J-A :: [4] "Happy Birthday, Yan!"
4.
"Sstt, dia masih ngebo!"
"Udah jangan dibangunin."
"Mukanya cemong banget, HAHAHA."
"Lo kebanyakan moles lipstiknya, Bego!"
"Eeeh, rambutnya dijepit. Nih, ada nih jepitnya!"
"MAKNYOOS."
Suara itu sudah jelas menjadi alarm alami di pagi buta bagi Julian. Mau bagaimana lagi, ada suara sekecil apapun, Julian langsung terbangun dari tidurnya. Namun dia menutup mata, padahal tau benar orang-orang di sekitarnya melakukan sesuatu pada wajah Julian. Entah, Julian sendiri tidak mau memikirkannya. Sebelum melihat cermin, Julian akan mengusap seluruh wajah dengan tisu.
"Astaga, kalian ngapain Julian?"
Julian langsung membuka matanya begitu mendengar suara berat dan dalam, khas Matt. Salah satu sahabat Julian yang pindah ke Kalimantan. Mata Julian benar-benar melotot hingga ia sendiri takut matanya akan meloncat keluar. Bukan apa-apa. Hanya saja, Julian benar-benar gak percaya di ambang pintu kamarnya, Matt sedang berdiri. Membawa nampan berisi enam gelas yang asapnya mengepul, menandakan isi dalam gelas cukup panas.
"Tante," Seth mencolek dagu Julian, "Gangguin kita, dong."
Sangat menggelikan.
Tau benar Julian kalau wajahnya telah diapa-apakan oleh mereka. Dengan sisa kejengkelan di pagi hari, Julian mengambil tisu yang berada di nakas. Mengusap seluruh wajahnya, mengernyit saat melihat noda lipstik di tisu. Teman-temannya ini benar-benar jail. Kompak. Apalagi kalau disuruh menjaili Julian. Aktivitas favorit mereka.
Semuanya berkerumun di sekeliling tempat tidur Julian. Kamar Julian cukup besar, jadi tidak terlalu sesak napas karena banyaknya orang di sini. Meski hanya enam, tapi mereka cowok, dan cowok napasnya berat-berat. Mereka masih mengenakan piyama, lengkap dengan sendal tidur masing-masing. Entah jam berapa sekarang. Untung ini hari libur. Julian benar-benar gak mood kalau hari ini sekolah setelah teman-temannya merecoki Julian yang baru terlelap. Julian ingat, ia baru bisa terlelap pada jam satu malam.
Matt menaruh nampan di nakas, masih nyengir pada Julian, lalu memeluk cowok itu dengan hangat. Hingga Julian sesak napas. Matt memang begitu. Sekalinya ketemu langsung peluk-peluk, jadi sering nyengir dan membuat orang sesak napas. Perubahan yang drastis. Mungkin karena Matt berpikir impiannya untuk mewujudkan impian Mou akan berhasil. Jadi, dia mencoba bersikap sebaik mungkin selama impian itu akhirnya terjadi. Benar-benar khas Matt.
"My Bubby Bear!" ledek Matt pada Julian, sontak tawa Julian berderai.
Bubby Bear adalah panggilan khusus Julian waktu mereka pertama kali kenal. Waktu itu acara kemping sekolah. Matt, Julian, Juna, Seth, Alvaro dan Mika satu tenda. Mereka semua meledek Julian yang membawa boneka beruang. Sumpah, Julian takut hutan. Tapi dia terpaksa ikut kemping karena tidak mau diledek kakaknya. Jadilah ia membawa boneka untuk jaga-jaga, supaya ada yang bisa dipeluk. Tapi di hutan, ia malah diledeki lima orang yang sekarang malah jadi sahabatnya, sampai sekarang.
Dengan sisa tawa, Julian bertanya pada Matt. "Lo kapan ke sini dan emang lo gak sekolah?" Kebingungan nyaris mendominasi wajahnya, meski ada sedikit rasa bahagia karena mereka berkumpul. Sebenarnya karena naik ke kelas 12, mereka jadi jarang berkumpul lagi. Apalagi Matt telah sibuk di Kalimantan. Mereka berlima merasa kurang tanpa Matt. Matt itu semacam pelengkap, si cowok jarang omong yang jago mendamaikan mereka jika salah satunya bertengkar.
"Sekolah gue mulainya lebih lama daripada lo. Karena gabut, ke sini deh," jawabnya, melihat raut wajah Julian yang tidak puas akan jawaban Matt, cowok itu tertawa. "Becanda. Selamat ulang tahun, Juliaaan!"
Julian menghela napas lega, dia kira Matt lupa tanggal ulang tahunnya.
"Habede, Juuul!" Mika menyerobot dan ikut memeluk Julian, hingga terguling ke kasur, tengkurap di sebelah Julian. Yang lain hanya tertawa dan ikut memberi Julian selamat. Tak lama berselang, Ana datang dengan kue kecil yang di atasnya berdiri tegak lilin putih besar.
Mata Julian melotot. Dia tertawa sekeras mungkin. "Serius lo pada? Plis ini lilin buat mati lampu!"
"Kan biar lebih berkesan, gitu," Juna menyahut.
Yang lain terkekeh.
"Make a wish, dong," timpal Ana saat Julian ingin meniup lilin besar itu.
Mendengar suara Ana, Mika yang masih tengkurap di kasur langsung membeku. Tidak bergerak sama sekali. Julian menyadarinya, ia melirik Mika sekilas, lalu menghadapkan kepalanya ke lilin itu. Semoga Mika Ana baikan, tolong. Dan Julian meniup lilin, disertai sorakan dari segala penjuru. Semua orang mulai memberi Julian hadiah, yang tidak repot-repot dibungkus kertas kado. Matt memberinya buku jurnal, Seth kaus bergambar, Juna jam tangan, Alvaro topi kupluk paling norak yang pernah Julian liat—tapi karena ini Alvaro, Julian mencoba memaafkan. Giliran Mika, tapi cowok itu tetap tengkurap dengan kepala tersembunyi di balik bantal Julian.
Ana menyadari kecanggungan yang terjadi di udara. Menghela napas, ia termenung menatap Mika. Julian mengerti perasaan kakaknya. Juga perasaan Mika. Tapi tak satupun dari mereka yang berbicara, hanya saling menatap dan menunduk menatap kaki masing-masing.
"Kalo gitu ... gue ke bawah dulu ya, Yan. Take your quality time," lirih Ana, lalu keluar dari kamar Julian dengan langkah gontai.
Begitu Ana pergi, barulah Mika keluar dari persembunyiannya. Mengusap dahi. Melihat kelima wajah cemas temannya, ia hanya nyengir dan mengangkat bahu. Seolah kejadian tadi tidak memiliki efek apapun pada dirinya. Julian menepuk bahu Mika, lalu menengadahkan tangannya, meminta hadiah.
Mika menepuk dahi. Buru-buru ia menyambar laptopnya dan menyalakannya. Julian menunggu apa yang mau Mika beri, hingga cowok itu membuka salah satu video. Lagu intro terdengar, Julian tersenyum. Ini lagu yang sering mereka dengar di radio mobil Jeep Alvaro.
Di layar, tiba-tiba terpampang wajah Matt yang melotot, close-up. "BWEEE!" jerit Matt dalam video.
Melihat itu, Matt langsung protes. "Kenapa langsung close-up muka gue?"
Semua orang terbahak.
"Bara-bara-bara. Bere-bere-bereee!" sekarang malah video Juna-Seth-Julian yang bergoyang sesuai irama lagu Bara-Bere. Di depan kelas, tidak tau malu sama sekali. Padahal semua orang yang ada di dalam kelas itu tertawa sekeras mungkin.
Sekarang di layar, terpampang dengan jelas wajah Julian yang tertidur. Dengan mulut terbuka lebar dan suara ngorok yang luar biasa kencang.
Semua orang terbahak.
"GUE TERBAAANG!" Alvaro menjerit, loncat dari papan, menuju kolam renang. Gesturnya benar-benar kocak, hingga semua orang yang berada di video terpingkal-pingkal karena tertawa.
"Hantu!" Mika berseru di layar laptop, menunjuk bangku kosong. "Dan itu hantu, hantu, hantu!"
"Suara lo kayak bebek kejepit," ledek Alvaro, mendapat toyoran kepala dari Mika.
"Satu ... dua ... tiga ... HAPPY NEW YEAR!!" terlihat langit malam, dengan kembang api yang diluncurkan. Tampak indah, berwarna-warni. Lalu kamera menyorot Julian yang malah tertidur di momentum penting itu. Alvaro yang iseng pun membubuhi kumis kucing di kedua pipi Julian, semua orang dalam video terbahak-bahak, mengabadikan wajah konyol itu.
Mata Julian melotot protes melihat layar laptop. "Pantes aja, waktu gue bangun dan pulang dari rumah Juna, semua orang ngetawain gue."
Lagi, yang lain tertawa.
Begitu seterusnya. Hingga video habis pun, kebersamaan mereka tetap diisi canda tawa.
Tentu, ini membuat Julian bahagia di hari ulang tahun ke-17nya.
====
Mereka berlima sepakat menginap di rumah Julian.
Sore tiba, mereka kelelahan setelah berenang di kolam renang komplek. Gimana gak kelelahan, Alvaro senang banget main chicken fight. Permainan untuk empat orang, dua lawan dua. Yang satu berdiri di dalam kolam renang, yang lainnya duduk di bahu temannya. Yang duduk di bahu itu yang akan bertanding. Permainannya cukup sederhana. Hanya menjatuhkan lawan dari bahu temannya. Tapi siapa sangka, permainan ini sangat susah jika mereka yang melakukan. Karena gak satupun dari mereka yang mudah terjatuh dari bahu teman masing-masing, yah ... kecuali Julian, sih.
Sekarang Julian sedang merebah di tempat tidur. Sendiri. Yang lain sedang memasak mi instan di bawah. Suara berisik teman-temannya terdengar hingga lantai dua, membuat senyum Julian terukir. Keberadaan mereka membuat Julian hidup. Hidup dalam arti dan konsep yang berbeda.
"Yan," seseorang memanggilnya, Matt. Cowok itu berdiri di ambang pintu dengan tangan memegang semangkuk mi rebus. Nyengir dengan wajah tanpa dosa. "Gue mau nanya sama lo," ucap Matt, melihat Julian mengangguk, ia meneruskan. "Bener Sashi pindah ke sini lagi?"
Lagi, Julian mengangguk. Tanpa memberi komentar apapun. Berbagai pikiran berseliweran di benaknya. Darimana Matt tahu? Kenapa Matt menanyakan hal itu di saat hari yang menurut Julian penting ini? Bagaimana Julian harus bersikap di depan Matt?
Matt duduk di tepi tempat tidur, ikut merebahkan diri di samping Julian. Mangkuk mi rebusnya telah ia taruh di meja belajar, di samping buku-buku pelajaran. Matt tahu benar bagaimana perasaan Julian, karena ia pernah mengalaminya. Bersahabat dengan perempuan tidak semudah yang dibayangkan.
"Lo udah bicara sama dia?" tanya Matt pelan,
Sekarang Julian membalasnya dengan gelengan.
Ingatan Julian jatuh saat Sashi masuk ke kelasnya untuk yang pertama kali. Bagaimana senyum ironis itu terukir di bibir Sashi. Bagaimana Julian yang tampak canggung, ingin berucap, tapi saat di ujung lidah, semua kata-kata tersapu. Bagaimana saat mereka hanya saling tatap, tapi tak satupun dari mereka yang memecah keheningan.
Rindu terasa, sesak pun ada.
"Kalo gitu, ayo ngobrol sama dia. Tanya kabarnya. Jangan ungkit masa lalu, kecuali kalo waktunya udah tepat," saran Matt.
Memang, terdengar semudah itu. Hanya menanyakan kabar atau dimana ia tinggal. Tapi bagi Julian, hal seremeh itu sangat sulit. Semua kata-kata yang ingin ia lontarkan tiba-tiba tertahan di ujung lidah. Menyesakkan. Julian tidak mampu menatap Sashi lebih dari tiga detik.
"Gue ...," jeda, Julian berdeham. "Gue gak tau harus apa. Semuanya gak semudah itu, Matt," ucapnya.
Matt menatap Julian, seolah tersinggung. "Gue gak bilang itu mudah, Bubby Bear. Tapi lo harus nyoba. Karena saat lo nyoba, lo tau sejauh mana lo berhasil. Berhasil buat memperbaiki hubungan lo sama dia."
Mendengar itu, Julian mengangguk, tersenyum. Ia bangkit dari kasur, mengambil bola basket dari keranjang yang ada di sudut kamar. Mengangkat tinggi-tinggi bola itu di hadapan Matt, tersenyum cemerlang. "Main bola, yuk?"
Matt ikut tersenyum.
Sepanjang sore itu, Julian, Matt, serta teman-teman yang lain menghabiskan waktu dengan bermain basket, tiga lawan tiga.
Seperti yang dulu sering mereka lakukan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top