Harusnya, malam ini menjadi malam yang istimewa dan tidak akan pernah Azkia lupakan. Memang begitu kenyataannya, ia tidak akan pernah melupakan momen dimana Alan memutuskannya di depan banyak orang.

Untuk apa menghias taman seindah itu? Untuk apa ada kembang api? Untuk apa berdandan rapi? Untuk apa keromantisan itu ada bila hanya sesaat, kemudian mengempaskan pada pernyataan jurang yang begitu dalam.

Azkia terus berlari menyusuri trotoar dengan tangan yang setia menghapus jejak air mata di pipinya. Sepatu haigheels lima senti yang semula ia kenakan sudah ia buang ke selokan sebelum dirinya berlari lebih jauh lagi.

"Aaa!" Azkia berteriak saat menyadari truk dengan kecepatan tinggi berjalan ke arahnya yang tengah menyeberang jalanan.

Suara kegaduhan terdengar sampai ke taman. Darah sudah mengalir dari pelipis pemilik wajah ayu tersebut. Hatinya yang sudah hancur, lalu dihantam truk. Setidaknya luka fisik bisa membuatnya lupa sejenak akan luka di hatinya.

"Papah ...," lirihnya sebelum pandangannya menjadi gelap sempurna.

***

Add fb: Ceisya Altair/ ig:@ceisyaaltairstarblue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top