1. °Kalap°
***
Sirenna duduk di bangku taman, matanya bergerak liar memperhatikan setiap gerak gerik pengunjung taman, di depannya banyak anak-anak kecil bermain dengan suka cita, tanpa beban mereka menikmati hari dengan bermain, berlari dan sebagainya, sesuai kesukaan hatinya.
Sirenna terlonjak kaget, merasakan sentuhan lembut menutup matanya, bau maskulin nan harum ini sangat ia kenali, ini adalah milik lelaki itu, lelaki yang selalu ada di pikirannya, salah, bukan hanya di fikiran, namanya juga sudah tersimpan rapi di dalam dalam hatinya, nama itu telah mendapat tempat spesial di sana, dan sampai kapanpun itu akan terus terjadi selamanya, lelaki yang akan dia cintai sampai kapanpun.
"Daniel..."
"Ihhh kok tau sih?" cowok itu melapas tangannya dari mata Sirenna, berjalan pelan dan duduk di samping kekasihnya itu.
"Yaa tau dong, aku kan serba tau."
Sirenna mencibir bibir, membuat Daniel begitu gemas, cowok itu menjepit pipi putih Sirenna dengan jarinya, membuat Sirenna sedikit memekik.
"Sakit, sayang..."
"Aku tau cara ngilanginnya,"
"Gimana?"
Daniel mendekatkan bibirnya di telinga Sirenna, membisikan sesuatu.
"Aku cium kamu."
Sirenna membuka lebar kedua matanya, tiga kata itu berhasil membuat Sirenna gugup, kata-kata yang berhasil melorotkan jantungnya hingga keperut. Cowok itu begitu lucu, dia yang menyadarkan Sirenna, kalau lelaki itu tidak semua yang brengsek , tidak semua lelaki yang menggunakan logika, ada mereka para lelaki yang juga lebih mementingkan hati.
"Tapi, nanti. Aku lakuin setelah kita menikah, biar enak."
Daniel menggulum senyumnya, sesuatu yang begitu aneh berjalan di dalam tubuh Sirenna, seperti di lelilingi euforia, kata-kata itu sungguh menyejukan hati Sirenna.
Di sampingnya Daniel duduk, mata cowok itu menatap lurus kedepan, menikmati suasana yang begitu menggiurkan.
"Aku jadi inget, dulu waktu aku kecil, aku maksa banget buat main sepatu roda. Aku ngga perduli, seberapa kalipun aku jatuh. Karna, yang ngajarin papah aku, katanya, anak cowok itu gak boleh lembek."
Sirenna tahu, kekasihnya itu sedang menceritakan masa kecilnya, masa kecil yang begitu menyenangkan, Sirenna bisa mengingat, dulu dia sangat ingin kekuh agar dia bisa cepat tumbuh dengan dewasa, karena dulu yang dia lihat semua orang dewasa bisa membeli apa saja yang dia inginkan, punya uang yang banyak, tanpa harus menunggu pemberian ayah dan ibu, bisa membeli es cream sesuka hatinya, tapi Sirenna sadar, ternyata menjadi dewasa bukanlah hal yang sepele, proses dewasa begitu sulit, tidak seperti yang dia bayangkan dulu, justru ketika dewasa kita harus mampu menerima apapun yang akan di hadapi, membekali diri dengan keiklasan, karena cuma hal itu yang bisa membuat kita tetap menjalani hidup kedepan.
Seperti Sirenna, dulu tak pernah membayangkan, kalau keluarganya akan hancur berantakan, hidup dengan kedua orang tua yang terpisah, dulu Sirenna bisa merasaka kasih sayang ayah dan ibunya, berada di tengah-tengah keduanya, mendapatkan apa yang ia mau, kemewahan dan rumah besar, sampai suatu hari dia kehilangan semua itu, ayahnya pergi bersama wanita lain, wanita yang dia anggap sebagai orang yang dia cinta, meninggalkan anak dan istrinya tanpa pesan, semua kasih sayangnya seolah palsu, dia bersandiwara. Tapi ini tetap tidak adil, untuk dia dan ibunya, itu bukan lah satu alasan yang klise untuk meninggalkan anak dan Istrinya, wanita yang berperan sebagai orang ketiga itu sudah merusak kehidupan dongeng yang Sirena dambakan, Sirenna tahu, tidak semua pemeran utama harus bersatu, dia sebagai pemain skenario dari tuhan hanya mampu mengikuti alur yang sudah ditetapkan.
Hingga Sirenna sadar, pernikahan orang tuanya didasarkan dari perjodohan, lantas Sirenna sendiri tidak bisa mempertanyakan, layak kah di sebut lahir karena cinta?
Kalau boleh meminta, Sirenna ingin kembali menjadi putri kecil ayah dan ibunya, tanpa harus melalui proses menyakitkan menjadi seorang anak broken home. Meski semuanya hanya sandiwara, tetapi Sirenna bangga berada disisi keduanya, tidak seperti sekarang, lelaki yang berstatuskan ayahnya tak lagi pernah menjenguknya, bahkan kalau boleh jujur, Sirenna sendiri lupa seperti apa wajah ayahnya, karena terlalu membenci sampai enggan untuk melihat fotonya.
"Sayang, kamu kenapa?"
akhirnya Sirenna memutuskan untuk menoleh, tapi setelah menunggu selama hampir lima detik, tetap tidak ada respon. Sepertinya memang Sirenna sedang melamun.
Sesuatu yang menjanggal dirasakan Daniel, raut wajah Sirenna tampak bersedih .
"Kamu, nggak biasanga kaya gini."
raut kekhawatiran terpahat jelas di wajah Daniel, cowok itu menggerakkan tangannya, menyentuh pipi mulus Sirennya.
"Danie,,," Lirih Sirennya pelan nyaris tidak terdengar.
"Kenapa??"
"Gak pa-pa, aku cuma mikir, enak banget ya jadi mereka."
Daniel ikut mengarahkan pandangannya kembali kedepan.
"Dulu waktu aku seusia mereka, aku pingin banget cepat-cepat dewasa, tapi setelah aku mengalaminya, ternyata menjadi dewasa itu nggak gampang."
"Jadi, maksud kamu, kamu menyerah? Cuman karna inget masa lalu? Aduh Ren... Kamu itu, masa ia kamu udah bisa laluin itu, tapi kok sekarang ngeluh? Ahkk lembek!"
"Ihhh dasar, Donat. Ceweknya lagi sedih, lagi galau, bukannya dihibur malah diledekin, dikata-katain, nggak sweet banget sih kadi cowok,"
"Dih, sewot. Haha liat deh kalau lagi kaya gini makin jelek. Siapa coba yang mau sama cewek jelek kayak kamu? Harusnya kamu itu bersyukur, karna punya cowok se ganteng aku." tukas Daniel dengan sombongnya, membuat gadis di sampingnya mencibir lidah. Cowok itu kembali terkekeh, melihat ekspresi wajah Sirenna yang begitu menggemaskan, wajah yang membuatnya selalu merindu. Daniel berjanji, ia akan segera melamar Sirenna, membahagiakan gadis itu, membuatnya lupa, kalau dia punya masa lalu yang begitu menyakitkan.
***
"Kamu gila, kamu benar-benar gila Daniel!"
Vania membantah mentah-mentah permintaan Daniel, anak itu memintanya untuk segera melamar Sirenna menjadi menantunya. Jangankan melamar, berpacaran dengan gadis itu saja Vania sudah sangat tidak suka. Gadis miskin, yang tidak punya apa-apa, yang pasti hanya mengharapkan harta dan kekayaan.
"Tapi mah, Sirenna itu beda. Dia gak seburuk yang mamah pikir!"
"Daniel, pokoknya mamah tidak suka. Sampai kapan pun, mamah gak akan merestui hubungan kalian!" mata Vania berapi-rapi, rahangnya mengeras, emosinya naik ke ubun-ubun, permintaan yang tidak akan pernah sudi untuk dia penuhi.
"Tapi mah, mamah itu gak kenal sama Sirenna, dia itu baik mah, aku cinta sama dia."
"Mamah bilang, mamah nggak setuju. Kamu tinggalin wanita itu atau kamu gak akan mamah anggap lagi jadi anak, kamu mau durhaka? Kamu lupa? Siapa yang besarin kamu? Siapa yang sayangin kamu yang rawat kamu sampai kamu kaya gini? Itu mamah! Bukan perempuan itu! Kalau kamu masih hormat sama mamah, tinggalin perempuan itu!" suara Vania naik 2 oktaf, dia sudah tidak bisa lagi membiarkan hubungan ini, dia tidak ingin malu di depan teman-temannya, nama baiknya akan jatuh.
Daniel tercenung lama, matanya memerah, ada yang menohok hatinya, sangat sakit dan nyeri, harus melepaskan orang yang paling dia cinta, apa jadinya cinta yang baru berkembang harus mati begitu saja.
Daniel duduk di ata sofa, ia memijat keningnya yang terasa nyeri,dia mulai kalang kabut, tidak tahu bagaimana cara menyampaikan ini kepada Sirennya, padahal dia sudah berjanji tidak akan pernah menyakiti Sirenna, tidak akan menjadi lelaki seperti ayah perempuan itu, yang meninggalkannya begitu saja.
"Pokoknya, besok mamah temuin dia. Biar mamah yang tegasin!"
Daniel menggeleng, jika dia membiarkan hal itu, akan semakin membuat Sirenna terluka.
"Nggak, biar aku aja yang temuin dia. Anggap ini permintaan terakhir aku."
Vania mengangguk setuju, dia akan mengizankan itu, dan setelahnya Daniel harus mau dijodohkan dengan orang yang sederajat.
Daniel beranjak, melangkah ke dalam kamar, tanpa ada yang tau, Daniel meneteskan air mata, jiwanya buncah , dia benar-benar tidak bisa kehilangan, Sirenna wanita yang begitu dia cintai, tapi disisi lain dia juga tidak mungkin menentang wanita yang sudah berjasa dalam hidupnya.
Rey yang melihat perdebatan anak dan istrinya memilih bungkam, percuma dia masuk kedalam percakapan itu, istri ya terlalu keras kepala dan sedikit egois.
Di dalam kamar, Daniel menumpahkan semuanya, menangis adalah satu-satunya cara untuk menenangkan hatinya, Sirenna satu-satunya perempuan yang mampu membuat Daniel menangis lemah seperti ini, Daniel ingin marah, tapi pada siapa? Dia terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki.
Daniel bisa membayangkan wajah cantik Sirenna, bagaimana senyum manis itu terekam dalam benaknya, pelukan hangat yang bisa menenangkannya.
"Ren... Maafin aku, aku benar-benar minta maaf. Aku gak bisa tepatin janji aku, aku terlalu pengecut."
Tangis pilu terdengar dari bibir Daniel, dia membiarkan ponselnya bergetar, mengabaikan pesan singkat dari Sirenna, dia harus mampu, mengumpulkan keberanian di hari esok, saat dimana Sirenna akan membencinya. Di saat itu terjadi Daniel akan menjadi orang terkejam sepanjang hidup Sirenna, gadis itu pasti akan menganggapnya sudah memberikan harapan yang palsu, menjanjikan kebahagiaan yang tak pernah ia berikan, bahkan kata maaf memang tak pantas untuk dua dapatkan.
"Maafin aku, Sirenna."
***
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top