Moon

Sudah kali kesekian Miya Atsumu mengintip dua bangku ke belakang dari kursinya. Menatap-natap wajah tertidur seseorang yang begitu pulas tanpa terganggu guncangan bus di jalan raya.

Ia kembali setelah beberapa detik melihat. Penuh dengan pikiran-pikiran asing yang tidak ia kenal dan rasa gundah melanda. Diliriknya Osamu di sebelah. Ingin bercerita namun ragu, bukan karena segan saudaranya tengah tertidur— melainkan ia tidak tahu harus mulai dari mana.

Semuanya berawal ketika untuk kesekian kali orang itu melempar senyum di latihan-latihan mereka. Lalu perhatian-perhatian kecil seperti memberi minum dan mengambilkan jaket. Perlahan dan perlahan, di ujung tahun kelas tiga dan hampir menuju upacara perpisahan, Atsumu digempur rasa yang disebut-sebut sebagai "suka."

"Samu," panggilnya pelan, bukan karena niat membangunkan dengan lembut, namun ia ragu-ragu. "Samu!"

Osamu terbangun. Terkejut sebenarnya, hingga matanya menatap sinis ke arah si kembaran. "Apa?" Tanyanya tidak bersahabat.

Lalu disinilah Miya Atsumu. Terdiam, gugup, seperti anak kucing yang kehilangan arah. "Begini," ia memulai percakapan lalu mengambil satu menit keheningan —yang semakin membuat Osamu tidak sabaran— untuk mencari kosa kata yang tepat.

"Sial," ia menyerah berpikir. "Aku suka Kita-san."

Osamu diam. Menjaga tatapan datar dan memperbaiki posisi punggungnya seperti tidak terkejut, "Kita semua suka Kita-san."

"Bukan itu!!!" Atsumu mencoba dengan keras untuk menenangkan jantung dan merendahkan suara yang mungkin bisa membuat seluruh isi bus terbangun. "Maksudku suka," Suaranya ditekan dalam-dalam sebab rasa malu. Wajahnya bersemu namun ia tetap melanjutkan. "Suka seperti ingin pegangan tangan, berpelukan, berciuman— suka seperti itu..."

Detik berlalu. Tikungan terlewati dengan mulus namun wajah iritasi Osamu tidak berubah. "Kau bodoh?" Adalah ucapannya yang membuat Atsumu kembali memaksa diri sendiri untuk tidak meninju wajah yang mirip dengannya itu. "Kenapa baru sekarang?"

Suasana penuh gebu di dada hilang diganti sebuah terpaan angin. Atsumu terdiam.

"Kau jenius dalam voli tapi tidak dalam romansa ya? Kau tidak tau seperti apa perlakuan Kita-san padamu selama ini? Sepertinya semua orang di tim tahu dia menyukaimu, kau saja yang terlalu bodoh."

Atsumu menciut di tempat duduknya. Tidak tahu ekspresi apa yang ia buat ketika perlahan mengulang-ulang kenangan bertahun-tahun di tim yang sama." Bukankah Kita-san perhatian pada semua orang? Apa yang istimewa?"

Senyum remeh yang terukir di wajah Osamu membakar emosi. Tapi memang, untuk kali ini, dalam hal pengertian sepertinya Osamu menang karena lebih peka dibandingkan Atsumu. Karena itulah dia tersenyum seakan mengejek kebodohan Atsumu.

"Yah karena kau fokus sekali pada voli dimanapun mungkin kau tidak sadar," Osamu mendengus lalu mulai menjelaskan dengan halus. "Kita-san lebih banyak tersenyum ketika kau bermain. Dia lebih khawatir ketika kau cedera atau sakit. Bahkan walau ekspresinya datar, dia selalu melihatmu saat bersama para gadis. Kau tidak sadar, kan? Memang isi kepalamu hanya ada voli."

Atsumu merenung-renung di pemikiran. Separuh hatinya kecewa karena baru menyadari kalau Kita Shinsuke menyukainya, sementara separuh lagi senang karena ternyata perasaannya terbalas.

"Aku akan bilang pada Kita-san nanti."

Mata Osamu terlihat tidak senang, "Kau yakin?"

"Kalau sama-sama suka, bukankah bagus?"

"Bukan itu," Osamu ingin mengatakan dengan jelas semua hal yang ia tahu. Bahkan walau si dungu itu menyebalkan, dia tetap menjadi saudara yang berharga dan Osamu ingin Atsumu bahagia. Maka dengan sangat lembut, ia berkata, "Kita-san akan lulus sebentar lagi. Kau pikir bagaimana perasaannya ketika tahu rasa sukanya terbalas di satu bulan sebelum kelulusan?"

—0x0—

Atsumu selalu memikirkan perkataan Osamu bahkan sampai mereka tiba di Kyoto untuk berlibur dua hari. Malam tiba begitu cepat dan ia segera pergi ke kamar yang ditentukan manajer untuk meletakkan barang-barang sebelum makan malam.

Mandi sejenak, mengambil sebuah jaket beludru lalu Atsumu mengikuti Suna, selaku teman sekamar, untuk pergi ke lobi dan makan. Sedikit banyak Atsumu gemas karena tidak sekamar dengan Kita. Tapi setelah dipikir-pikir sepertinya keberuntungan karena jika mereka sekamar maka Atsumu akan mati kutu dan tidak tahu akan melakukan apa.

Makan malam di lobi bukanlah hamparan meja besar berisi menu ini itu, melainkan barak-barak yang bisa diisi sesuka hati dengan menu di sebuah meja panjang. Tapi di ssna, Atsumu tidak melihat Kita.

"Kita-san di sana," Osamu menunjuk ke sebuah taman yang berhias lampu-lampu jalan. Di depannya ada kolam setengah beku yang beriak-riak kecil dan di antara bangku-bangku besi Atsumu melihat Kita. "Kau mau menyusul?"

Sebelum menjawab, Atsumu terlebih dulu berlari dan menghilang di balik pintu. Meninggalkan Osamu dengan raut getir namun juga gemas. Berharap semua akan baik-baik saja.

Atsumu berhenti berlari lima meter sebelum mencapai Kita dan mulai berjalan, "Kita-san." Ia memanggil dan pemuda itu menoleh.

"Atsumu, ya? Apa yang kau lakukan disini? Tidak makan?"

"Ah, mau jalan-jalan sebentar. Kita-san?"

"Sama," Kita bangkit dari duduknya. Merapihkan scarf yang miring lalu berkata, "Mau jalan bersama?"

Ragu, namun Atsumu tetap mengangguk dan menyamakan langkah di sebelah mantan kapten itu. Kita-san sangat dewasa, Atsumu tidak mengerti apa yang dia pikirkan. Jalan berdua dengan orang yang disukai di malam seperti ini sudah membuat Atsumu berdebar, namun Kita tetap memasang wajah datar tanpa masalah.

Mereka keluar dari kompleks hotel. Memilih jalur kanan menuju kota untuk sekadar berkeliling lalu kembali. Kita diam, begitupun Atsumu yang tidak bisa memikirkan apapun untuk digunakan sebagai pengisi.

Perjalanan berhenti di sebuah bagian kota Kyoto yang klasik. Orang-orang masih berlalu lalang dengan pakaian tradisional, aliran sungai di tepi jalan begitu gemerisik menyapa ranting-ranting semak. Dan Atsumu tetap diam.

"Kopi?" Kita bertanya sembari mengarahkan jari ke arah sebuah mesin minuman.

"Tidak— Kita-san, biar aku saja." Atsumu merasa segan membiarkan seniornya pergi untuk membeli namun Kita hanya berkata dengan halus, "Tidak apa, sekali-sekali.." lalu pergi dan kembali dengan dua buah kopi hitam kaleng.

Atsumu menerima dengan malu, sejenak bahagia namun kemudian gugup. Ia menghabiskan kopi itu dengan beberapa tegukan tamak lalu membuang kalengnya di tong sampah terdekat. Sementara Kita, hanya diam bersandar di pagar pembatas sungai. Melihat-lihat pantulan bulan di air yang mengalir dan menggenggam dengan kedua tangan, kopi hangat yang belum terbuka.

"Lalu," setelah menit-menit keheningan yang tercipta, akhirnya Kita bersuara. "Ada apa?" tanyanya.

Atsumu tersentak. Ia tidak mengira Kita benar-benar mengetahui keberadaan kalimat-kalimat yang tersangkut di kerongkongannya.

"Atsumu biasanya banyak bicara, tapi tadi diam saja. Ada masalah?"

"Kita-san," panggil Atsumu tanpa berhasil menatap wajah lawan bicaranya. "Malam ini bulannya indah, ya?"

Seorang penyair pernah mengartikan kalimat itu sebagai kata lain "Aku Mencintaimu" dan Atsumu merasa bersyukur pengetahuan yang selalu ia anggap tidak berguna dapat dipakai di saat seperti ini. Bahkan walau Kita tidak mengerti, tapi ia bisa mengatakannya.

"Indah sekali," kalimat itu akhirnya memaksa Atsumu menoleh. Berhadapan dengan Kita yang tengah memasang senyum. Wajahnya ditimpa sinar bulan, begitu indah, dan Atsumu perlahan merasakan dinginnya malam. Sangat dingin, bahkan walau jawaban Kita mengandung kehangatan, tapi dingin ini membuat tangannya bergetar.

"Kita-san—"

"Tanganmu kedinginan?" Atsumu hampir melompat ketika hangat  sentuhan kulit Kita memotong kalimatnya dengan berlabuh pada tangannya yang membeku. Kita menggenggam kedua tangan Atsumu, memberi hangat dari kopi dan tubuhnya sebelum membawa Atsumu mendekat dan menghembus sebuah napas hangat. Senyum terukir di wajah Kita ketika dengan gugup Atsumu membiarkan tangannya dikurung dengan lembut, "Hangat?"

"Kita-san?" Sekali lagi memanggil, namun kini tanpa rasa gugup. Atsumu menangkup kedua pipi Kita yang penuh. Menariknya mendekat hingga bibir mereka bertemu. Kita tidak menolak kecupan, tidak pula merasa risih ketika pemuda itu menekan lebih dalam.

Hangat napas Atsumu menyapu wajah dan kedua tangan membuat nyaman. Ketika perasaan Atsumu mengalir, Kita tersentak beberapa saat, sebelum menarik diri dan meninggalkan pertemuan mereka dengan sebuah senyum.

"Apa itu tadi?" Ucapnya. Tanpa tekanan menyalahkan, tanpa penolakan ketersinggungan. Ia bertanya seakan Atsumu telah memberi sebuah arti yang begitu indah namun tidak sempat ia pahami.

"Maafkan aku," tatapan lembut Atsumu perlahan bergetar. Penuh dengan kekesalan pada dirinya sendiri, "Karena baru menyukaimu."

Di akhir musim dingin ketika sakura pertama mekar. Di malam tatkala perak bulan mekar dan bersinar, Atsumu mengatakan dengan jelas. Andai saja cinta itu tumbuh lebih cepat, setahun lalu, ketika mereka pertama kali bermain bersama. Atau mungkin jauh sebelumnya, ketika mereka bertukar pandang. Atsumu akan merasakan hatinya lebih hangat, mencintai hal selain voli, mewarnai hidupnya dengan lebih banyak.

"Pernyataan cinta?" Sekali lagi Kita mengukir senyum tipis. Kini tangannya yang digenggam dan ia tidak menolak. Memilih menatap jauh ke manik hazel Atsumu dengan sepasang mata emasnya. "Kenapa kau begitu? Aku tidak kemana-mana, Atsumu."

Malam itu dingin, namun tautan kecil di genggaman mampu menyalurkan hangat antara tubuh keduanya.

"Aku akan tetap di sini," Kita melanjutkan. "Kau yang akan pergi jauh dengan kemampuanmu. Setelah lulus, mungkin kau tidak lagi di sini."

'Kau yang akan meninggalkanku,'— adalah hal yang ingin Kita ucapkan. Namun begitu berat karena hati Atsumu pasti akan terluka. Ia membuat kalimatnya lebih lembut, namun tidak membantu ketika Atsumu semakin bergetar dan memeluknya.

"Aku tidak kesal ataupun sedih, kau tahu? Aku suka melihatmu terbang lebih tinggi, mencapai sesuatu yang lebih. Aku tidak punya niat berada di sampingmu, Atsumu. Aku hanya ingin melihatmu dan mengatakan pada diriku sendiri, 'Ah aku memang menyukai orang ini..'"

"Kita-san!" Atsumu menekan tune suaranya. Tidak ingin mendengar lebih banyak tentang perpisahan bahkan walau tujuannya berada di sini adalah mengucapkan selamat tinggal, ia tidak berniat menjadi orang yang meninggalkan. "Kau curang, Kita-san.."

Senyum Kita yang sejak tadi terukir tulus mulai pudar digantikan sebuah getir dan alis yang menekuk sendu. "Maaf..." Ia tahu kesalahannya. Atsumu ingin mengatakan sebuah perasaan dan ia menolak dengan alasan mereka tidak bisa bersama.

Kita hanya akan menjadi sisa-sisa kenangan, bunga perjuangan, dia tidak bisa menemani Atsumu dan kecintaan pemuda itu pada voli. Dia hanya sebuah ingatan.

"Tapi bukan berarti kita tidak bisa berhubungan, jangan terlalu sedih." Ia menghibur Atsumu dan dirinya sendiri.

Tapi bagi Atsumu itu tidak cukup. Ia ingin memiliki, bersama, tidak terpisah. Ia ingin Kita selalu ada dan menjadi bagian perjuangannya. Ia ingin jadi yang pertama membantu Kita dan jadi yang pertama pula dibantu oleh Kita. Ia ingin selalu melihat manik kucing keemasan yang indah itu.

Atsumu tidak mau semua berakhir seperti ini. Ia tidak mau cinta mereka yang baru saja tumbuh langsung lenyap dimakan perpisahan.

"Aku ingin terus bersama," kali ini dia tidak akan mengendurkan tekadnya. Seperti voli, Atsumu juga tidak ingin kalah, menyerah, dan jadi pecundang dalam romansa. "Kita-san, mau terus bersamaku?"

Kita menatap lurus. Jujur. Penuh pemikiran dan rasa kukuh. "Simpanlah dulu, Atsumu." Dengan senyum ia meletakkan telapak tangan di dada pemuda yang lebih jangkung. Merasakan detak jantung yang samar-samar terdengar dari balik jaket tebal. "Hidupmu panjang, kau mungkin akan menemukan orang lain—"

"Tidak bisa!" Bentak Atsumu. Hatinya tersayat mendengar orang yang ia tahu juga menyukainya malah melepaskan dengan begitu mudah. "Kita-san, aku mencoba menjagamu menetap lalu kenapa kau bisa mengatakan itu? Aku tidak cukup untukmu?"

"Justru karena kau begitu banyak," Kita menghela napas lembut. Mengubah tatapannya menjadi lebih sendu lalu melanjutkan, "Aku hanya manusia biasa dan kau terlalu istimewa, Atsumu. Seharusnya kau dapatkan yang lebih baik."

"Kita-san, apa kau hanya menilai ini dari voli?"

"Tidak. Aku menilai dari semuanya.. Kau memang istimewa."

"Kita-san tidak tahu nilai dirimu sendiri, bukan?" Saat kembali menaikkan pandangan, yang Kita dapat adalah raut marah dari si pirang. "Walau kau pikir dirimu adalah yang biasa-biasa, kau tidak tahu nilaimu di mataku. Aku juga tidak tahu dulu, tapi sekarang aku mengetahuinya. Kita-san berharga, bagiku."

"Begitukah? Aku senang mendengarnya."

Jika sekali lagi Kita menampilkan senyum itu, Atsumu akan memilih responnya antara marah atau menangis. Sebuah sakit yang menyayat cahaya hazel di mata Kita membuat hatinya perih. Dia tidak ingin melihatnya.

"Ayo kembali."

Selangkah diambil dan Kita beranjak jika saja Atsumu tidak menjegat lengannya untuk kembali menoleh. "Hanya itu?" ucapannya, "Kita-san, ini mungkin perjalanan tim yang terakhir, tidak adakah yang ingin kau sampaikan padaku?"

Atsumu berharap jika satu menit saja, Kita Shinsuke yang idealis itu mau jujur dan menjawab pengakuan cinta Atsumu dengan rasa yang sama.

"Jangan berhenti," Tidak ada yang membuat sulit sebenarnya, lalu kenapa?

Kenapa Kita menghindar?

"Karena mimpimu lebih besar daripadaku, Atsumu." Genggaman Atsumu mengendur. "Untuk sekarang, simpanlah perasaanmu, sepertiku. Kita akan baik-baik saja."

"Kita-san," dengan suara dan nada paling lembut Atsumu kembali menyebut namanya. "Maukah kau menungguku?" Sedikit lebih lama, agar Kita tetap memilihnya walaupun dia jauh.

Angin malam menjawab, diiringi senyum paling hangat milik Kita. "Um."

Hanya itu. Hanya gumaman itu yang terdengar namun cukup membuat Atsumu mengukir senyum yang sama. Kita akan pergi, dan Atsumu akan tetap ada. Ketika Atsumu pergi, Kita akan menanti. Atsumu ditunggu oleh orang yang begitu istimewa dan mengistimewakannya.

"Ayo kembali."

Ucapan Kita terdengar dan Atsumu tidak melewatkan rasa dingin yang diberikan malam untuk sekali lagi menautkan jemarinya pada tangan Kita. Merasakan kehangatan dan keberadaannya, untuk satu waktu yang akan selalu ia ingat sejauh apapun mereka terpisah.

TBC

26 Juli 2020
SeaglassNst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top