˖𖥔 𝐀𝐤𝐡𝐢𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐀𝐰𝐚𝐥 𖥔˖
Suara hantaman bercampur decitan roda memecah kesunyian malam. Kelopak mata gadis itu terbuka lebar, merekam adegan di saat tubuh laki-laki itu bergulung-gulung di atas kerasnya aspal setelah terdorong bagian depan mobilnya. Kedua telapak tangannua yang masih menggenggam stir kian terasa gemetar dan rasa dingin datang menyergap.
Secara perlahan, ia membuka pintu mobil, membebaskan diri dari dalam sana yang membuatnya sesak. Bahkan, udara malam yang menyambutnya sama sekali tidak memberi bantuan. Rasa takutnya semakin membumbung tinggi, namun ia memberanikan diri melangkahkan kakinya ke depan, menuju seseorang yang tubuhnya hilang tertelan kerumunan.
"Mbak, mbaknya harus tanggung jawab!"
Suara itu yang pernah kali menghampiri indra pendengarannya sesampainya ia di sana. Belum sempat ia menjawab, suara lain sudah menyahuti.
"Udahlah, kita bawa mas ini ke mobil mbaknya aja," seru salah satu dari dua orang yang tengah menggotong tubuh seseorang yang sudah bermandikan darah.
Ailura hanya bisa mengangguk, menggeser tubuhnya untuk memberikan akses jalan. Dunia terasa berjalan lambat ketika tubuh laki-laki itu melewatinya dan tertangkap netranya. Menahan semua gejolak di dalam tubuhnya, ia buru-buru mendahului untuk membuka pintu penumpang di bagian belakang.
"Mbaknya kayaknya masih syok, jadi temenin masnya di sini aja, biar saya yang bawa mobilnya," ujar salah satu dari mereka.
Ailura kembali mengangguk dengan cepat, atensinya masih fokus ke arah laki-laki itu yang dimasukkan ke dalam mobilnya. Setelahnya ia ikut masuk, dengan penuh hati-hati, ia membawa kepala laki-laki itu di atas pahanya. Tidak peduli tangannya yang akan berlumur darah atau baju putihnya yang akan berubah warna. Meskipun, parasnya yang berlumur darah, Ailura masih bisa mengenalnya. Laki-laki itu adalah ... Julio, tunangannya.
"Lio, kamu masih di Surabaya, 'kan?" Tangannya perlahan membelai pipi laki-laki itu, menghapus buliran air matanya yang jatuh tanpa ijin di sana. "Tolong bilang, kalau yang aku tabrak ini ... bukan kamu."
Hari beranjak naik, namun Sang Surya nampak merajuk hingga memilih bersembunyi di balik pekatnya awan membuat kegelapan semakin semena-mena menguasai cakrawala. Tak sampai di sana, awan-awan hitam lainnya juga ikut bersekongkol. Secara perlahan menjatuhkan bulir hujan, dari yang hanya sebesar biji timun hingga sebesar biji jagung. Gemuruh yang tak ingin kalah juga ikut bersuara meramaikan suasana.
Sedangkan, di bawah sana terdapat seorang gadis yang menjadi korban atas riuhnya semesta. Keadaannya terlihat sangat mengenaskan. Ditambah dengan tiupan angin yang memporak-porandakan surai blonde milik gadis itu. Black dress yang dipakainya juga sudah basah kuyup. Tetapi itu semua tidak membuatnya beranjak pergi dari hadapan salah satu nisan yang terukir sebuah nama yang indah milik tunangannya.
Detik demi detik berlalu, manik kembar itu masih setia menatap nisan selayaknya itu adalah wajah kekasihnya. Jemarinya yang sedikit mengkerut karena guyuran hujan dan terpaan angin, perlahan terangkat membelai nisan.
Rasa yang ia pendam semakin sesak kala netranya menangkap cincin yang tersemat di jari manisnya. Cincin itu adalah bukti bahwa ia dan kekasihnya terikat sebulan yang lalu. Waktu berjalan begitu cepat dan kini ia harus merelakan kekasihnya pergi, selamanya.
"Julio, bukankah kamu berjanji untuk selalu bersamaku? Lantas mengapa kamu pergi mendahuluiku?" Hujan turun semakin deras membaur dengan air mata Ailura yang turun tanpa jeda. "Bahkan di saat aku belum meminta maaf atas perlakuanku padamu," lanjutnya dengan suara yang serak.
Tak kuat berada di sana terlalu lama, Ailura memaksakan berdiri, mengabaikan lututnya yang terasa nyeri akibat terlalu lama berjongkok. Maniknya menatap nisan Julio terakhir kali sebagai tanda perpisahan. Ia sempat melayangkan lengkungan tipis sebelum berbalik pergi.
Baru saja merajut dua langkah, ia merasakan sesuatu yang tidak sengaja terinjak. Tubuhnya kembali berjongkok, memungut benda tersebut. Sebuah kalung dengan bandul kupu-kupu. Diusapnya salah satu sisi sayapnya yang tertempel tanah basah.
Ailura kembali mengarahkan atensinya ke belakang, dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, siap untuk kembali menyusuri pipi chubbynya.
Julio, sosok yang begitu baik, namun sisi egois Ailura membuat laki-laki itu menjadi korbannya. Apapun permasalahan yang dihadapinya, Julio selalu siap menjadi pelampias amarahnya. Lalu, jika laki-laki itu pergi ... di mana tempat Ailura kembali bersandar? Apa yang harus ia lakukan untuk menghilangkan rasa penyesalan yang datang begitu terlambat ini?
Kepalanya yang terasa begitu pusing, ia letakkan begitu saja di atas makam sang kekasih. Membiarkan pipi bagian kirinya mencium dinginnya tanah. Kelopak matanya terasa berat hingga berakhir tertutup sempurna. Namun, sebelumnya bibir pucat itu sempat mengeluarkan beberapa kalimat dengan begitu lirih.
"Julio, kamu pernah berkata jika kalung ini selalu membawa keajaiban, bukan? Benarkah itu? Jika iya, aku ingin kembali bertemu denganmu lagi, melihatmu saja akan membuatku bahagia."
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca ceritaku ♡︎
Selasa, 2 Januari 2023
Lilac
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top