5. I'm Happy Enough
Sejenak gelap menguasai penglihatan. Kantuk yang sedaritadi menenggelamkanku pada alam mimpi kini lenyap membangunkanku pada kenyataan. Suasana tetap sama, gelap, sunyi, dan tetap sendirian. Pikiranku kosong dan aku tak tahu apa yang harus dilakukan.
Cih, Mykael sialan itu malah pergi entah kemana. Untuk kesekian kalinya aku katakan bahwa aku benar-benar bosan. Kupikir aku akan bersenang-senang ketika keluar dari wilayah omega. Dan ternyata aku malah bertemu orang gila satu ini.
Berkali-kali aku mengganti posisi duduk. Argh! Di sini sangat tidak nyaman. Ya, Miyuki bodoh! Mana ada penjara yang nyaman. Aku menghela napas gusar. Aku ingin bertemu kembali dengan Alvaro. Ada satu titik di benakku yang mengatakan bahwa aku merindukannya.
Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Tetapi pada satu ruang di hatiku, ada satu titik kosong yang memekik meminta diisi. Namun ruang waktu berjalan begitu lama, meninggalkan jejak-jejak hampa yang selalu kuidamkan.
Aku ingin keluar, menghirup udara segar, menilik bagaimana embun perlahan terjun ke sisi daun yang lain, menatap cakrawala yang menghempas angin, memijak tanah yang basah sehabis ditikam oleh hujan.
Aku juga rindu dengan melodi kicauan burung, nada-nada ramai akan hiruk-pikuk orang-orang yang melewati jalan, harmoni suasana damai yang begitu tentram.
Kota Abensberg. Kota yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Kota dengan segala keunikan dan keindahannya. Kota dimana aku bertemu dengannya pertama kali. Mate- ku, Alvaro.
Aku memang bukan tipe perempuan yang mudah mengatakan bentuk dari perasaanku pada orang lain. Tapi rasanya jika aku bertemu dengan Alvaro sekali lagi, aku ingin mengungkapkannya. Aku ingin mengungkap bagaimana aku jatuh hati padanya, bagaimana rasanya kesepian dan ingin bertemu kembali dengannya. Aku ingin membongkar segala perasaan yang selama ini tak pernah aku katakan pada orang lain.
Aku ingin keluar. Aku ingin bebas. Dan aku ... ingin bertemu kembali dengannya.
Ah, aku tak biasanya seemosional ini. Hanya saja, seolah ada satu benang waktu yang seolah mengiris pelan hatiku. Rasanya perih. Tapi aku tak bisa menangis. Aku tak pernah mengeluarkan air mata. Mereka bilang aku tak normal. Tapi aku hanya berusaha menjadi kuat.
Kepalaku mulai pusing. Sakit dan terasa seperti dihantam dengan puluhan palu. Tanganku meremas pelan baju yang beberapa hari ini tak pernah kuganti.
Kumohon. Siapapun, aku ingin keluar dari tempat busuk ini.
Kulihat seberkas cahaya masuk melalui sela pintu yang perlahan terbuka, menampilkan seorang perempuan cantik bersurai coklat yang menatap dalam ke arah mataku.
Aku menatap balik, memandang dengan sorot bertanya. Perempuan itu mendekat, hingga berdiri tepat di depan jeruji besi tempat dimana aku dikurung.
"Omega?" panggilnya yang membuatku mendongak, namun aku tetap bergeming dalam posisi duduk.
"Siapa?" tanyaku singkat. Setidaknya ia harus memperkenalkan diri terlebih dahulu.
"Aku mate dari Alpha Mykael. Namaku Emily Arra. Dan kau?" Aku mengangkat alis. Kupikir ia sudah mengetahui siapa aku, ternyata belum. Lalu apa tujuannya kemari? Tak mungkin seorang Luna berjalan-jalan ke ruang bawah tanah hanya untuk menyapa seorang tahanan.
"Serena Miyuki. Ada apa?" Aku langsung bertanya apa tujuannya. Maaf saja, aku tak terlalu suka berbasa-basi sebenarnya.
"Kau ingin keluar dari sini? Kau ingin bebas, bukan?" Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Tentu saja aku mau. Tetapi ... untuk apa? Untuk apa ia membebaskan seorang tahanan di sini. Apa ia akan menuntut sebuah balasan?
"Apa alasanmu bertanya begitu?"
"Tentu saja aku akan membantumu keluar dari sini."
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Aku hanya kasihan melihatmu dan omega lain. Kulihat kau yang paling sehat di sini. Kupikir aku akan mengajakmu yang pertama, karena kau akan mudah untuk diajak melarikan diri."
"Oh, ya?"
"Iya. Aku mengerti kalau kau tidak percaya. Tapi aku benar-benar tulus ingin menolongmu."
"Bagaimana dengan Omega lain?"
"Kau bisa percayakan mereka padaku. Tapi kupikir kau yang lebih penting." Aku mengangkat alis atas pernyataannya. Aku tak mengerti apa maksudnya.
"Maksudmu?"
"Mykael menaruh perhatian lebih padamu dibandingkan dengan Omega lain. Aku takut selamanya kau akan berada di sini." Yah, kalau kuperhatikan memang benar. Si Mykael itu tak pernah menyiksaku. Bahkan ketika aku menghina dan membuatnya kesal.
"Tapi kau benar-benar akan membebaskan Omega lainnya juga, kan?"
"Tentu saja. Percaya saja padaku!" Emily berujar dengan semangat. Lalu ia segera membuka penjara dengan kunci yang entah darimana ia dapatkan. Aku memang sedikit tidak percaya padanya. Tapi apa boleh buat, mau tidak mau aku harus menuruti. Ya, bukan berarti aku tidak mau juga sih.
Kalau ia berbohong atau tidak mampu membebaskan Omega lain, aku bisa meminta bantuan Alvaro nanti. Ia pasti akan membantuku.
"Ayo. Aku akan mengantarmu sampai ke kota," ujarnya dengan mantap. Semoga saja ia tak menipuku.
Aku mulai melangkah keluar dari penjara. Rasanya sedikit lagi aku akan menyentuh apa yang namanya kebebasan. Ugh, lain kali aku akan lebih hati-hati agar tak bertemu dengan orang seperti Mykael lagi.
Emily mulai melumpuhkan penjagaan dari para prajurit dengan sihirnya. Aku mengikutinya dari belakang dengan langkah yang hati-hati. Menurut Emily, Mykael tidak akan kembali dalam waktu dekat, tapi jika ia ikut membebaskan Omega yang lain untuk saat ini, ada kemungkinan kami akan tertangkap karena waktu yang banyak terhambat akibat para Omega yang lain yang sedang terluka.
Aksi melarikan diri kami begitu lancar, seolah sudah direncanakan oleh Emily sendiri. Apa mungkin ia memang sudah berencana untuk membebaskan kami dari dulu? Entahlah. Tapi ... aku akan berusaha mempercayainya untuk saat ini.
Setelah berjalan cukup lama, kami sampai pada sebuah hutan yang cukup lebat. Aku menelan ludah, lagi-lagi harus melewati hutan. Entah kenapa aku sedikit takut. Ah! Tidak! Sejak kapan kau jadi penakut begini, Miyuki?!
Entah kenapa pikiranku kembali menilik ke saat dimana Mykael selalu datang ke penjara tempat aku dikurung. Kupikir ia tak terlalu jahat. Ia tak pernah menyiksaku. Bahkan kupikir ia lucu. Saat dimana ia terlihat kesal saat aku berusaha membalikkan perkataannya, ketika ia sebal saat ia selalu kalah debat, dan jengkel ketika aku selalu menghinanya. Aku jadi ingin berteman dengannya.
Tapi mengingat Omega yang pernah ia siksa, aku jadi sedikit kesal kembali. Walau rasa benciku menurun drastis hingga berhenti pada fase 'hanya kesal'. Aku tak mengerti, tak biasanya aku mudah luluh begini, selain pada Alvaro tentunya.
"... Yuki? Serena Miyuki?" Aku terkesiap saat Emily memanggil namaku dengan cukup keras.
"Ah! Ya?" tanyaku kikuk. Bagus, Miyuki. Kau jadi terlihat seperti orang bodoh
"Melamunkan apa?" Emily bertanya walau di sorot matanya ia tak terlalu terlihat penasaran. Kalau tidak penasaran kenapa bertanya!
"Bukan hal yang penting," jawabku cepat. Jika saja ia tahu aku sedang melamunkan mate- nya, aku tak yakin ia akan membiarkanku hidup sekarang ini.
"Omong-omong, apa benar jalannya ke arah sini?"
"Tentu. Aku sering keluar masuk dari tempat ini sendirian. Tenang saja, tak ada apa-apa di hutan ini."
"O-oke."
Tapi kenapa rasanya kami hanya semakin dalam memasuki hutan. Bukannya keluar, tapi kami malah seperti masuk ke sarang harimau.
Di antara aku dan Emily tercipta atmosfer sunyi. Sangat canggung. Ayolah, aku tak suka suasana begini. Ditambah lagi, sekarang kami ada di hutan yang suram.
Kenapa sangat lama? Apa berarti aku pingsan begitu lama saat diculik oleh Mykael? Aku menghela napas, melepaskan rasa lelah, bosan, dan perasaan campur aduk yang aku rasakan sekarang.
"Emily? Apa masih lama?"
"A-ah. Tidak lama lagi, kok."
"Oke."
Tak lama, kami sampai pada sudut hutan yang rasanya lebih gelap daripada jalan yang tadi. Angin mulai bertiup lumayan kencang, membuat daun-daun yang menguning jatuh berserakan di tanah.
Bulu kudukku merinding entah karena apa. Tapi aku merasa ada yang mengintai. Ayolah, hidupku takkan berakhir seperti pada film horor yang kutonton bersama Isla, kan?
Aku terkesiap saat dengan secepat kilat seorang lelaki dengan kulit pucat dan tatapan tajam berdiri tepat di hadapanku dan Emily.
Aku mematung, namun dengan sedikit kesadaran bahwa aku tak bisa melawannya, segera kubalikkan badan ingin menggapai tangan Emily dan mengajaknya berlari. Namun saat aku ingin menyentuhnya, tubuhku terjatuh dengan rasa sengatan listrik di sekujur tubuh. Aku mendongak dan mendapatkan Emily sedang tersenyum sinis dengan barrier kecil yang mengelilingi tubuhnya.
"Emily! Ayo lari!" teriakku yang masih saja berusaha berpikir positif terhadap Emily.
"Kau bodoh, ya? Satu-satunya yang terancam bahaya di sini hanya lah kau!" Jantungku berdegup dengan keras. Apa maksudnya? Emily ... menjebakku?
Aku berdiri dan berbalik mendapatkan lelaki tadi menyeringai menampilkan dua taring tajam yang seolah sudah siap mengoyak leherku. Dia vampir!
Baru kali ini aku merasa setakut ini. Aku tak bisa memakai sihir karena kondisiku sedang berada di titik terlemah. Aku menoleh ke belakang melihat Emily yang masih saja berdiri dengan senyuman dan tak ada niat sama sekali untuk membantuku.
Vampir itu hilang dari penglihatanku. Namun dengan kesadaran penuh, aku merasakan hawa keberadaannya yang seketika berada di belakangku. Ini gila! Sudah berkali-kali kali aku hampir mati. Apa kali ini aku akan benar-benar mati?
Untuk sejenak aku menghiraukan keadaan sekitar. Napasku memburu, kepalaku terasa sangat berdenyut, dadaku sesak. Aku tak bisa bergerak. Taring vampir itu sudah berada sejengkal dari leherku. Aku memejamkan mata. Kumohon ... siapa saja!
Untuk sesaat aku merasa ada seseorang yang menyentak kepala si vampir. Vampir itu mengelak sejenak, namun tetap saja aura dingin itu masih mengelilingiku, membuat tubuhku tak mampu bergerak. Untuk beberapa waktu aku masih mematung dengan vampir yang entah kemana. Keringat dingin mengucur deras saat aku merasakan taring vampir itu benar-benar menancap di leherku. Mataku refleks terpejam saat rasa sakitnya membuat tubuhku seolah lumpuh.
Darahku rasanya telah kering. Tubuhku lemas dan benar-benar sudah tak terasa apa-apa lagi saat jatuh ke tanah. Apa ini rasanya saat kau sebentar lagi akan mati?
Tunggu, apa aku akan mati? Tidak. Aku belum ingin mati.
Entah kenapa memoriku memutar saat-saat dimana aku bermain bersama Isla. Ketika aku bermain-main dengan penjaga wilayah Omega. Saat aku terkagum akan Kota Abensberg. Dan ketika aku pertama kali bertemu dengan Alvaro.
Aku baru saja bertemu dengannya. Aku bahkan membuatnya susah. Aku belum meminta maaf padanya, aku belum berkata bahwa aku mencintainya.
Saat-saat ajal menjemput memang saat yang paling emosional ya. Tapi jika diberi kesempatan sekali lagi, aku ingin bertemu Isla, berteman dengan Mykael dan Emily, serta bahagia bersama Alvaro.
Ah ... Alvaro sedang apa, ya? Entah mengapa saat ini aku sangat ingin berbaring sejenak di tanah bersama hamparan rumput dan dedaunan kering ini. Semuanya kabur, terasa abu-abu. Organ, indera, otot. Semuanya sudah tak terasa lagi.
Bagaimana, ya reaksi Alvaro ketika melihatku seperti ini? Apa dia akan sedih? Atau biasa saja? Kuharap lelaki kuat sepertinya tak menangis hanya karena aku.
Ah! Dasar Miyuki bodoh! Kau membuatnya akan merasa sendirian. Aku membuatnya kehilangan mate.
Aku ingin tertawa mengejek kebodohanku, tapi tak bisa. Menyedihkan sekali. Alvaro sepertinya akan kesal. Tapi untuk yang terakhir kalinya aku ingin ia memaafkanku. Jika beruntung, aku ingin ia katakan bahwa ia mencintaiku.
Aku sama sekali tidak menyesal jika aku benar-benar mati. Sudah kukatakan sebelumnya. Semua jalan hidupku ini adalah pilihanku. Dan aku takkan menyesal akan satu hal pun.
Semuanya, maaf saja, tapi aku enggan mengucapkan selamat tinggal. Aku merasa kita akan bertemu kembali. Semuanya. Haha ... kuharap.
Entah kenapa, tapi aku masih bisa meneteskan satu air mata. Aku menarik satu senyuman.
Aku ... sudah cukup bahagia, kok.
______________
Yo wassap gaes :3
Wa ottokhae ni, si Miyuki mokad g ya:(
Udah kasih kata-kata terakhir juga, hmmm bau-bau mayadh ni :v
Pantengin terus gaes. Besok update kok, ketemu lagi kita.
Sampe sini dulu, aku mao bobo.
Jaa ne, minna-san!
Sweet regards,
Karma's partner in crime, Dewi Gledek,
Fal ⚡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top